Maluku Tengah, Menyatu dalam Adat
Judul: Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid 1 & 2
Penulis: Dieter Bartels
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan: I, 2017
Tebal: lxii + xxiv + 924 halaman
ISBN: 978-602-424-150-6 dan 978-602-424-151-3
Keterpengaruhan menjadi jamak dalam proses kebudayaan di Nusantara. Dari Aceh hingga Papua mengalami keterpengaruhan dari mancanegara. Hal itu lantaran kedatangan orang India, pedagang Muslim, Portugis, dan Belanda. Mereka membawa gagasan dan keyakinan Buddha, Hindu, Islam, dan Kristen.
Pengalaman tersebut terjadi di masyarakat Maluku Tengah. Buku berjudul Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah jilid 1 dan 2 karya Dieter Bartels merupakan laporan riset antropologis dan sejarah. Menariknya, karya ini diperbarui dengan data dan kondisi terbaru Maluku, khususnya Ambon, hingga masa reformasi.
Ada dua jilid untuk buku ini. Jilid 1 mengenai kebudayaan Maluku, sedangkan jilid 2 tentang Maluku dalam perjalanan sejarahnya. Dalam jilid 1, kita akan memperoleh gambaran mengenai apa itu kebudayaan Ambon, mulai dari asal-usulnya, struktur sosial, kekerabatan, hingga keberadaan agama Hindu, Islam, dan Kristen dalam budaya Maluku.
Pada jilid 1 ini, pembaca akan memperoleh gambaran orang Maluku Tengah sebelum kedatangan orang mancanegara yang membawa agama Hindu, Islam, dan Kristen. Orang Maluku memiliki cara hidup yang khas. Mereka hidup terpisah dalam kelompok-kelompok.
Kelompok ini dipimpin seorang yang disebut kapitan. Di kemudian hari, pemimpin ini disebut orang kaya, dan saat ini pemimpin ini disebut raja.
Satuan kelompok ini disebut negeri. Negeri ini memiliki struktur yang terbagi dalam dua peran, yaitu legislatif dan eksekutif. Peran legislatif ada pada saniri dan peran eksekutif ada pada raja.
Satuan sosial negeri bersifat kolektif yang terikat oleh keturunan dan sejarah. Misalnya, Negeri Hukurila di wilayah Kota Ambon, Maluku Tengah, hingga sekarang telah tujuh kali pindah sejak dari Gunung Nunusaku.
Setiap perpindahan selalu terkait perang antarkelompok, bajak laut, ancaman Belanda, bencana alam, atau terkait sumber daya alam.
Perang bisa dilatari kedatangan kelompok baru di wilayah lain, tetapi juga terkait adat mengayau, memenggal kepala manusia (hlm 62-64). Namun, mereka mempunyai mekanisme damai yang disebut pela. Pela ini penting dalam sejarah perdamaian di Maluku Tengah pada masa dulu dan sekarang.
Pengaruh mancanegara
Dalam riwayat masyarakat di Nusantara, keterpengaruhan peradaban mancanegara adalah suatu yang niscaya, termasuk juga di Maluku. Maluku memperoleh pengaruh dari Majapahit, Portugis, Belanda, Jawa, dan etnis Indonesia lainnya. Dalam perkembangannya, lembaga adat di Maluku juga berubah seiring adanya pengaruh tersebut.
Wilayah Negeri Soya di wilayah Kota Ambon merupakan sebuah negeri yang dulunya adalah kerajaan. Rajanya berasal dari keturunan Jawa. Pada masa inilah masuknya keyakinan Hindu di Maluku Tengah.
Bukti keterpengaruhan itu muncul dalam sejarah lisan, nyanyian kesepakatan Pela antara Negeri Soya dan Negeri Hukurila, kemudian pada senjata, adanya tempat pemujaan, dan adanya perubahan pengorbanan kepala manusia dalam pela menjadi kepala kucing.
Selanjutnya, kedatangan bangsa Barat ke Maluku. Mereka adalah Portugis, Inggris, dan Belanda. Keberadaan Portugis di Maluku tidak lama, tetapi tetap memberi pengaruh terhadap budaya dan agama. Sebutan kapitan untuk pemimpin negeri berasal dari bahasa Portugis.
