Kisah dari Bandar Rempah
Judul : Kura-kura Berjanggut
Penulis : Azhari Aiyub
Penerbit : Banana
Cetakan : I, 2018
Tebal : 960 halaman
ISBN : 978-979-1079-64-8
Novel tebal ini baru saja diganjar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018, salah satu penghargaan sastra bergengsi di negeri ini.
Azhari Aiyub sejatinya bukan nama baru dalam dunia susastra Indonesia. Kumpulan cerpen perdananya ”Perempuan Pala” juga pernah menjadi nominasi di ajang yang sama pada tahun 2004.
Azhari selama ini lebih dikenal publik sebagai penulis cerita pendek, yang tulisannya dimuat di beberapa media massa nasional dan pernah menyabet beberapa penghargaan.
Novel ini menjadi buah perbincangan lantaran keunikan sekaligus ketekunan Azhari dalam merajut kisah. Beberapa potongan dalam novel ini juga pernah tersiar sebagai cerita pendek di beberapa media massa.
Novel yang mulai dianggit sejak 2006 ini paripurna menjumpai pembaca setelah lebih dari satu dekade dijahit penulisnya. Masa sepanjang itu dapat dikategorikan cukup panjang dan sia-sia belaka apabila hanya menghasilkan karya biasa.
Namun juga bisa dikategorikan cukup pendek untuk menghasilkan karya besar. Sebagai pembanding, misalkan, Gabriel Garcia Marquez menulis judul kanonisnya One Hundred Years of Solitude selama enam tahun, dimulai tahun 1961 hingga terbit pertama kali dalam bahasa Spanyol pada tahun 1967.
Azhari membuktikan dalam novel ini bahwa satu dekade waktu yang sepadan untuk menghasilkan kisah menakjubkan ini. Novel setebal hampir 1.000 halaman ini juga merentang kisah dalam kurun waktu yang terbilang panjang.
Ketebalan novel ini berhasil mengalahkan rekor beberapa novel sastra tertebal sebelumnya, Arus Balik setebal 760 halaman, atau Ular Tangga milik Anindita S Thayf dengan tebal 736 halaman.
Sangkilat Bandar Lamuri
Bukan hanya berhalaman paling banyak, Kura-kura Berjanggut pun membentangkan kisah dengan titimangsa latar cerita yang sangat panjang.
Kisah ini berangkat dari dunia rekaan di abad ke-16, kemudian sempat melompat hingga awal abad ke-21, ketika seorang peneliti dari Belanda, Tobias Fuller, melacak catatan demi catatan perihal sebuah kitab Kura-kura Berjanggut.
Kisah panjang Azhari digerakkan sebuah motif pembunuhan Sultan Nurruddin dari Bandar Lamuri oleh Si Ujud. Si Ujud sendiri adalah seorang sangkilat, mata-mata yang ditempatkan Sultan Nurruddin di salah satu menara demi mengamati pergerakan kapal pedagang rempah dan perompak yang menguasai lautan. Jauh sebelum menjadi sangkilat, Si Ujud adalah seorang penjelajah hingga kawasan Timur Tengah dan Istanbul untuk belajar.
Dalam pengembaraan itulah, ia menerima kabar bahwa keluarga dan semua penduduk di tempat tinggalnya dibasmi kaki tangan Sultan Nurruddin. Dendam ini kemudian membawanya kembali ke Bandar Lamuri, dan memaksanya merangsek ke barisan kepercayaan Sultan Nurruddin.
Satu motif ini kemudian Azhari timpa dengan beragam kisah dan plot sempalan yang sama-sama kuat. Azhari menyentil pergolakan politik di Istana Darud Dunya, para pedagang rempah, serta komplotan bajak laut yang trengginas dan ganas. Kisah-kisah pendukung Si Ujud ini membuat bangunan kisah dalam novel komplet nan menawan.
Kisah Si Ujud selesai di bagian satu, Buku Si Ujud yang memakan dua pertiga keseluruhan halaman novel. Sultan Nurruddin berhasil tewas dan dendam Si Ujud terbayar lunas.
Tiga abad kemudian, seorang peneliti dari Belanda, Tobias Fuller, melakukan penelitian perihal beberapa kematian orang Belanda yang tak tercatat pemerintahan Hindia Belanda.
Penelitian ini kemudian menyingkap betapa ajaibnya kitab penuh misteri bernama Kura-kura Berjanggut, yang dipercaya memiliki andil dalam kematian Sultan Nurruddin di bagian satu. Buku catatan ini dimulai pada 3 Mei 1914 dan ditutup dengan penuh misteri pada 1 Oktober 1915.
Adapun di bagian tiga, Lubang Cacing, adalah bagian yang sebenarnya tidak menjadi bagian pokok cerita Si Ujud, tetapi memiliki kedudukan untuk menjelaskan beberapa bagian pada dua bagian sebelumnya sehingga catatan-catatan pelengkap ini penting untuk menutup lubang yang belum sempat ditutupi di bagian satu dan dua.
Semenjak membuka halaman pertama, dunia niskala rekaan Azhari membentang untuk dijelajahi. Di setiap kelokan, Azhari menyisipkan kisah-kisah dan inter-teks dengan sejarah dan tokoh pada dunia nyata.
Dalam novel ini, Azhari secara tersirat menyinggung beberapa nama yang memang benar ada dalam sejarah, misalkan Hamzah dari Fansur atau menyenggol tokoh Snouck Hurgronje ketika era kolonialisme Belanda.
Hasil riset
Novel ini menjadi pembuktian penting seorang penulis. Masa panjang dalam proses penulisan bukan hanya membuat novel ini kaya data, hasil riset penelitian demi membangun novel, juga bagaimana Azhari tekun merangkai cerita. Menilik jumlah halaman yang tebal, akan menjadi bumerang apabila kisah-kisah dalam novel sekadar tempelan hasil riset.
Azhari tidak bermaksud menjadikan Kura-kura Berjanggut sebagai sebuah kumpulan hasil riset belasan tahun, yang perlu dibaca dengan kacamata seorang peneliti. Novel ini adalah fiksi 100 persen.
Novel ini adalah dongeng yang enak dibaca pembaca, yang tak butuh bekal pengetahuan sejarah. Penulis adalah pencerita ulung yang membuat pembaca betah membuka hampir 1.000 halaman karena kerapian berkisah, jalinan cerita menegangkan, dan misteri yang tak bosan diikuti.
Ini juga menjadi pembeda dari kebanyakan novel yang berangkat dari kejadian sejatinya. Apabila kebanyakan novel berusaha mendekonstruksi sejarah, hingga kisah sejarah tampak seolah fiksi, Azhari membalik.
Kisah yang murni dongeng dalam Kura-kura Berjanggut justru berhasil membuat pembaca turut membayangkan Bandar Lamuri dan Istana Darud
Dunya, seolah semua dongeng adalah fakta.Keberhasilan Azhari berkisah perlu diberi apresiasi tinggi. Kesabaran menjahit cerita dengan riset yang sangat kuat tanpa celah memantaskan Kura-kura Berjanggut sebagai salah satu novel terbaik sepanjang 2018 dan memenangi kategori prosa pada Kusala Sastra 2018.
Penulis yang pernah dianugerahi Free World Award dari Poets of All Nation (PAN) Belanda ini benar-benar seorang pendongeng ulung, yang mana kisah sepanjang hampir 1.000 halaman tak sekali pun menumbuhkan rasa bosan.
TEGUH AFANDI, Pegiat Klub Baca