Unsur Hakiki Budaya Intelektual
Judul Buku: Pengantar Filsafat
Penulis: K Bertens, Johanis Ohoitimur, Michael Dua
Penerbit: Kanisius, 2018
Tebal: xi + 428 halaman
ISBN: 978-979-21-5464-1
Sudah banyak buku diterbitkan berjudul Pengantar Filsafat. Berbeda dengan buku-buku berjudul pengantar filsafat pada umumnya, buku ini punya kelebihan, yaitu membahas sejumlah tema spesifik, seperti filsafat hukum, politik, teknik, atau ekonomi, tema-tema yang menarik bagi mahasiswa nonfilsafat.
Ketiga penulisnya, doktor filsafat yang aktif mengajar, menulis dan berceramah-memaparkan pokok-pokok sejarah filsafat dengan rasa novel. Bagi mahasiswa filsafat, atau yang pernah belajar filsafat dan biasa membaca naskah-naskah filsafat, maupun yang sama sekali belum pernah kenal, uraian buku ini mengalir dalam derap sebuah cerita yang tidak memaksa kening berkerut. Ini mengandaikan penguasaan materi yang prima para penulisnya.
Pembaca diajak bertamasya menikmati pemikiran-pemikiran filsafat yang disampaikan secara ringan meskipun isinya serius.
Dengan metode umum dalam filsafat yang mempertanyakan sesuatu, buku ini dibuka dengan tulisan K Bertens yang membahas kedudukan filsafat dalam cakrawala humaniora. Sebuah tema pokok dan terpenting dalam filsafat yang terkait erat dengan hal-hal manusia.
Topik itu disajikan mulai dari sejarah kelahiran, kedudukan humaniora di sejumlah negara yang ”menonjol” dan unggul dalam hal menempatkan unsur humaniora, yang umumnya digolongkan sebagai negara-negara kontinental, lalu peranan dan perkembangan humaniora dalam dunia pendidikan tinggi.
Uraian dengan gaya yang sama kita jumpai dalam bab-bab berikutnya walaupun tema dan topik serta penulisnya berbeda. Menemukan gaya yang sama, mengandaikan proses panjang bertemunya gaya penulisan masing-masing dalam satu tone yang sama.
Dari sisi isi, artinya dari sisi disiplin mereka mungkin tidak sulit—semua berlatar belakang pendidikan filsafat Barat, yang akrab dengan dunia Kristen Katolik—tetapi dari sisi serapan mereka masing-masing niscaya berbeda.
Dengan bertemunya satu tone yang sama mengandaikan buku ini dipersiapkan dengan serius dalam diskusi yang panjang di antara ketiga penulis.
Editor (Widiantoro) tampaknya lebih berperan dalam segi kebahasaan, yang menjadikan buku ini terasa ditulis oleh satu orang. Sesuai dengan maksud lain, sebagai buku teks mata kuliah, maka di setiap akhir bab disertakan ringkasan materi, daftar pertanyaan untuk mengetahui tingkat pemahaman pembaca, serta memuat sejumlah bahan pustaka sebagai referensi bagi yang ingin mendalami.
Apresiasi di atas seolah-olah tanpa kritik. Padahal, banyak pengandaian spekulatif yang ditarik begitu saja dari pilihan topik-topiknya. Filsafat sebagai cara berpikir spekulatif—artinya tidak disertai data kuantitatif seperti halnya ilmu-ilmu positif—memang demikian. Akan tetapi, mengharapkannya sebagai sebuah bahan ajar, di bangku kuliah maupun dalam masyarakat, spekulasi demikian bisa berarti pemaksaan.
Sebab, niscaya tidak semua pembaca dengan sejumlah ilmu pengetahuan ilmu-ilmu positifnya ”rela” diberi pengantar dan pendasaran filosofis atas ilmu-ilmu mereka. Kesombongan atau fanatisme ilmu di kalangan ilmuwan ilmu-ilmu positif bisa berakibat mereka mencampakkannya.
