Menitipkan Kemiskinan ”Transient” di Tahun Politik
Judul Buku : Penduduk Miskin Transient: Masalah Kemiskinan yang Terabaikan
Penulis : Djonet Santoso
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan : 2018
Tebal Buku : xxxviii + 500 halaman
ISBN : 978-602-433-571-7
Tahun politik seharusnya menjadi momen untuk mengangkat isu penduduk miskin transient ke dalam agenda publik. Pengelola data kemiskinan, birokrat yang kreatif, dan politisi bermartabat perlu bersatu langkah memberdayakan golongan yang mudah masuk dan keluar dari lumpur kemiskinan ini.
Djonet Santoso lewat buku Penduduk Miskin Transient mengingatkan telah banyak focusing event penanggulangan kemiskinan dinamis yang terlewat (hlm 359-360), seperti krisis ekonomi pada tahun 1998, keraguan angka kemiskinan pada 2005, juga rangkaian bencana alam besar yang terjadi sejak 2004 hingga kini.
Selama ini, data semesteran dari Badan Pusat Statistik dan basis data terpadu (BDT) dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) hanya menyuarakan miskin kronis pada 25,9 juta penduduk (9,8 persen), yaitu orang miskin yang senantiasa tinggal di bawah garis kemiskinan.
Kadang kala, secara peyoratif mereka disebut kerak kemiskinan. Karena dipandang mustahil mengentaskan diri, kebijakan kemiskinan yang tercipta didominasi jaminan kesehatan, beasiswa pendidikan, beras murah, bahkan pembagian uang tunai.
Ada yang luput ditangani: penduduk miskin transient, yaitu warga dinamis yang adakalanya merayap keluar dari kemiskinan, sementara di waktu lain terjungkal ke lembah kemiskinan. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, diperkirakan mencapai 40 persen golongan terbawah, atau 95 juta jiwa.
Meski tidak tercantum resmi dalam kebijakan, ironisnya mereka ini pemanfaat terbesar berbagai strategi pemberdayaan sejak 1993. Pemikiran untuk memberi kail daripada ikan kepada orang miskin sesungguhnya juga tertuju kepada golongan transient ini.
Empat bagian
Melalui kemewahan menulis buku setebal 538 halaman, Djonet Santoso menggaet pembaca mengupas detail alur-alur logika administrasi publik, desentralisasi, pemerintahan yang baik atau good governance, program, hingga data kemiskinan. Ini salah satu buku yang tuntas membahas kebijakan, data, dan implementasi lapangan penanggulangan kemiskinan.
Santoso memilah buku menjadi empat bagian besar. Bagian pertama memastikan relevansi kemiskinan transient yang mencakup 40 persen penduduk terbawah (sekitar 25 juta keluarga). Argumennya, kemiskinan transient benar-benar ada dan berlimpah sehingga selayaknya memadati ranah publik (hlm 64-70).
Bagian kedua menelusuri tahapan pembentukan kebijakan publik. Dicek dari belakang, ditemukan proyek yang mengandung kemiskinan transient, berikut data awal yang memastikan keberadaannya, tetapi kosong penunjang kebijakan publik.
Ternyata kelemahannya sudah berpangkal pada itikad politik atau political will: ketiadaan agenda-setting atau diskursus kemiskinan transient di antara politisi, birokrat negara, dan penyedia data (hlm 159-161).
Bagian ketiga menelisik penanganan kemiskinan di Indonesia. Santoso mencatat, kemiskinan transient terekam pada data statistik keluaran BPS pada 2006 dan pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) pada tahun 2007-2014.
Sayang, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) 2004 hanya memasukkan agenda kemiskinan kronis, tetapi luput mengagendakan kemiskinan transient (hlm 342-344).
Yang menarik, di lapangan justru penduduk miskin transient yang mendapatkan pinjaman proyek PNPM-MP. Sebab, muncul bias untuk mempertahankan kinerja proyek agar tunggakan pinjaman mendekati nol.
Akhirnya, bagian keempat mengurai usulan Santoso untuk memperbarui kebijakan penanggulangan kemiskinan. Tekanannya pada kemunculan diskursus kemiskinan transient. Agenda-setting ini perlu diperkuat data longitudinal keberadaan penduduk miskin transient by name by address dari tahun ke tahun.
Jendela kebijakan publik untuk pengurangan kemiskinan perlu dilebarkan bersama-sama di antara koalisi birokrat berkarakter policy-preneur serta politisi yang menaruh perhatian pada rakyat kecil (hlm 447-453).
Selama ini, ketertutupan maksimal data orang miskin by name by address bermakna ketiadaan data kemiskinan di lapangan. Sebaiknya, ketertutupan data hanya dipraktikkan dalam konteks keamanan negara (misalnya daftar teroris) atau aib yang memalukan. Data orang miskin perlu diizinkan dibuka di desa sehingga mudah dikoreksi, lalu langsung digunakan untuk mengentaskan mereka.
Ke depan, diusulkan BPS meneruskan Survei Sosial Ekonomi Nasional untuk menduga kemiskinan makro. Data makro tetap digunakan untuk merancang kebijakan kesejahteraan nasional.
Sementara pemerintah daerah mengumpulkan data mikro orang miskin by name by address sehingga isi proyek pembangunan sampai ke alamat yang tepat (hlm 452).
Setelah ”agenda-setting”
Ditulis dalam ekosistem akademis yang baik, mudah ditemukan keunggulan dan kritik atas buku ini. Santoso piawai menjelaskan data kuantitatif seperti data kemiskinan serta fenomena kualitatif seperti dokumen kebijakan dan proyek. Sementara analisis interpretatif, apalagi pendekatan posmodern, terlalu sederhana dalam buku ini.
Konsekuensinya, ia harus menemukan kata-kata kemiskinan transient (atau yang setara) pada dokumen kebijakan dan proyek. Luput dikenali kebijakan yang sudah menjangkau kemiskinan transient dalam ujaran yang berbeda.
Sebenarnya, pernah muncul kajian global moving out of poverty (MOP) pada tahun 2005. Perlu melakukan inovasi metode diskusi merumuskan garis kemiskinan lokal, mendudukkan seluruh rumah tangga pada tiap tingkatan kesejahteraan.
Pengetahuan kemiskinan transient dilengkapi hasil wawancara kepada rumah tangga yang keluar dari kemiskinan ataupun yang jatuh miskin.
Dengan memusatkan perhatian pada agenda-setting, seandainya kelak rekomendasi Santoso sukses dijalankan, masih dibutuhkan langkah lanjutan: menuliskan dokumen kebijakan hingga panduan lapangan, menggangsir data tahunan di tengah masyarakat, hingga mengelola puluhan ribu pendamping untuk memberdayakan warga miskin.
IVANOVICH AGUSTA Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa PDTT