Horizon Baru Memahami Korupsi
Judul: Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi
Penulis: B Herry Priyono
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2018
Tebal: xvi + 664 halaman
ISBN: 978-602-06-1905-7
Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk pada 27 Desember 2002, lembaga antirasuah ini telah menangkap ratusan kepala daerah dan legislator daerah. Kondisi serupa menimpa sejumlah eksekutif dan legislatif tingkat pusat. Keprihatinan kian bertambah, tidak sedikit pula penegak hukum yang menjadi ”pasien” KPK. Mengapa praktik korupsi menunjukkan statistik yang terus menaik? Adakah yang salah dengan desain agenda pemberantasan korupsi?
Pertanyaan tersebut begitu masuk akal di tengah desain memberantas korupsi termasuk peranti hukum, baik yang berskala nasional maupun internasional. Karena itu, muncul pertanyaan lain yang lebih mendasar: adakah yang keliru dari pemaknaan atau arti korupsi yang sejauh ini diperangi?
Kitab karya B Herry Priyono bertajuk Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi hadir di tengah fakta korupsi bukan sekadar omongan dan wacana. Korupsi se-nyata seperti hujan, se-konkret seperti perang.
Namun, agenda pemberantasannya belum didukung ketersediaan literatur dan kosongnya khazanah kajian konseptual arti korupsi dengan horizon luas. Padahal, dukungan tersebut perlu untuk membantu pengembangan studi dan menanggapi persoalan korupsi.
Penyempitan arti korupsi
Dengan keprihatinan tersebut, penulis menyatakan bahwa konsep korupsi yang dipahami dewasa ini telah mengalami penyempitan arti dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Penyempitan tersebut berkaitan langsung dengan khazanah perdebatan arti korupsi setelah Perang Dunia II, terutama ketika korupsi dikaitkan dengan agenda pembangunan (development) di negara-negara baru merdeka. Akibatnya, luasnya arti korupsi dari zaman kuno sampai renaisans, terus-menerus mengalami penyempitan hingga zaman modern.
Penyempitan makna korupsi disebabkan tiga bias definisi dalam studi korupsi. Pertama, bias cara pandang hukum yang disebabkan penentuan suatu perbuatan dinilai sebagai korupsi atau bukan korupsi sejauh ditetapkan atau tidak ditetapkan undang-undang.
Kedua, bias sentrisme negara di mana korupsi dipahami sebagai gejala dan perbuatan menyelewengkan kuasa pemerintahan. Ketiga, bias ekonomi karena arti korupsi dibatasi sebagai penyelewengan keuangan negara atau sumber daya publik yang diukur berdasarkan kerugian keuangan negara.
Dengan menguraikan perjalanan arti korupsi, terpapar pergeseran arti korupsi dari arti luas hingga menyempit. Zaman modern, penyempitan menemukan puncaknya ketika definisi korupsi Bank Dunia dan Transparansi Internasional begitu dominan. Dalam hal ini, Bank Dunia mendefinisikan korupsi adalah ”penyalahgunaan jabatan publik bagi keuntungan pribadi”. Definisi itu berimpitan dengan Transparansi Internasional yang menyatakan korupsi sebagai ”penyalahgunaan jabatan publik bagi keuntungan pribadi” (the abuse of public office for private gain).
Secara keseluruhan, kitab ini terdiri atas delapan bab. Bermula dari penjelasan ihwal tujuan dan pegangan metodologis (Bab 1), dilanjutkan uraian di sekitar definisi dan konsep korupsi (Bab 2). Setelah itu, dibahas keluasan arti korupsi pada zaman kuno hingga renaisans, yaitu menunjuk pada ciri kemerosotan yang dapat dikenakan pada begitu banyak gejala fisik, moral, sosial, politik, dan bahasa (Bab 3). Namun, secara lamat-lamat, dari abad ke-17 hingga akhir abad ke-19, mulai terasa penyempitan arti korupsi seperti pemahaman dewasa ini. Gejala menuju penyempitan arti tersebut dilacak dari pemikiran Thomas Hobbes, Montesquieu, Adam Ferguson, Adam Smith, dan Jeremy Bentham (Bab 4).
