Dialektika Pemikiran Muhammadiyah
Sejak awal berdirinya hingga sekarang pemikiran keagamaan Muhammadiyah bertumbuh secara dinamik. Pada masa-masa formatif, dalam kepemimpinan KH Ahmad Dahlan (1912-1923), Muhammadiyah dipandang sebagai gerakan modernis, reformis, terbuka, toleran, bahkan pluralis. Setelah itu pemikiran keagamaan Muhammadiyah mengalami transformasi ke arah ”purifikasionisme” atau ”revivalisme”, yakni pemurnian kembali kepada nilai-nilai Islam baik secara teologis maupun juristik (berkenaan dengan hukum).
Pergeseran pemikiran keagamaan terjadi lagi pada era 1990-an, yang ditandai kehadiran para ilmuwan atau intelektual pendidikan tinggi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mereka memberikan warna baru dalam pemikiran keislaman Muhammadiyah karena sebagian dari mereka menggunakan pendekatan multidisipliner dalam menafsirkan doktrin Islam.
Cendekiawan Muhammadiyah, Abdul Munir Mulkhan, mengemukakan bahwa persyarikatan ini mengalami empat fase perubahan (transformasi) pemikiran keagamaannya, yakni fase kreatif-inklusif, fase ideologis, fase spiritualisasi atau sufistisasi shariah, dan fase romantisme ideologis.
Masalah kontinuitas dan diskontinuitas pemikiran keagamaan dalam Muhammadiyah menarik perhatian Ahmad Nur Fuad, akademisi dan aktivis Muhammadiyah, yang menjadikannya sebagai tema kajian disertasinya yang lalu dipublikasikan dengan judul Dari Reformis hingga Transformatif (Intrans Publishing, 2015).
Wacana kontinuitas dan diskontinuitas dalam sejarah pemikiran Muhammadiyah bukan semata-mata persoalan kronologis, melainkan juga proses dialektik dalam ranah pengetahuan (epistemik). (IGP/LITBANG KOMPAS)
Mencapai Keindonesiaan
Identitas ”Islam Berkemajuan” disematkan kepada Muhammadiyah di tengah perubahan tatanan dunia akibat globalisasi. Sebelumnya, banyak identitas yang melekat di organisasi yang didirikan pada tahun 1912 ini, antara lain Islam Modernis, Islam Puritan, Islam Reformis, Islam Moderat, Islam Progresif, dan Islam Murni. Bahkan, Muhammadiyah dikaitkan dengan gerakan Wahabi. Sebagian identitas tersebut dilekatkan oleh orang dari luar Muhammadiyah yang telah melakukan observasi. Sebagian lagi diberikan oleh orang-orang yang tak suka dengan Muhammadiyah.
Istilah ”Islam Berkemajuan” sudah dipakai sejak awal Muhammadiyah berdiri. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, mengatakan, ”Dadijo kjai sing kemadjoean, odjo kesel anggonmu njamboet gawe kanggo Muhammadiyah (Jadilah kiai yang berkemajuan, jangan lelah bekerja untuk Muhammadiyah).” Kata ”berkemajuan” identik dengan selalu berpikir ke depan, visioner, dan satu langkah di depan. Istilah tersebut kembali populer dalam 10 tahun terakhir, bahkan digunakan dalam Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makassar, tahun 2015.
Peneliti LIPI sekaligus anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Ahmad Najib Burhani, PhD, membahas berbagai isu penting dalam buku Muhammadiyah Berkemajuan: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme (Mizan, 2016).
Buku ini berisi kumpulan refleksi, opini, dan catatan yang pernah ditulis Najib Burhani, yang tertuang dalam enam pokok bahasan, yang antara lain membahas Muhammadiyah sebagai Islam Kemajuan, suatu gerakan sosial dengan tujuan membawa Indonesia menuju kemajuan.
(IGP/LITBANG KOMPAS)