Bangsa Barat selanjutnya adalah Belanda, yang paling intensif masuk ke dalam jantung kebudayaan Maluku, khususnya di Maluku Tengah, yaitu di Kepulauan Seram dan Ambon, serta di Maluku Tenggara. Pengaruh Belanda di Ambon sangat kuat, khususnya di Jazirah Leitimur.
Di Jazirah ini Belanda menaklukkan dan mendapat perlawanan habis-habisan dari kaum adat di negeri-negeri. Apalagi adanya ikatan pela yang kuat di antara negeri sehingga negeri yang tertindas oleh Belanda dibantu negeri yang lain. Namun, ribuan orang Maluku mati di tangan Belanda.
Belanda menggunakan segala cara untuk membantai orang Maluku, utamanya dengan cara culas mengadu domba warga antarkampung dan antarpemeluk Islam dan Kristen. Bahkan, Belanda memanfaatkan tradisi mengayau untuk membunuh orang Ambon.
Belanda mengambil orang-orang yang masih menggunakan adat mengayau dari Alifuru di Pulau Seram dan membawanya ke Pulau Ambon. Orang Alifuru ini paling ditakuti kampung Muslim yang memberontak kepada Belanda daripada tentara Belanda sendiri.
Daya rusak orang Alifuru ini luar biasa. Selain membawa barang jarahan, mereka juga membakar hunian dan mengambil kepala manusia (hlm 606).
Perlawanan terhadap Belanda ini kemudian menemukan titik balik pada 1863. Orang Maluku bersedia menjadi bagian dari Belanda.
Mereka menjadi pasukan Belanda dan digaji sebagai bagian tentara Belanda untuk menumpas pemberontakan di Jawa dan Sumatera. Tentara Ambon, disebut KNIL, dikenal loyal dan sukses menumpas pelbagai pemberontakan.
Perubahan terjadi ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 1945 dan Belanda mengakui Indonesia merdeka pada 1949. Orang Maluku, khususnya Ambon, berada dalam dilema. Bersama Indonesia, mereka harus berada dalam wilayah yang mayoritas Muslim dan Jawa.
Peran adat
Pada masa Republik Indonesia terjadi pergeseran adat dalam kerangka formal birokrasi negara. Hal ini menimbulkan kecemasan, yaitu ketika diberlakukan penyeragaman unit sosial desa untuk seluruh Indonesia melalui Undang-Undang Tahun 1979 tentang Desa. Konsekuensinya, semua struktur terkecil adalah desa.
Dampak pemberlakuan desa ini di Maluku terlihat pada 1999. Ketika terjadi konflik antaragama di Ambon, tidak ada ”jembatan” strategis untuk mencari jalan damai. Padahal, yang terlibat konflik memiliki adat yang sama. Adat itu tidak lagi berperan kuat dalam kehidupan mereka.
Dieter Bartels menyatakan fungsi adat Maluku mempunyai peran strategis dalam menciptakan kedamaian di Ambon (hlm 716-717). Di tengah menguatnya keyakinan Islam dan Kristen, hanya adat yang bisa menjadi jembatan perbedaan di Ambon.
Tampaknya kegelisahan mengembalikan eksistensi adat ini dipahami oleh Pemerintah Kota Ambon. Baru-baru ini, Pemerintah Kota Ambon mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 9 Tahun 2017 tentang penetapan negeri di Kota Ambon.
Perda ini menetapkan 22 desa di Ambon diubah menjadi negeri. Kebijakan ini mengembalikan marwah adat di Ambon dan memberi manfaat bagi kehidupan dan perdamaian di Ambon.
Hanya saja, ada yang perlu dicatat menyangkut data pada saat konflik komunitas Muslim-Kristen 1999 di Ambon. Dalam konflik yang menegangkan itu, Dieter Bartels hanya leluasa di belakang barisan komunitas Kristen. Ia tidak bisa masuk di daerah Islam di Kota Ambon (hlm 708).
Oleh karena itu, ia tidak bisa menjelaskan apakah pada waktu itu pemimpin Islam akan memberkati milisi Muslim sebagaimana pemimpin Kristen memberkati milisi Kristen sebelum kedua belah pihak perang.
IMAM MUHTAROM Peneliti tradisi lisan dan pengelola Borobudur Writers & Cultural Festival