Merawat Ingatan Mei 1998
Judul: Kita Hari Ini 20 Tahun Lalu
Penyusun : Redaksi KPG dan Litbang Kompas
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : I, 2018
Jumlah halaman : viii + 256 halaman
ISBN : 978-602-424-860-4
Jurnalisme dan memori, dalam pemaparan Barbie Zelizer, memiliki hubungan. Jurnalisme adalah teras belakang (background) dan memori adalah teras depannya (foreground). Zelizer, Guru Besar Komunikasi dari Universitas Pennsylvania, mengangkat masalah ini dalam buku ”Journalism and Memory” (2014) yang ia edit, suatu studi terkini yang melihat komunikasi dalam cara pandang yang terkait dengan masalah ingatan.
Ingatan yang dimaksud di sini adalah ingatan yang terkait dengan momen penting dalam kehidupan manusia. Demikian panjang masalah ingatan pernah dilakukan studi, tetapi jurnalisme rupanya dipandang remeh selama ini.
Pada paparannya, Zelizer menunjukkan dalam kehidupan manusia, sebenarnya jurnalistik telah mengambil peran sebagai pengingat pelbagai peristiwa penting yang dialami. Memasuki era digital, peran jurnalisme sebagai pengingat makin penting di tengah limpahan informasi yang datang dari mana-mana.
Dengan kerangka itulah, kita akan melihat bagaimana posisi buku yang merekam kejadian tragis sekaligus mengerikan di balik peristiwa seputar Mei 1998 itu.
Di mana Anda 20 tahun lalu? Apa peristiwa yang Anda ingat saat itu? Jika Anda belum lagi lahir, cerita apa yang Anda dengar dari orangtua terkait peristiwa 20 tahun lalu itu? Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang terkait dengan ingatan yang membadan (bodily memory) pada diri banyak orang.
Peristiwa Reformasi adalah penanda penting 20 tahun lalu. Peristiwa kerusuhan massal yang diikuti dengan penjarahan, pembakaran, hingga pelecehan seksual masif yang terjadi di sejumlah wilayah Jakarta dan kota-kota lain.
Pengantar menuju reformasi adalah krisis ekonomi di wilayah Asia Tenggara yang tak tertangani dengan baik oleh pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.
Setelah Reformasi, kita lalu menghadapi perubahan sangat besar. Pers jadi lebih bebas, tak lagi harus minta izin terbit pada pemerintah. Partai politik berkembang pesat. Dari tiga partai yang dikenal di zaman Orde Baru, menjadi 40-an partai pada Pemilu 1999.
Serba-serbi Reformasi
Buku ini menampilkan kembali liputan harian Kompas, terkait peristiwa 20 tahun lalu itu. Buku ini menjadi semacam kliping terhadap pemberitaan seputar tahun 1998 hingga memasuki masa pemilu tahun 1999.
Kumpulan berita ini dimulai dengan berita tanggal 13 Maret 1994 berjudul menarik, mengutip omongan Pak Harto kala itu, ”Saya Tidak Berambisi Jadi Presiden Seumur Hidup, Kenapa Ribut-ribut”.
Digambarkan dari berita itu, pernyataan tersebut muncul dari suatu pertemuan antara Presiden dan para aktivis Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Dari berita tersebut, kita akan melihat juga bagaimana kondisi Soeharto pada kondisi ”sedang kuat-kuatnya”, dan para peserta forum pun cenderung menjilat serta membujuk untuk Soeharto kembali mencalonkan diri pada pemilu tiga tahun kemudian.
Dalam pertemuan itu, Soeharto tercatat berucap, ”Dulu saya pernah mengatakan, kalau ada orang yang akan melanggar konstitusi kita, siapa saja, termasuk jenderal akan saya gebuk.”
Berita lain yang diangkat kembali adalah soal pencabutan SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers) tiga mingguan pada pertengahan Juni 1994, yaitu majalah Tempo, Editor, dan Tabloid Detik.
Secara formal dikatakan pencabutan SIUPP karena Editor dan Detik melakukan pelanggaran administratif, sementara majalah Tempo dikatakan melakukan pelanggaran yang terkait dengan melanggar dan membahayakan keamanan nasional.
Setelah itu kita akan melihat berita-berita lain terkait dengan peristiwa 27 Juli 1996, kemudian terbentuknya PBNU Tandingan, demonstrasi buruh di Medan, proyek Mobil Nasional, Krisis Ekonomi, eskalasi demonstrasi mahasiswa yang berujung pada demonstrasi ke arah Gedung DPR di Jakarta. Beberapa headline menarik adalah ”Tutut: Saya Memang Antinepotisme” dan ”Bulan Depan Bapak Gajian Batu”.
Kumpulan berita ini tak hanya mengumpulkan berita-berita langsung pada waktu itu, tetapi juga tulisan feature yang menggambarkan terutama kondisi dan dampak krisis ekonomi yang dirasakan masyarakat kala itu.
Masyarakat kehilangan pekerjaan, banyak barang kebutuhan pokok langka, hingga 4.000 mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang memilih cuti untuk menunda pembayaran SPP mereka.
Catatan peristiwa
Kembali pada kerangka Zelizer, media telah melakukan tugasnya untuk mencatat peristiwa yang telah terjadi 20 tahun lalu. Kini dengan menampilkan liputan tersebut dalam bentuk buku, kita melihat hal ini sebagai upaya untuk membuat ingatan akan bisa menjangkau orang-orang yang tak memiliki ingatan yang membadan pada waktu itu.
Dengan cara ini, ia memperluas jangkauan ingatan, dan ingatan bersama masyarakat akan menjangkau lebih banyak orang sembari menyetujui bahwa bangsa ini jangan sampai jatuh kedua kali dalam peristiwa yang demikian mengerikan dan menghasilkan trauma bagi sejumlah orang.
Buku ini juga memberikan catatan atas pekerjaan rumah yang belum selesai. Enam tuntutan Reformasi waktu itu mencakup: 1) Penegakan Supremasi Hukum; 2) Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; 3) Mengadili Soeharto dan Kroninya; 4) Amendemen Konstitusi; 5) Pencabutan Dwifungsi TNI/Polri; 6) Pemberian Otonomi Daerah seluas-luasnya.
Masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai dan biarlah buku ini menjadi pengingat bahwa agenda-agenda tadi harus segera diselesaikan.
IGNATIUS HARYANTO Dosen Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara, Serpong