Intelektual dalam Pusaran Kekuasaan
RESENSI BUKU
Judul buku : The Vortex of Power, Intellectuals and Politics In Indonesia’s Post-Authoritarian Era
Pengarang : Airlangga Pribadi Kusman
Penerbit : Palgrave Macmillan, Singapore
Cetakan : I, 2019
Tebal : xii + 272 halaman
ISBN : 9789811301544
Buku The Vortex of Power yang terdiri dari tujuh bab ini menganalisis peranan kaum intelektual di dalam ”pusaran arus politik” di Indonesia melalui proses politik lokal di Jawa Timur di era pasca-otoritarian Orde Baru. Kajian kualitatif ini berbasis pada hasil wawancara mendalam dengan intelektual yang berprofesi sebagai akademisi, aktivis sosial, dan teknokrat. Selain itu juga tokoh partai politik, pejabat daerah, dan birokrat.
Tesis utama buku ini diposisikan sebagai kritik terhadap pendekatan Neo-institusionalis, Neo-Foucauldian, dan Neo-Gramscian melalui fenomena aliansi antara intelektual dan oligarki.
Argumennya, tiga pendekatan tersebut tidak memperhatikan bahwa praktik pemerintahan yang baik atau good governance terkait dengan karakter desentralisasi politik di tingkat lokal.
Peranan kaum intelektual yang beraliansi dengan oligarki dalam memanfaatkan pengetahuan good governance dalam proses desentralisasi dan demokratisasi politik lokal menjadi unit analisisnya.
Kritik terhadap Neo-institusionalis mempersoalkan peran intelektual yang semestinya melakukan institusionalisasi good governance melalui proses teknokrasi dalam struktur politik.
Dalam kenyataan konteks oligarki turunan Orde Baru yang masih kuat di era pasca-reformasi beraliansi dengan intelektual. Akibatnya institusionalisasi good governance gagal karena terdistorsi.
Kritik untuk pendekatan Neo-Foucauldian membandingkan pengalaman Inggris dan Amerika dalam menegakkan good governance sebagai anak kandung neo-liberal, yang dapat mendisiplinkan intelektual, teknokrat, birokrat, dan politisi membangun pemerintahan bersih, transparan, untuk melayani kepentingan masyarakat.
Di Jawa Timur, pendisiplinan neo-liberal gagal menegakkan good governance karena aliansi intelektual-oligarki menghadangnya. Namun, retorika good governance mereka gunakan untuk berkuasa. Terakhir, kritik ditujukan pada pendekatan Neo-Gramscian yang menjelaskan peranan intelektual secara organik mampu membangun hegemoni good governance melalui kesepakatan.
Di Jawa Timur, aliansi intelektual-oligarki alih-alih menegakkan good governance sebaliknya justru mengambil keuntungan politik dan ekonomi. Pengetahuan good governance dari intelektual dipakai sebagai legitimasi kepentingan politik dan ekonomi oligarki di tingkat nasional ataupun lokal.
Aliansi oligarki
Buku ini menjelaskan secara historis jaringan kuasa oligarki turunan Orde Baru berhasil beraliansi dengan intelektual di era pasca-reformasi. Aliansi tersebut dipakai oligarki predator untuk berkuasa dalam dunia politik dan ekonomi di Indonesia.
Mereka mendistorsi pengetahuan good governance, demokrasi, liberalisme, dan neo-liberalisme sebagai legitimasi kuasa mereka di tingkat nasional dan lokal (hlm. 129-138). Intelektual kemudian tersedot dalam pusaran kekuasaan dan melayani oligarki predator mewarnai politik lokal-nasional di era demokratisasi.
Pusaran kekuasaan tersebut menjadi ruang perselingkuhan antara pengetahuan good governance (neo-liberal) dan pengetahuan kuasa yang diproduksi oleh oligarki. Intelektual kemudian kehilangan kemampuan mengembangkan pengetahuan good governance walau mereka menerimanya.
Selain kasus lumpur Lapindo, buku ini pun menyebut kasus Pilkada DKI tahun 2017 yang menunjukkan aliansi bisnis-politik oligarki dengan intelektual bergerak melalui ruang agama untuk memperoleh kekuasaan di Jakarta (hlm. 117-122). Kajian ini menunjukkan bahwa intelektual memperkuat hegemoni oligarki dengan mendistorsi good governance.
Secara organik, intelektual Indonesia (melalui kajian Jawa Timur) berbeda dengan intelektual di Inggris dan Amerika, bahkan di Asia Tenggara. Mereka memproduksi pengetahuan good governance dan kemudian secara organik diterapkan pada tingkat praktik bernegara. Intelektual Indonesia memfasilitasi kelompok predator untuk berkuasa dengan jargon good governance.
Kasus lumpur Lapindo menjadi bukti empirik yang tragis dari persekutuan antara kaum intelektual dan kuasa predator. Mereka membangun legitimasi yang merugikan warga di sekitar limpahan lumpur Lapindo (hlm. 193-226).
Fenomena lumpur Lapindo dan Pilkada DKI menunjukkan bawa kepentingan neo-liberal global justru dihambat oleh kekuatan aliansi intelektual dan kuasa oligarki predator yang menonjolkan kepentingan mereka.
Buku ini menunjukkan bahwa gagalnya pendekatan Neo-institusionalis, Neo-Gramscian, dan Neo-Foucauldian untuk menanam neo-liberalisme dengan good governance-nya melalui kaum intelektual di Indonesia karena pengetahuan good governance telah dibajak oligarki untuk memperoleh keuntungan kuasa politik dan material.
Kajian ini berhasil menjelaskan bahwa aliansi oligarki-intelektual justru menegakkan pengetahuan baru yang mereka ciptakan dan dipraktikkan untuk mempertahankan kuasa politik-ekonominya dengan bahasa good governance dan bahasa kuasa oligarki.
Konteks pudarnya ideologi kiri, sosial-demokrasi, dan liberal juga ditunjukkan sebagai faktor yang memungkinkan aliansi antara intelektual dan oligarki predator terjadi. Meskipun demikian, masih ada celah masalah yang belum terjawab.
Mengapa intelektual di tingkat nasional dan lokal tidak atau belum mampu membangun nalar pengetahuan yang bebas nilai kepentingan kapitalis neoliberal global maupun kepentingan oligarki predatoris?
Apakah kaum intelektual juga gagal memproduksi nasionalisme pengetahuan kerakyatan? Atau justru aliansi intelektual dengan oligarki itu merupakan pilihan pragmatik yang nasionalis? Mungkin jawabannya terdapat di balik pandangan nasionalisme semu ”bahwa lebih baik melayani oligarki predator lokal-nasional daripada melayani kepentingan predator kapitalis global”.
ARIS ARIF MUNDAYAT, Dosen Universitas Pertahanan