Jejak Peradaban pada Gamelan
Judul Buku : Memaknai Wayang dan Gamelan: Temu Silang Jawa, Islam dan Global
Penulis : Sumarsam
Penerbit : Gading
Cetakan : I, 2018
Tebal : xx + 346 halaman
ISBN : 978-602-6610-69-0
Gamelan bukan semata instrumen musik. Di tangan Sumarsam, kita dapat mengetahui bahwa eksistensi gamelan membawa makna dan nilai-nilai baru tentang sejarah, kolonialisme, eksistensi, perlawanan, nasionalisme, dan politik di negeri ini.
Gamelan telah menyebar, melintas batas-batas kultural. Pada awal abad ke-19, gamelan menjadi benda ”eksotis” yang coba diperkenalkan di bumi Eropa. Belanda merasa perlu menunjukkan tubuh manusia jajahannya beserta kebudayaan musik yang dimiliki kepada publik Eropa lewat pameran bertajuk Internationale Koloniale en Uitvoerhandel; Tentoonstelling Colonial di Amsterdam (1883), Arnhem (1879), Paris Exposition Universelle di Paris (1889), Columbian Exposition di Chicago (1893).
Kita bisa menelusuri bagaimana pandangan orang Eropa kala itu saat pertama kali melihat manusia Jawa dan musik gamelan. Edward, menulis artikel tentang pameran Columbian (Chicago, 1893), menyatakan bahwa orang Jawa adalah salah satu ras yang setengah beradab.
Juga seorang jurnalis bernama Kehrer, menulis di surat kabar Algemen Handelsblad (1878), menyatakan, musik gamelan adalah bunyi yang diulang- ulang, membuatnya mual dan ingin segera muntah.
Sementara kritikus musik Daniel de Lange dari harian Nieuwas van de Dag menulis, permainan gamelan seperti suara ceret yang ditabuh seniman Jawa. Bunyinya lebih parah daripada piano yang sumbang. Semua komentar berbau sarkastis.
Pandangan-pandangan itu muncul dengan menempatkan dikotomi antara siapa ”ras tinggi” dan siapa ”ras rendah”. Pameran tentang manusia dan kebudayaan terjajah seolah menunjukkan dominasi kaum penjajah sebagai yang terbaik, sementara terjajah adalah yang kalah, buruk, eksotik, dan primitif.
Dicaci dan dipuja
Melihat manusia Jawa beserta musiknya seperti membawa ingatan dan impian-impian mereka pada zaman kehidupan purbawi yang lampau dan kuno. Namun, di balik sinisme, cibiran, dan umpatan, di tengah keramaian dan kerumunan pengunjung pameran, muncul rasa kagum yang begitu dalam dari seorang komponis besar kala itu, bernama Claude Debussy.
Karya-karya Debussy, seperti Pagodes, Nocturne, Fantasie, dan La Mer, lahir setelah ia berlama-lama mendengarkan tetabuhan gamelan di Paris Exposition Universelle di Paris (1889). Karya-karya itu pun bernuansa sangat gamelan, dengan berpusat pada permainan lima nada (pentatonik), komposisi yang memiliki siklus selayaknya gending pada karawitan Jawa. Terlebih setelah Jaap Kunts, pengacara muda dari Belanda, pada tahun 1919 menginjakkan kaki di tanah Jawa.
Kekaguman Kunts membabi buta begitu mendengar gamelan dibunyikan secara epik di dalam tembok keraton. Setelahnya ia menjadi ”virus” yang menyebarkan gamelan di tanah Belanda, dan disusul muridnya bernama Mantle Hood di tanah Amerika. Gamelan kendati awalnya dicaci dan dibenci, kemudian dipuja dan dicintai hingga kini.
Sumarsam, lewat buku Memaknai Wayang dan Gamelan ini, menjelaskan kisah-kisah di atas dengan bernas. Ia adalah intelektual pribumi yang lahir di Dander, Bojonegoro, Jawa Timur, yang kini menjadi profesor musik di Wesleyan University, Amerika Serikat. Sebagaimana buku-bukunya tentang gamelan yang diburu dan ditunggu, buku ini memuat hasil-hasil penelitian selama lebih kurang satu dekade.