Pergerakan menuju penyempitan kian terasa, misalnya dengan memaparkan buah pikir Max Weber yang menunjukkan pengaruh birokrasi modern terhadap makna korupsi (Bab 5). Bab ini menjadi puncak penjelasan penulis perihal penyempitan arti korupsi, terutama korupsi berpindah dari wilayah filsafat moral ke ilmu-ilmu sosial. Pengaruh konsep korupsi Bank Dunia dan Transparansi Internasional terhadap penyempitan arti korupsi diuraikan secara jelas dengan basis argumen yang mudah dipahami.
Setelah berhasil memaparkan rute perjalanan penyempitan arti korupsi, Bab 6 menjelaskan keragaman pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam studi korupsi. Penjelasan perihal keragaman pendekatan ditujukan untuk mengembangkan studi korupsi dan sekaligus membangun kepekaan dalam merancang agenda transformasi ketika korupsi dipandang sebagai masalah sepanjang zaman. Dengan posisi seperti itu, sebagai bagian dari pelacakan arti korupsi, Bab 7 mengemukakan korupsi sebagai konsep moral.
Bagi penulis, korupsi adalah konsep moral yang menjadi demarkasi antara yang tertata dan kacau, antara yang bersih dan kotor, yang sakit dan sehat, serta yang bermakna dan absurd.
Implikasi arti korupsi
Bagian akhir (Bab 8) tanpa bermaksud membuat ”kesimpulan”, penulis hanya memberi beberapa penekanan, antara lain: ”sejauh suatu masyarakat memiliki paham dan cita-cita membantu tatanan, sejauh itu pula korupsi menjadi kegelisahan abadi”. Penegasan tersebut meneguhkan posisi akademik penulis: korupsi masalah sepanjang masa. Karena itu, setelah pergumulan sangat intens menelusuri arti korupsi, kitab ini menawarkan beberapa implikasi dari hasil pelacakan arti korupsi.
Upaya penulis menelusuri luasnya arti korupsi, untuk beberapa kepentingan, tentunya dapat menghadirkan debat panjang. Misalnya, dalam hukum, terutama hukum pidana, rumusan yang meluas akan dengan mudah dihadapkan pada prinsip kepastian dan kejelasan rumusan (lex scripta, lex certa, dan lex stricta). Karena itu, undang-undang lebih fokus merumuskan unsur yang harus dipenuhi perbuatan untuk dikategorikan sebagai (tindak pidana) korupsi.
Namun, karena menawarkan sesuatu yang baru untuk segera keluar dari jebakan memakai arti korupsi yang mengalami penyempitan, kehadiran kitab ini sangat membantu. Misalnya, dalam menanamkan kesadaran antikorupsi sejak dini, bertahan dengan arti korupsi yang sempit tidak lagi menjadi jawaban untuk keluar dari jebakan korupsi. Dengan memberi pemahaman korupsi dalam arti luas, akan lebih mudah menjelaskan bahaya korupsi.
Sebagai sebuah karya akademik yang memiliki horizon luas, kehadirannya tidak menawarkan strategi teknis dan tidak pula sebatas memberikan sumbangsih di tengah kelangkaan kepustakaan berbahasa Indonesia ihwal arti korupsi. Lebih fundamental dari itu, karya B Herry Priyono ini memiliki kekhususan, yaitu menawarkan fondasi baru dalam memahami arti korupsi di tengah desain gerakan antikorupsi.
Bagi kalangan yang concern dengan isu korupsi dan pemberantasannya, mulai dari dosen, mahasiswa, jurnalis, pengamat, hingga tentunya pegiat antikorupsi, kitab ini harus menjadi bagian integral dalam memamah masalah korupsi. Tak hanya itu, apabila disandingkan dengan buku-buku klasik yang sejak lama menjadi rujukan, misalnya The Sociology of Corruption karya Syed Hussein Alatas, kitab ini memiliki kepantasan dipersandingkan sebagai literatur berskala internasional.
Karena substansi mendasar yang terpapar dalam kitab B Herry Priyono tidak mudah dan sulit ditemukan dalam sejumlah buku klasik, penerbit layak menimbang mengalihbahasakan, terutama ke dalam bahasa Inggris. Tujuannya jelas, kitab ini bisa dimamah komunitas internasional yang concern terhadap isu korupsi.
Saldi Isra, Hakim Konstitusi, Profesor Hukum Tata Negara, FH Universitas
Andalas, Padang