Melatih Batin, Mengendalikan Hidup
RESENSI BUKU
Judul: Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini
Penulis: Henry Manampiring
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Cetakan: III, 2019
Tebal: xxiv + 320 halaman
ISBN: 978-602-412-518-9
Bayangkanlah suatu hari Anda berada dalam situasi berikut ini: proposal yang sudah Anda kerjakan selama berbulan-bulan ternyata ditolak klien. Untuk melepaskan diri dari rasa kecewa, Anda berniat mencoba kuliner baru yang direkomendasikan sahabat. Dalam perjalanan, Anda terjebak kemacetan.
Anda tiba di tempat tujuan dengan rasa lapar, tetapi ternyata rasa makanan yang disajikan jauh di bawah rekomendasi sahabat Anda. Anda lalu membuka Instagram. Tanpa diduga, foto pertama yang muncul adalah foto unggahan mantan pacar Anda bersama pasangan barunya.
Rentetan peristiwa di atas boleh jadi terkesan terlalu mengada-ada. Akan tetapi, skenario rekaan itu dengan jelas mengungkapkan satu sisi kehidupan yang cenderung ingin dinafikan oleh manusia: Ia tak sepenuhnya berkuasa atas peristiwa-peristiwa yang menyusun kisah hidupnya. Itulah keniscayaan hidup. Tak ada manusia yang dapat lari darinya.
Apabila kita harus menerima hidup yang semacam itu, suka atau tidak suka, pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita menjalaninya.
Dalam buku Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini, Henry Manampiring menyajikan jawaban atas pertanyaan itu dengan menggali kembali ajaran para resi zaman Yunani-Romawi kuno yang dikenal sebagai kaum Stoa.
Dilengkapi pelbagai ilustrasi karya Levina Lesmana, buku ini mengulas dengan jitu bagaimana filsafat Stoa (Stoicism) dapat diterapkan oleh manusia zaman ini, khususnya oleh generasi milenial.
Nalar kendali emosi
Sebagai sebuah aliran filsafat, Stoisisme bukanlah sekumpulan gagasan rumit yang membuat sebagian besar manusia enggan menyentuhnya. Filsafat Stoa pertama-tama adalah sebuah laku hidup yang mengajak manusia untuk hidup selaras dengan alam.
Ini tidak sekadar berarti mencintai lingkungan hidup meskipun itu juga penting. Lebih dari itu, hidup selaras dengan alam berarti menjadi manusia yang menggunakan nalarnya seoptimal mungkin.
Sebagaimana berulang kali ditegaskan oleh penulis, penggunaan nalar ini amat penting dalam mempraktikkan gagasan dasar filsafat Stoa, yang terangkum dalam maksim yang dirumuskan oleh filsuf besar Stoa, Epictetus: ”Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung pada) kita”.
Contoh hal yang tidak di bawah kendali kita adalah opini orang lain. Sementara itu, hal yang berada di bawah kendali kita adalah nalar, emosi, dan hasrat kita. Yang tidak tergantung pada kita mesti kita lepaskan, sementara yang bisa kita kendalikan perlu kita kuasai.
Prinsip ini disebut sebagai dikotomi kendali (dichotomy of control). Meskipun tampak sederhana, tidak banyak orang yang menyadari hal ini, apalagi yang berusaha untuk terus-menerus mengingatkan dirinya agar melepaskan hal-hal yang berada di luar kendalinya. Padahal, menurut filsafat Stoa, kunci kebahagiaan manusia adalah kecermatan dalam memilah-milah kedua hal ini.
Untuk menjadikan prinsip dikotomi kendali lebih mudah diaplikasikan, penulis memperkenalkan gagasan William Irvine yang mengembangkannya menjadi trikotomi kendali. Kategori yang baru adalah hal-hal yang bisa sebagian dikendalikan oleh kita.
Kategori ketiga ini mengajak orang untuk hanya mengejar tujuan dalam dirinya sendiri (internal goals) daripada hasil eksternal (outcome). Ini membebaskan orang dari tirani pendapat orang lain dan hal-hal yang tidak berada di bawah kendalinya. Batinnya menjadi merdeka untuk mengejar dan melakukan hal-hal yang telah diputuskan oleh nalarnya sendiri sebagai hal-hal yang baik untuk hidupnya.
Tanpa banyak mengurangi substansi, penulis menguraikan prinsip dasar filsafat Stoa ini dengan jernih dan dalam bahasa yang mudah dicerna oleh mereka yang tidak terbiasa dengan ilmu filsafat. Tidak hanya itu, dalam bab-bab tertentu, penulis juga menyajikan hasil wawancaranya dengan beberapa ahli dan praktisi. Ini menjadikan ajaran filsafat Stoa semakin bisa dipahami dalam konteks zaman ini.
Berawal dari Survei Khawatir Nasional yang dibuatnya sendiri, penulis menunjukkan relevansi filsafat Stoa karena kenyataannya sebagian besar manusia Indonesia diliputi macam-macam kekhawatiran.
Selanjutnya, penulis mulai memperkenalkan filsafat Stoa sebagai laku hidup yang mengajak manusia bebas dari kekhawatiran dengan cara mengendalikan emosi dan mengembangkan kebajikan sehingga ia hidup selaras dengan alam.
Penulis lalu mengupas dengan tajam dikotomi/trikotomi kendali yang menjadi prinsip dasar filsafat Stoa. Uraian ini menjadi dasar dari pembahasan mengenai bagaimana menguasai interpretasi dan persepsi kita mengenai peristiwa-peristiwa dalam hidup kita. Untuk itu, manusia perlu belajar untuk tidak jatuh pada kecondongan alaminya untuk membesar-besarkan segala perkara.
Laku hidup
Selanjutnya, penulis menunjukkan penerapan filsafat Stoa dalam berbagai aspek kehidupan. Ini meliputi relasi dengan sesama manusia, khususnya dengan mereka yang menyebalkan, saat menghadapi musibah, bagaimana menjadi orangtua, dan terlibat dalam persoalan-persoalan dunia, hingga akhirnya sikap terhadap kematian.
Pada bagian akhir, penulis menegaskan bahwa buku Filosofi Teras bukan sekadar untuk dibaca, melainkan juga untuk dipraktikkan. Untuk itu, ia menegaskan soal pentingnya membangun disiplin keinginan, tindakan, dan keputusan, serta menyajikan latihan-latihan praktis untuk menjadikan filsafat Stoa sebagai sebuah laku hidup.
Bukanlah filsafat Stoa jika tidak disertai latihan-latihan konkret dalam hidup sehari-hari. Oleh karena itu, buku ini bukanlah sekadar bacaan filsafat, melainkan sebuah manual kehidupan di zaman ini.
Memang penulis tidak menjelaskan perkara yang lebih dalam, seperti mengapa dunia dan kehidupan ini ada dan bukannya tidak ada. Akan tetapi, penulis menunjukkan bagaimana di zaman yang ditandai dengan simpang siur gejala akibat ledakan informasi (information overload) hidup tetap dapat dijalani secara membahagiakan.
Cukup pasti tidak ada jalan pintas untuk itu, apalagi semata-mata psikologi positive thinking. Yang ada adalah dari satu latihan ke latihan berikutnya. Penulis menunjukkan bagaimana latihan tersebut dibuat dan mengapa hal itu bermakna.
Persis karena itu, setelah atau sambil membaca buku ini, pembaca perlu menempuh latihan- latihannya. Tanpa itu, buku ini tak lebih dari sekadar obat penenang bagi jiwa-jiwa yang gentar dengan kerumitan hidup modern yang tunggang-langgang.
ANGGA INDRASWARA Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta