Pergulatan Islam Berkemajuan
Judul : Reimagining Muhammadiyah: Islam Berkemajuan dalam Pemikiran dan Gerakan
Penulis : Ahmad Fuad Fanani
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : 1, 2018
Tebal buku : xxxviii + 190 halaman
ISBN : 978-602-6268-10-5
Tidak mudah menarik sebuah simpulan yang menggambarkan keseluruhan Muhammadiyah. Jika kurang cermat, akan terjebak simplifikasi. Pengkaji Muhammadiyah, Ahmad Najib Burhani, berkesimpulan, satu-satunya penggambaran yang mewakili adalah bahwa Muhammadiyah tidak satu wajah.
Fakta ini ditegaskan dalam Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan (2016) dan Muhammadiyah Berkemajuan: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme (2016). Spirit kosmopolitanisme menjadikan Muhammadiyah sebagai payung besar yang mewadahi banyak rupa.
Meskipun punya latar belakang berbeda, mereka yang di bawah naungan organisasi memiliki kesamaan perekat: kepercayaan dan keinginan berkonstribusi melalui Muhammadiyah.
Muhammadiyah merupakan produk persilangan budaya. Bambang Purwanto melihat setidaknya ada serapan unsur Islam, Jawa, Minangkabau, dan modernitas Barat. Kiai Ahmad Dahlan menjadi inspirasi rajutan Muhammadiyah. Ia tumbuh dalam lingkungan keraton, berguru kepada banyak kiai, lalu ke Tanah Suci.
Berinteraksi dengan banyak priayi, bahkan kemajuan Barat diimitasi. Kiai meluaskan cakrawala bacaan dan horizon pergaulan. Karya organisasi lahir karena ketib amin ini sering diliputi kegelisahan tentang laku penganut agama yang tidak berkorelasi dengan nasib sesama (hlm 106-111).
Persyarikatan yang didirikan di Kauman Yogyakarta pada 18 November 1912 ini sedang menapaki dasawarsa pertama abad kedua. Perkembangan terkini, Muhammadiyah sedang mendirikan sekolah di Australia dan universitas di Malaysia. Di saat denyut pertumbuhan dan persebarannya belum menunjukkan tanda berhenti, Muhammadiyah memerlukan peneguhan ideologi.
Buku ini menyebut beberapa godaan yang perlu diantisipasi: stagnasi, romantisisme, konservatisme, global salafism, syahwat politik praktis.
Sebagai bagian dari warga dunia, Muhammadiyah abad kedua dituntut mampu berdialektika dalam pergulatan identitas. Menurut Amin Abdullah, global ethics dan multikulturalitas era kontemporer harus ditopang dengan mengembangkan tradisi ihsan, tasawuf, dan irfani.
Menjadikan corak keberagaman intersubjektif sebagai landasan etika Muhammadiyah kosmopolitan. Manifestasinya berupa spiritualitas yang altruistik dan prolifik, sesuai teologi al-Ma’un dan al-Ashri.
Reimagining Muhammadiyah merupakan kumpulan tulisan aktivis muda yang bergelut dalam kultur organisasi dan dunia akademisi. Mencoba merefleksikan perjalanan panjang Muhammadiyah dan kemudian menawarkan gagasan pengayaan wajah baru.
”Merumuskan Identitas Muhammadiyah Terbarukan” merupakan salah satu judul tulisan di buku ini yang menggambarkan kegelisahan penulisnya.
Dinamika
Fuad Fanani rutin mengikuti dinamika Muhammadiyah struktural dalam rentang 15 tahun terakhir. Hajatan organisasi yang menghasilkan rumusan dan kebijakan penting (muktamar, tanwir, konvensi, konsolidasi, milad) ditimbang dari sudut pandang kader yang mendamba eksistensi persyarikatan semakin memberi resonansi makna yang lebih luas bagi publik.
Buku ini sebagai autokritik supaya gerbong Muhammadiyah tidak kehilangan jati dirinya sebagai gerakan tajdid (hlm 161). Pembaharuan pemikiran masih terus dinanti.
Muhammadiyah merupakan wadah intelektual organik. Rutinitas aktivisme sosial tidak boleh meredupkan intelektualisme gerakan ilmu. Getir harapan ini diwakili dalam bahasan ”Senjakala Kaum Progresif di Muhammadiyah”.
Geliat trisula baru yang fokus pada mustadl’afin (kaum marjinal) juga disorot dalam karya yang diberi pengantar oleh Din Syamsuddin ini. Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), dan Lazismu menjadi jangkar penerjemahan gagasan ”Islam Transformatif” yang dicetuskan Moeslim Abdurrahman, lalu Said Tuhuleley.
Asa optimisme dirasakan Fuad pasca-dua muktamar terakhir. Dokumen muktamar seperti Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah, Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa: Agenda Indonesia ke Depan, Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna, konsep dan isu strategis Muhammadiyah 2015-2020, Visi Muhammadiyah 2025 patut diapresiasi (hlm 114).
Sayangnya, tidak ada elaborasi lebih jauh tentang konsep yang masih abstrak terkait dengan hasil muktamar, seperti dakwah komunitas: atas, menengah, marjinal, khusus, dan virtual (hlm 116). Terutama komunitas virtual. Muhammadiyah belum bisa mengimbangi narasi memikat dari arus kecil ekstrem kiri dan kanan.
Bahkan, ada yang mencatut nama Muhammadiyah untuk menebar gagasan yang bertolak belakang. Kader progresif yang seharusnya menawarkan narasi alternatif jarang menjadi influencer di dunia virtual.
Buku ini juga melupakan Muhammadiyah di level mikro. Padahal, Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) didirikan dalam rangka menjawab kritikan (termasuk dari Fuad) tentang kebingungan dan kontestasi di akar rumput yang berujung eksodus jemaah.
LPRC gencar membina cabang dan ranting. Pendekatannya tidak hanya kristalisasi ideologi, tetapi juga pemberdayaan ekonomi. Contohnya, cabang di Malang dengan peternakan tikus putih memiliki penghasilan ratusan juta per bulan. Ada cabang dengan usaha mebel, alat tulis, properti, hingga koperasi yang asetnya miliaran.
Lima karakter
Sebagai antologi tulisan, buku ini tidak bisa dikatakan sistematis. Namun, menjadi bagian dari peneguhan dan aktualisasi lima karakter dasar Muhammadiyah yang digali Haedar Nashir. Pertama, gerakan Islam. Nilai Islam jadi landasan pemikiran yang mencerahkan, menggerakkan, memajukan, membawa perubahan positif.
Pemahaman Islam menurut Muhammadiyah berlandaskan pada manhaj tarjih: seperangkat metodologi istinbat hukum dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani (Syamsul Anwar, 2018).
Kedua, karakter dakwah. Mengajak dan menyeru dengan pendekatan bil hikmah, tidak sporadis dan revolusioner.
Ketiga, karakter tajdid. Memadukan antara purifikasi (bidang akidah dan ibadah mahdhah) dan dinamisasi/modernisasi (bidang muamalah dunyawiyah).
Keempat, karakter wasithiyah. Teguh dalam prinsip, luwes dalam cara. Rahmatan lil alamin. Muhammadiyah dituntut unggul dan berdaya sehingga memiliki modal untuk berbagi rahmat atau kebaikan. Bermanfaat bagi sesama.
Kelima, non-politik praktis. Muhammadiyah memilih lapangan dan strategi perjuangan jalur kultural, politik moral, dan kebijakan. Ormas dan parpol adalah entitas berbeda yang memiliki jalan perjuangan berbeda.
MUHAMMAD RIDHA BASRI, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga