Pesan Padang Tionghoa buat Indonesia
Rini kecil mengayuh sepeda di jalan sempit Pasar Tanah Kongsi, Padang. Sore itu banyak orang lalu-lalang. Tak sengaja sepedanya menyenggol seorang ibu. Si ibu terjatuh, lalu bangkit, merebut sepeda, dan menghardik gadis kecil itu. Untunglah, muncul Mak Hasan. Ia menenangkan ibu itu dan mengembalikan sepeda kepada Rini.
”Ingatan akan Mak Hasan memberikan rasa hangat di hati. Mengapa seorang mamak Minangkabau, pedagang durian musiman, mau menyayangi dan membela seorang anak perempuan kecil keturunan Tionghoa?” kenang Riniwaty Makmur (Mak Yie Nie), penulis buku ini, puluhan tahun kemudian.
Kenangan personal itu mendorong Riniwaty, seorang keturunan Tionghoa yang lahir dan tumbuh di ibu kota Sumatera Barat, kembali pulang ke Padang, kota yang telah puluhan tahun ia tinggalkan. Di kota itu ia melihat lagi secara lebih cermat rincian dunia sehari-hari yang baginya sangat intim. Ia seperti menemukan dirinya kembali dan menyusun pesan untuk merawat kebersamaan dan keharmonisan Indonesia.
Hasilnya adalah buku Orang Padang Tionghoa, telaah mengenai harmoni sosial di antara dua kelompok etnis Minangkabau dan Tionghoa, di sebuah kota besar di Sumatera. Telaah ini merupakan disertasi penulis di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Uraiannya terbagi ke dalam lima bab dengan prolog dan epilog. Setelah menuturkan sejarah kehadiran masyarakat Tionghoa di Padang, penulis menyelisik organisasi sosial masyarakat tersebut, identitas budayanya, dan relasinya dengan masyarakat Minang. Uraian dipungkasi dengan kenangan personal atas lingkungan tempat kedua kelompok etnis tersebut hidup bersama.
Dalam lampiran terdapat glosari bahasa Minang Pondok, yakni dialek Minang yang dituturkan oleh masyarakat Tionghoa, yang meliputi 317 kata berikut padanannya dalam bahasa Minang dan Indonesia.
Hidup dan mati
Buku ini terutama memperhatikan kongsi gedang (serikat besar) dan kongsi kecik (serikat kecil), yakni organisasi yang mewadahi kegiatan sosial budaya masyarakat Tionghoa di Padang. Jika kongsi kecik dibentuk berdasarkan suku atau marga (she), kongsi gedang bersifat lintas marga.
Dengan Kelenteng See Hin Kiong yang berperan sebagai pemberi tudung spiritual, kongsi-kongsi tersebut menjadi pilar organisasi sosial masyarakat Tionghoa di Kota Padang sekaligus pemelihara saluran komunikasi dengan kelompok masyarakat lainnya, tak terkecuali masyarakat Minang.
Di kota ini terdapat sejumlah kongsi kecik dan dua kongsi gedang, yakni Himpunan Bersatu Teguh (HBT) dan Himpunan Tjinta Teman (HTT). HBT tadinya merupakan singkatan dari Heng Beng Tong, sedangkan HTT dari Hok Tek Tong. Keduanya berkiprah sejak abad ke-19.
HBT dijadikan unit analisis utama buku ini. Penulis menelaah struktur organisasinya, pola kepemimpinannya, ikatan keanggotaannya, jaringan komunikasinya, dan bentuk kegiatannya. Semua itu ditelaah dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari di pasar tradisional yang sudah lama menjadi tempat tinggal dan bekerja masyarakat Tionghoa, menyatu dengan masyarakat Minang. Itulah Pasar Tanah Kongsi, Kampung Pondok, Kota Padang, yang bagi penulis buku ini juga merupakan ”lapangan bermain” di masa kanak-kanak.
Salah satu kegiatan utama organisasi sosial seperti HBT ialah mengelola upacara pemakaman. HBT memberikan layanan sosial, mulai dari penyediaan peti mati dan ambulans hingga pelaksanaan upacara penguburan. Riniwaty sendiri, bersama keluarga besarnya, turut merasakan layanan demikian sewaktu mengebumikan ibunya di Padang pada 2012.
Melalui kegiatan seperti itu, tradisi leluhur diteruskan, ikatan persaudaraan dipelihara, dan organisasi bisa terus bertahan menyelaraskan diri dengan perubahan zaman dan lingkungan. Perhimpunan masyarakat seperti ini tetap hidup, justru karena salah satu kegiatan utamanya adalah mengurus kematian.
Model komunikasi
Pada intinya, telaah ini merumuskan model komunikasi yang dianggap efektif buat memelihara harmoni antaretnis. Ditandaskan bahwa komunikasi antarbudaya yang diidam-idamkan itu pada dasarnya bertopang pada ”kesamaan konteks kultural” dan ”pola komunikasi interaksional”.
Pada masyarakat Tionghoa di Padang, penulis melihat adanya ”hibriditas kebudayaan”. Hal itu terlihat antara lain dari adanya dialek Minang Pondok hingga adanya makanan fusion alias ”masakan peranakan”.
Dengan kata lain, seraya tetap memelihara identitas budayanya, kelompok etnis tersebut menyesuaikan diri dengan masyarakat Minang dan tunduk pada kebijakan pemerintah.
Perbedaan agama dan asas kekerabatan tidak jadi soal. Yang terpenting adalah terdapatnya sejumlah kesamaan di antara kedua kelompok etnis tersebut. Baik masyarakat Minang maupun masyarakat Tionghoa dilihat sebagai ”masyarakat kolektif”, yang menghayati etos berdagang, memelihara ”sifat situasional”, terbiasa merantau, dan mengandalkan bahasa yang sama.
”Indonesia secara keseluruhan dapat mengambil model komunikasi antaretnik di Kota Padang ini untuk pembelajaran bagi kota-kota lain dalam rangka menuju masyarakat multikultural,” usul Riniwaty dalam uraiannya.
Demikianlah, dengan caranya sendiri, buku ini seperti surat Padang Tionghoa bagi Indonesia yang bineka. Ia turut menyegarkan kembali kesadaran kolektif akan pentingnya memelihara acuan bersama bagi Indonesia sebagai satu bangsa yang tersusun dari beragam warna.
HAWE SETIAWAN, Penulis lepas, mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra
Universitas Pasundan, Bandung