Filsafat dianggap sebagai ilmu yang hanya menjelaskan duduk perkara, tetapi tidak menawarkan solusi. Padahal, dalam perkembangan era saat ini, yang lebih dibutuhkan solusi dan bukan hanya pemahaman. Ilmu-ilmu positif memang lebih menekankan kegunaan praktis.
Kelebihan dan kekurangan
Menempatkan apresiasi positif dan negatif seimbang demikian justru menunjukkan kelebihan buku ini. Cinta akan kebijaksanaan sebutan yang disematkan selama ini terhadap ilmu filsafat dan sebagai ibu segala ilmu pengetahuan tampak menonjol. Filsafat yang lebih dulu berkembang di negara-negara Eropa memberikan pendasaran atas ilmu-ilmu positif yang dipelajari kaum akademisi.
Pragmatisme—nilai ilmu pengetahuan berdasarkan kegunaan praktis--yang awalnya berkembang di Amerika Serikat lewat positivisme—jawaban terhadap ketidakmampuan filsafat spekulatif. Hal ini menjadi pembeda antara kawasan Eropa (kontinental) dan Amerika (Anglo Sakson). Tanpa sengaja, buku ini dengan pemaksaan pengandaiannya jatuh dalam sisi pragmatisme CS Peirce.
Dalam perkembangan, ilmu-ilmu positif merasa kurang lengkap tanpa pendasaran yang diberikan oleh ilmu filsafat. Oleh karena itu, di banyak negara, termasuk Indonesia, banyak ilmuwan ilmu-ilmu positif yang mencoba mencari pendasaran lewat kapita selekta ilmu filsafat.
Itu diperoleh lewat buku-buku bacaan—repotnya tidak semua berasal dari pohon yang sama dan sudah berasal dari penafsiran-penafsiran yang menyebutkan kata filsafat, lewat kuliah-kuliah resmi di sejumlah perguruan tinggi filsafat.
Besarnya minat calon mahasiswa doktoral, khususnya S-2 yang berasal dari S-1 nonfilsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara misalnya, menjadi potret kehausan para sarjana ilmu-ilmu positif.
Bab 1 hingga bab 9 berisi tema-tema yang sudah ditulis dalam berbagai banyak buku pengantar filsafat pada umumnya, yaitu sejarah filsafat dan pemikiran filsafat dengan tokoh-tokohnya.
Lagi-lagi perlu diapresiasi kelebihan buku ini: selain penuturan yang enak dinikmati, juga pengolahan bahan antara sejarah, sistematika, dan tokoh-tokohnya teramu sebagai pengantar yang merangsang untuk terus membaca. Bahkan, setiap bab, sebelum ditutup dengan ringkasan dan sejumlah pertanyaan, disampaikan perkembangan sepintas masing-masing tema.
Bab 10 sampai bab 13 memuat tema-tema filsafat sejarah, teknik, hukum, politik—tema-tema yang aktual dan dominan yang menjadi bagian integral kehidupan manusia zaman sekarang.
Empat topik itu seolah-olah mengecualikan topik masalah ekonomi. Mengingat banyak ”pemburu” ilmu filsafat dari kalangan sarjana ilmu-ilmu positif terutama sarjana ekonomi, tiadanya bab tentang filsafat ekonomi dirasakan merupakan salah satu kekurangan buku.
Masalah hukuman mati yang menjadi isu kontroversi di masyarakat dibahas dalam bab 13. Hingga kini belum ada kata sepakat. Aspek penjeraan tidak mempan. Pun untuk kejahatan yang menyangkut keselamatan banyak orang seperti narkoba dan korupsi, vonis dan eksekusi terpidana mati tidak berpengaruh.
Jalan keluar yang disampaikan ketiga penulis buku ini, berpedoman pada dalil-dalil filsafat, menyimpulkan hukuman mati memang bertentangan dengan hak asasi manusia, walaupan tidak pertama-tama atas kehidupan (hlm 414). Bukan sebuah panduan yang pragmatis dan mudah dicerna, memang, tetapi sebatas itulah yang bisa dilakukan filsafat tentang topik hukuman mati.
ST SULARTO, wartawan, anggota Pengurus Yayasan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.