Epos Hendra Gunawan
Penulis : Agus Dermawan T
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I, 2018
Tebal : xiv + 294 halaman
ISBN : 978-602-424-883-3
Sejak Kelompok Lima berdiri pada 1935 sampai Sanggar Pelukis Rakyat pada 1947, pelukis Hendra Gunawan punya andil besar menumpukan organisasi menjadi ruang pendidikan seni rupa di Indonesia.
Sementara karya lukisnya dianggap paling mampu menawarkan keindonesiaan yang tradisional dan merefleksikan rasa kerakyatan Indonesia di mata dunia.
Di kutub lain, guratan nasib sedih pernah menyeret Hendra ketika kemelut politik 1965 berujung pada praktik bersih lingkungan. Tercatat sebagai kader Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), ia dijebloskan ke dalam penjara. Namun, bilik terali besi tak mampu merenggut kemerdekaannya berkreativitas.
Mendekam di Penjara Kebon Waru, Hendra merenungi dunia batin orang hukuman. Lukisan ”Aku dan Istriku di Lonceng Kedua” (1973) mengabadikan tilas bahwa keterpisahan fisik justru menguatkan ikatan batin orang-orang tertindas. Adapun lukisan ”12 Tahun Tak Mandi” (1977) mengabadikan nasib tahanan politik yang bertahun-tahun dibui tanpa proses peradilan sekalipun.
Hendra Gunawan memang seorang penyintas yang tidak mudah timpas kemalangan nasib. Lahir 100 tahun silam, 11 Juni 1918, di Bandung, ia menampik arahan sang ayah menjadi amtenar Hindia Belanda. Hendra berkeras memilih jalan kuas dan kanvas.
Dunia para kere
Buku Surga Kemelut Pelukis Hendra: Dari Pengantin Revolusi Sampai Terali Besi (2018), ditulis kritikus seni, Agus Dermawan T, untuk menapaki kembali hayat dan karya pelukis Hendra. Bentang jarak dan waktu kehidupan yang ditempuh Hendra selama 65 tahun adalah petualangan fisik dan mental.
Bandung, Yogyakarta, Bali; dari kuburan, pasar, penjara, sampai medan pertempuran di Karawang dan Bekasi menjadi medan kreatif Hendra menekuni seni lukis. ”Seorang petualang adalah manusia pemberani,” tulis Agus Dermawan T (hlm 5).
Buku biografi ini mengisahkan visi kesenian Hendra mulai ditempa ketika minggat dari rumah menggelandang di kawasan seni Jalan Braga. Hidup kekurangan, seorang pria baya memberi tumpangan cuma-cuma dan acap berbagi makanan dengannya.
Padahal, pria baya yang kelak ia anggap sebagai ayah angkat itu bukan orang berada. Sampai di kemudian hari, Hendra mendapati kenyataan setiap makanan yang disantapnya berasal dari nampan yang disodorkan menampung sisa makanan restoran.
Untuk pertama kalinya, Hendra merasakan empati kepada dunia kere serta simpati kepada ekspresi orang-orang kecil. Pengalaman hidup itu dinilai Agus Dermawan T membentuk pribadi Hendra sebagai seniman yang menjalani hidup dengan prinsip selalu ingin memberi.
Lewat organisasi, ia memberi pendidikan serta ruang berkreasi tanpa diskriminasi, baik status sosial, bakat seni, maupun kepopuleran. Dalam karya ia melukiskan tawa dan luka masyarakat kelas bawah serta gelora rakyat memperjuangkan kemerdekaan.
Dunia para kere (rakyat jelata) telah jadi impresi Hendra sejak periode lukisan revolusi. Lukisan adikarya berjudul ”Pengantin Revolusi” semisal, mengisahkan sejoli rakyat jelata melangsungkan perkawinan di tengah kancah perang.
Si lelaki tak memiliki busana pengantin lantas meminjam baju tentara seorang laskar; si perempuan meminjam busana properti tari topeng Betawi. Riwayat lukisan itu bermula dari sketsa yang digoreskan pada 1947 lantas digubah dalam cat minyak di atas kanvas pada 1957.
Dalam laku, kepedulian Hendra terhadap dunia para kere juga tampak ketika Presiden Soekarno mensponsorinya berpameran tunggal pada 1946. Di pergelaran lukisan pertama era Indonesia merdeka itu, Hendra memberi kejutan menampilkan ”pagar ayu para kere” menyambut kedatangan Soekarno.
Saat itu, Bapak Proklamator tertegun sampai menggenangkan air mata, sedangkan Hendra Gunawan berujar singkat bahwa setiap orang berhak menikmati lukisannya.
Agus Dermawan T melihat empati Hendra kepada rakyat jelata tak lepas dari pengalaman hidup berutang budi kepada seorang kere. Agus menulis analisis begini: ”Empati seperti dalam karya seni Hendra merupakan analogi dari simpati berlebihan.
Sebuah teori yang ditawarkan pemikir Jerman Theodor Lipps dalam teori Einfuhlung menegaskan tentang masuknya perasaan seniman ke dalam obyek sehingga seniman memproyeksikan dirinya ke dalam situasi obyek tersebut. Maka, sikap berkesenian Hendra terhadap rakyat jelata dapat disebut normal… (hlm 31).
Warna-warni kehidupan
Beberapa situasi dramatik yang menarik diungkap di buku ini ketika periode melukis di penjara. Saban merampungkan lukisan di penjara, Hendra kerap menerakan kode KW singkatan dari Kebon Waru di sisi tanda tangan.
Satu lukisan berjudul ”Ali Sadikin pada Masa Perang Kemerdekaan” (1978) jadi perkecualian. Pasalnya, saat itu, di antara napi santer kasak-kusuk datangnya bulan pembebasan.
Penciptaan lukisan itu pun unik, mirip Pramoedya Ananta Toer menulis Tetralogi Pulau Buru di kamp kerja paksa. Hendra tak mengenal Ali Sadikin hanya bermodal spirit melukis ”ikon daerah” dan ”epos pahlawan daerah” di Indonesia.
Akhirnya, segala properti yang ada di lukisan—busana angkatan laut, teropong samudra, moge Harley Davidson—dikembangkan dari imajinasi yang didengarnya dari cerita rekan-rekan di penjara dan sejumlah tamu yang mengunjunginya.
Di penjara pula awal mula terjalin hubungan romantik antara Hendra dengan istri keduanya, Nuraeni. Berstatus sesama tapol, Nuraeni dituduh sebagai oknum gerakan politik sebab kelompok drumband yang diikutinya kerap dikoordinasi CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), organisasi onderbouw PKI.
Benih-benih cinta tumbuh ketika Hendra melatih melukis sesama narapidana. Di kemudian hari, kesemarakan warna tropikal yang menonjol dalam lukisan Nuraeni mempengaruhi proses kreatif Hendra dalam memanifestasikan warna di atas kanvas.
Biografi ini terbilang rinci memaparkan warna-warni kehidupan Hendra Gunawan. Dilengkapi dengan cuplikan 65 lukisan dari berbagai periode, disisipkan pula puisi, surat-surat, kliping artikel pengamat seni dan ihwal pemalsuan lukisan Hendra seiring merebaknya lukisan di Indonesia.
Buku ini adalah epos Hendra Gunawan sebagai pelukis besar Indonesia. Sebagaimana lukisan epos pahlawan daerah yang dimaksudkan Hendra untuk mengabadikan jejak langkah anak bangsa berjuang menjadi manusia merdeka.
ABDUL AZIZ RASJID, Jurnalis dan Esais