Muhammadiyah, Keragaman dan Nasionalisme
Judul Buku : Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu
Penulis : Salim Bella Pili & Hardiansyah
Penerbit : Valia Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : III, Januari 2019
Tebal : xiv+298 hal
ISBN : 978-602-71540-7-0
Kota Bengkulu menjadi tempat pilihan digelarnya Sidang Tanwir Muhammadiyah pada 15-17 Februari 2019 ini. Meskipun pemilihan Kota Bengkulu sebagai tempat sidang tanwir ini bisa jadi tidak dilatarbelakangi pemikiran historis, tak termungkiri Bengkulu dan Muhammadiyah memiliki kaitan historis yang menarik.
Karena itu, tidak berlebihan jika dalam konteks menyambut sidang tanwir ini kita mengulas sejenak jejak perkembangan Muhammadiyah di Bengkulu dengan segala dinamika yang mengikutinya.
Kota Bengkulu lazim dikenal sebagai kota perjuangan. Sejumlah jejak dan catatan sejarah dapat kita temukan dari kota ini. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Bengkulu merupakan salah satu ”tempat pembuangan/pengasingan” pejuang bangsa yang ditangkap oleh Belanda.
Sejarah mencatat, paling tidak Sentot Ali Basya (1834), Alexander Jacob Patty (1908), Ida Bagus Arka (1908), dan Soekarno (1938) pernah diasingkan Belanda di Bengkulu. Terkait dengan perkembangan Islam, Bengkulu juga menyuguhkan catatan sejarah yang unik.
Sebelum gerakan modernis Islam, utamanya Muhammadiyah, masuk ke Bengkulu, kehidupan keberagamaan di Bengkulu tidak menunjukkan kesan yang istimewa, bahkan terkesan sederhana.
Sampai pada akhirnya muncul gerakan pembaruan keagamaan (Islam) di Bengkulu yang menimbulkan konflik keagamaan antara kalangan tradisional dan kalangan modernis.
Sudah menjadi kelaziman pembaruan selalu menimbulkan perselisihan paham di masyarakat. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari ke(tidak)siapan sebagian masyarakat dalam menerima perubahan itu sendiri meskipun perubahan merupakan keniscayaan yang tidak mungkin dihindari.
Namun, dinamika tersebut secara pasti membawa pengaruh yang positif, termasuk di dalamnya adalah terbukanya dinamika pemikiran.
Pola keberagamaan masyarakat Bengkulu yang sebelumnya tertutup dan kolot—karena lebih berpedoman pada paham keagamaan yang diwariskan para leluhur tanpa mengikuti perkembangan paham keagamaan di daerah sekitarnya—dalam perkembangannya bisa menerima kehadiran Muhammadiyah yang bercorak modernis nan berkemajuan.
Moderasi
Salim Bella Pili dan Hardiansyah dalam buku Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu mencatat hal menarik terkait dengan pengembangan Muhammadiyah di Bengkulu pada masa lalu.
Menurut kedua penulis itu, perkembangan Muhammadiyah di Bengkulu membawa dua corak gerakan, yaitu gerakan Muhammadiyah ala Minangkabau dan gerakan Muhammadiyah ala Jawa.
Mengutip hasil penelitian untuk tesis intelektual muda Muhammadiyah Ahmad Najib Burhani di Universitas Leiden, Belanda, dinyatakan bahwa terdapat perbedaan antara corak gerakan Muhammadiyah yang berasal dari Sumatera Barat dan Yogyakarta (hlm 87).
Adanya model Muhammadiyah Minangkabau dan Muhammadiyah Yogyakarta sangat menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut karena model pertama menampakkan corak yang radikal, sedangkan model yang kedua cenderung moderat.
Ini menegaskan bahwa sesungguhnya di internal Muhammadiyah terdapat kelompok ”Muhammadiyah garis keras” dan ”Muhammadiyah garis lunak”.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah garis lunak relatif jauh lebih berkembang dan lebih bisa diterima di Bengkulu karena sifat inklusivitasnya.
Munculnya juru dakwah Muhammadiyah dari Yogyakarta telah menurunkan intensitas pertentangan terhadap paham keagamaan yang dibawa Muhammadiyah.
Lepas dari adanya model radikal dan moderat, secara faktual Muhammadiyah bisa diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat Bengkulu. Sejak secara resmi Muhammadiyah berdiri di Bengkulu pada 1928 (hlm 98), hingga kini perkembangannya sangat pesat, baik dalam aspek persyarikatan maupun aspek amal usaha, utamanya masjid dan lembaga pendidikan Muhammadiyah di Bengkulu telah berkembang masif.
Judul Buku : Muslimah Berkemajuan, Sepenggal Riwayat Fatmawati dan ‘Aisyiyah-Muhammadiyah
Penulis : Mu’arif
Penerbit : Suara Muhammadiyah, Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2019
Tebal : xiv+62 hal
ISBN : 978-602-626879-2
Pengaruh moderasi Muhammadiyah Yogyakarta semakin bisa diterima masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Mu’arif dalam Muslimah Berkemajuan: Sepenggal Riwayat Fatmawati dan ’Aisyiyah-Muhammadiyah (2019). Fatmawati merupakan anak tokoh Muhammadiyah di Bengkulu dan merupakan aktivis Nasyiatul ’Aisyiyah dan Aisyiyah Bengkulu saat itu (hlm 45).
Setamat dari Hollandsch Inlandsche School (HIS), ia tidak canggung untuk melanjutkan sekolah di sekolah kejuruan milik yayasan beragama Katolik.
Pergerakan Muhammadiyah semakin dinamis ketika Bung Karno dibuang Belanda ke Bengkulu. Di Bengkulu, Bung Karno yang dikenal memiliki pemikiran keagamaan yang progresif dan dinamis—sebelum akhirnya bertemu dan menikah dengan Fatmawati—disambut dengan gembira oleh Hasan Din (ayah Fatmawati) dan ditawari untuk memegang jabatan Ketua Majelis Pendidikan dan Pengajaran di Muhammadiyah, sekaligus mengajar di Madrasah Muhammadiyah. Sangat mungkin di situlah Soekarno pertama kali mengenal Fatmawati.
Pada saat persiapan kemerdekaan, Fatmawati sebagai seorang istri selalu mendampingi Soekarno dalam berbagai kegiatan persiapan kemerdekaan.
Saat Indonesia diproklamasikan, Fatmawati menjahit sendiri bendera pusaka Merah Putih. Konon, sambil menjahit, Fatmawati menyanyi kumandang Aisyiyah, lagu-lagu yang dikarang oleh komponis-komponis Muhammadiyah.
Dari rahim Fatmawati lahirlah Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Fatmawati merupakan Ibu Negara yang tidak sekadar lahir dari rahim biologis keluarga Muhammadiyah, tetapi juga pikiran-pikiran berkemajuan khas Muhammadiyah yang bersemayam dalam kehidupannya.
Jika kita harus menangkap benang merahnya, dari Bengkulu sebagai ”kota pembuangan” inilah keragaman dan nasionalisme bisa kita rasakan.
Muhammadiyah yang selalu dipersepsikan sebagai gerakan puritan yang radikal, secara faktual justru menampakkan semangat moderasinya yang tinggi.
Penerimaan Muhammadiyah terhadap keragaman tidak bisa diingkari. Sumbangsih besar Muhammadiyah terhadap bangsa melalui pendidikan yang bercorak nasionalistik tidak pula layak diragukan.
Abd Sidiq Notonegoro Penggiat JIMM, tinggal di Gresik, Jawa Timur