Ketika Google Trends diluncurkan tahun 2009, hasil-hasil pencariannya kurang dianggap penting. Padahal, setiap manusia yang melakukan pencarian di Google meninggalkan jejak digital yang mampu mengungkap banyak hal.
Kapan dan di mana seseorang mencari informasi, lelucon, kutipan, termasuk hal- hal tabu seperti perilaku seksual, terbaca lewat big data alias data berukuran raksasa.
Seiring waktu, Google mampu mengolah data menjadi informasi tentang apa yang sesungguhnya ada dalam pikiran, apa yang diinginkan, dan apa yang ditakutkan mereka yang meninggalkan jejak digitalnya setelah mengakses Google.
Sebuah survei dengan topik sensitif, seperti perilaku seks dan rasisme, rawan tidak akurat. Sebaliknya, hal ini lebih terbaca melalui analisis big data. Perilaku rasis di Amerika Serikat, misalnya, juga terbaca melalui big data.
Seth Stephens-Davidowitz, mantan ilmuwan data di Google, dan penulis di New York Times mengungkap hal itu dalam buku Everybody Lies: Big Data dan Apa yang Diungkapkan Internet tentang Siapa Kita Sesungguhnya (Gramedia Pustaka Utama, 2018). Betapa big data adalah kekuatan besar.(IGP/Litbang Kompas)