Kaum cendekiawan memiliki tempat terhormat dalam catatan sejarah Indonesia. Nama-nama seperti Soedjatmoko, Soe Hok Gie, Drijarkara, Sartono Kartodirdjo, dan Nugroho Notosusanto merupakan aktor-aktor penting yang berkontribusi membentuk sejarah kemajuan bangsa.
Mereka tidak hanya membangun ilmu pengetahuan, tetapi juga membangun masyarakat secara beriringan. Dalam buku Cendekiawan dalam Arus Sejarah (Beranda, 2018) karya sejarawan Peter Kasenda, rekam jejak lima cendekiawan tersebut dipaparkan.
Kelima cendekiawan itu mengambil posisi dan peran yang berbeda. Meskipun demikian, mereka sama-sama memiliki keyakinan teguh dan keberanian menyatakan apa yang dianggap benar. Soedjatmoko memilih untuk menarik diri dari lingkaran kekuasaan saat menyaksikan pembusukan sistem politik Indonesia pada era Orde Lama.
Keputusan itu menjaga kredibilitasnya sebagai intelektual yang berpihak kepada rakyat. Pun demikian dengan Soe Hok Gie, ia senantiasa mengkritisi penguasa lewat tulisan-tulisannya yang tajam dan berani meski berbagai ancaman menghampiri.
Dari ranah akademisi, Sartono Kartodirdjo, Nugroho Notosusanto, dan Drijarkara tak pernah nyaman duduk di ”menara gading”. Mereka hadir di depan publik mewakili sebuah pendirian. Drijarkara, misalnya, tak ingin demokrasi mati dengan menolak gagasan pemerintah terkait pelarangan demonstrasi jelang Peristiwa 11 Maret 1966.
Kisah-kisah yang tersaji dalam buku ini bukan bermaksud sebagai glorifikasi sosok mereka, melainkan untuk memetik inspirasi tentang bagaimana seharusnya cendekiawan mengambil peran dalam pembangunan bangsa. (AEP/LITBANG KOMPAS)
Cendekiawan di Masa Orde Baru
Pergulatan cendekiawan tak pernah lepas dari tiga hal: kebudayaan, modal, dan kekuasaan. Kaum cendekiawan lahir dari rahim kebudayaan, yang dalam perkembangannya berkait dengan rentetan panjang sirkulasi elite historis. Mereka memainkan peran yang ambigu.
Ada yang berdedikasi mengangkat old moneyed class menjadi elite yang berorientasi kolektif, ada pula yang menjadi budak kekuasaan, membantu mempertahankan dominasi ”tuan”-nya dalam masyarakat.
Relasi cendekiawan dengan kebudayaan, modal, dan kekuasaan tersebut dikaji secara mendalam oleh Daniel Dhakidae dan hasilnya disajikan dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Gramedia Pustaka Utama, 2003). Penulis melakukan kajian terhadap produksi wacana politik dan menjadikan Orde Baru sebagai fokus utama.
Daniel memeriksa secara kritis bagaimana kekuasaan memiliki daya pikat untuk mengubah medan kecendekiaan, dan sebaliknya, cendekiawan dapat mengubah kekuasaan. Meskipun demikian, penulis bukan mencari sosok orang dan idenya, melainkan pada dampak efektif diskursus politik dan budaya yang mendapat rangsangan modal dan kekuasaan pada era Orde Baru.
Dalam salah satu bab yang menganalisis lembaga-lembaga cendekiawan bentukan Orde Baru, terlihat bagaimana semua lembaga itu bergerak dalam satu komando. Terjadi ”penjinakan” ilmu sosial, ekonomi, dan sejarah untuk ”menormalkan” kehidupan masyarakat menurut pandangan Orde Baru.
Namun, wacana yang diproduksi kekuasaan selalu mendapat perlawanan dengan wacana tandingan. Pertarungan antara dua kutub yang tiada habisnya itu mewarnai bab demi bab buku ini. (AEP/LITBANG KOMPAS)