Sumarsam banyak berbicara tentang perjalanan gamelan di tanah Amerika Serikat sehingga menjadi kurikulum di berbagai perguruan tinggi bergengsi, serta bagaimana metode belajar gamelan yang dilakoninya.
Sumarsam juga mencoba memberi tawaran alternatif lain dalam menempatkan gamelan sebagai upaya menelusuri jejak panjang peradaban manusia di tanah Jawa.
Dari Gresik ke Mataram
Dalam salah satu bab, ia menceritakan dengan dramatis tentang kejayaan gamelan di Gresik, Jawa Timur, yang telah hilang. Berdasarkan atas bukti- bukti yang ditemukannya, Gresik dan Surabaya, pesisir Jawa Timur, adalah pusat peradaban gamelan sebelum akhirnya berpindah ke Keraton Mataram yang bermuara di Surakarta dan Yogyakarta.
Gamelan-gamelan dengan kualitas unggul dan terbaik diciptakan di Gresik. Gending-gending dan pertunjukan dipentaskan dengan meriah. DeGroot (1852) mencatat peristiwa itu dan menekankan bahwa sejatinya sebuah peradaban besar berangkat dari pinggir (pesisir) dan semakin lama merangsek ke tengah (Mataram).
Sayangnya, jejak-jejak Gresik sebagai kiblatnya gamelan kini tidak lagi terlihat alias hilang ditelan waktu. Dengan demikian, Sumarsam mendekonstruksi pandangan umum tentang keraton sebagai pusat kultural manusia Jawa.
Justru sebaliknya, usia kebudayaan (kesenian) keraton sebenarnya relatif terlalu muda, yang lahir dari endapan panjang kesenian-kesenian pinggiran- pesisir selayaknya Gresik.
Sumarsam adalah pembaca yang tekun. Setiap argumentasi yang hendak dimunculkan senantiasa disertai dengan referensi-referensi yang memadai. Bahkan, kisaran referensi itu merujuk pada paruh abad ke-18 dan awal ke-19.
Apa yang dilakukan Sumarsam adalah kerja intelektual dalam mengimbangi begitu masifnya dunia gamelan dijamah dan diteliti oleh sarjana Barat.
Sumarsam barangkali menjadi satu- satunya intelektual pribumi yang berhasil mengenalkan konsep dan keilmuan gamelan di kancah internasional. Tak berlebihan kiranya jika dalam gelaran International Gamelan Festival di Solo beberapa waktu lalu ia mendapat penghargaan sebagai sosok yang memiliki dedikasi tinggi bagi literasi gamelan di Indonesia dan dunia.
Saat ini ia sedang meneliti hubungan antara Islam, gamelan, dan wayang di kala label ”halal-haram”, ”kafir-musyrik” tentang kesenian menyeruak ke permukaan.
Sumarsam mencoba menjawab lewat penelitian-penelitian yang dilakoninya. Buku ini mengawali kerja itu, dan tentu saja pamrih mulia yang telah dilakukan Sumarsam layak untuk dibaca dan direnungkan lebih jauh.
Namun, buku yang ditulis Sumarsam ini masih banyak mengandalkan kerja satu arah, dengan melakukan pembacaan terhadap referensi-referensi seputar gamelan tanpa diimbangi kerja lapangan yang ketat. Sumarsam masih berkutat di balik meja, merajut data yang bersumber dari buku-buku sebelumnya.
Pandangan-pandangan terkini seputar gamelan dengan mendudukkan pelaku gamelan, masyarakat pemilik, dan musisi tidak banyak diambil. Akibatnya, temuan yang ada tidak berimbang.
Pertanyaan terkait, apakah kesimpulan-kesimpulan tentang gamelan dalam buku ini masih selaras dan dapat dijumpai saat ini? Atau penelitian yang dilakukan Sumarsam justru terkesan menjadi pengulangan dari penulisan serupa pada abad lalu?
Meski ada sejumlah catatan, buku karya Sumarsam ini telah menyediakan ”peta jalan”, membuka kemungkinan- kemungkinan lain bagi pembacaan gamelan di masa lampau dengan lebih komprehensif.
ARIS SETIAWAN, Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta