Modal sosial diakui PBB dan negara-negara anggotanya sebagai unsur penting dalam mencapai pembangunan sosial. Dalam Konferensi Tertinggi untuk Pembangunan Sosial Dunia, modal sosial dinyatakan jadi faktor penentu dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Modal sosial kerap diumpamakan sebagai aset penting dalam upaya penghapusan kemiskinan. Maka, keterlibatan individu dalam asosiasi atau lembaga, komunitas atau kelompok sosial, baik formal maupun nonformal, diyakini dapat memberikan manfaat.
Lalu, apa hubungan antara modal sosial dan pengentasan warga dari kemiskinan? Berbeda dengan penelitian-penelitian tentang kemiskinan sebelumnya, ahli sosiologi UNS, Yulius Slamet, melakukan penelitian disertasinya dengan mengungkap keterkaitan modal sosial bonding (mengikat), bridging (menjembatani), dan linking (menghubungkan) dalam mengurangi derajat kemiskinan.
Hasilnya dituangkan dalam buku Modal Sosial dan Kemiskinan: Tinjauan Teoretik dan Kajian di Kalangan Penduduk Miskin di Perkotaan (UNS Press, 2012). Penelitian dilakukan terhadap penduduk miskin di dua desa, di Surakarta, yang menjadi anggota binaan LSM.
Menurut Yulius, lembaga sosial berperan penting dalam upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan karena dapat menjadi jembatan dan penghubung dengan sejumlah pihak.
Kontribusi lembaga sosial ini antara lain pertukaran informasi, memecahkan masalah sosial bersama, membangun masyarakat bersama, gotong royong, dan meningkatkan kemajuan bersama. Dari penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa modal social bonding memiliki pengaruh rendah terhadap pengentasan warga miskin, sedangkan modal social bridging dan linking memiliki pengaruh kuat. (RPS/LITBANG KOMPAS)
Pemihakan Berbasis Pemerintahan yang Baik
Hasil riset LIPI selama dua tahun yang dilakukan di beberapa daerah memperlihatkan bahwa kebijakan dan program pengentasan masyarakat dari kemiskinan banyak yang belum tepat sasaran.
Beberapa program dari pemerintah pusat ataupun daerah masih bersifat pemberdayaan, bukan pengentasan warga dari kemiskinan. Belum menyentuh kaum miskin dan terkadang meminggirkan mereka karena ketiadaan akses terhadap program yang diadakan.
LIPI juga menemukan adanya perbedaan antara model kebijakan pengentasan warga dari kemiskinan yang menggunakan prinsip pemerintahan yang baik atau good governance—partisipasi, transparansi, keadilan, dan efektivitas—dengan yang tidak. Perbedaan model kebijakan tersebut terutama terkait manfaat program dan kesesuaian antara tujuan dan sasaran.
Berangkat dari berbagai masalah dan kelemahan yang ditemukan pada program penanggulangan kemiskinan di perdesaan, para peneliti memberikan sejumlah rekomendasi bagi penyusunan model kebijakan alternatif, yang lebih fokus menjadikan kaum miskin sebagai sasaran program berbasis pemerintahan yang baik.
Dalam hal ini, ada dua dimensi dasar penanggulangan kemiskinan yang penting diperhatikan, yaitu pemahaman dimensi kemiskinan dan revitalisasi dimensi paradigmatik penanggulangan kemiskinan. Kaum miskin menjadi subyek kebijakan sehingga penting melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan.
Menurut Moch Nurhasim dan kawan-kawan yang menyajikan hasil penelitian itu dalam buku Model Kebijakan yang Memihak Kelompok/Orang Miskin Berbasis Good Governance (LIPI Press, 2014), ada dua syarat utama untuk menjamin keberlangsungan program penanggulangan kemiskinan, yaitu konsistensi penerapan pemerintahan yang baik dan efektivitas kebijakan. (RPS/LITBANG KOMPAS)