Pengaruh Candi Jawa di Asia Tenggara
RESENSI BUKU
Judul: Eksistensi Candi sebagai Karya Agung Arsitektur Indonesia di Asia Tenggara.
Penulis: Rahadhian PH dkk
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I, 2018
Tebal: 256 halaman
ISBN: 978-979-21-5516-7
Buku ini mengambil tema langka tentang kajian candi sebagai monumen masa silam. Kajian terhadap candi biasanya dilakukan dalam disiplin arkeologi. Hanya sedikit arsitek yang mempelajarinya, antara lain Rahadhian PH dan kawan-kawannya.
Pada bagian pengantar dinyatakan bahwa kajian terhadap warisan bangunan masa lalu di Indonesia selama ini cenderung bertumpu pada ranah yang bersifat antropologis dan arkeologis, dan kurang dikenali sifat transformatifnya, sehingga terkesan statis (hlm 18).
Pendekatan arsitektur memungkinkan adanya gagasan yang lebih transformatif, khususnya dalam lingkup Asia Tenggara, yang bermuara pada eksistensi candi dalam konteks lebih luas dan diakronik.
Hasil kajian dinarasikan dalam beberapa bab, antara lain Candi Jawa dengan Arsitektur Era Transisi di Kamboja, Candi Jawa dengan Arsitektur Angkor, dan Candi Jawa dengan Arsitektur Angkor Akhir (Late Angkor).
Berdasarkan isi buku diketahui, fokus utama kajian ini pada candi-candi dari masa Jawa kuno yang dikaitkan dengan bangunan suci Khmer kuno dalam kelompok Angkor, tidak dengan bangunan suci lain, misalnya dari Kerajaan Champa yang berkembang sezaman dengan gaya arsitektur Angkor.
Pengaruh candi Jawa
Berdasarkan pembagian bab tersebut dapat diketahui bahwa percandian di Jawa diasumsikan mempunyai satu gaya saja yang disebut ”candi Jawa”. Padahal, dalam kajian arkeologis selama ini, percandian di Jawa mempunyai banyak bentuk gaya bangunan, setidaknya ada dua gaya bangunan candi.
Dalam buku ini diuraikan adanya periodisasi dalam empat tahap, yaitu (1) Periode Awal (Klasik Tua) sekitar tahun 800 M, (2) Periode Tengah (Klasik Tengah) berkisar 800-900 M, (3) Periode Transisi (Klasik Transisi) pada 900-1200 M, dan (4) Periode Akhir (Klasik Muda) pada 1200-1500 M.
Pembagian periode tersebut menjadi acuan dalam kajian selanjutnya dari buku ini, tetapi terdapat kronologi yang berbeda, masih di halaman yang sama (hlm 36). Dinyatakan bahwa Periode III, Transisi, yang merupakan masa transisi dari Medang-Kahuripan-Kediri [SIC !] dicantumkan angka tahun 900-1100 M, mungkin ada penjelasan mengenai perbedaan rentang kronologi itu.
Hal yang cukup menarik dan menjadi kekuatan dari buku ini adalah membandingkan arsitektur candi Jawa dengan arsitektur percandian Angkor di Kamboja. Mengacu pada hasil perbandingan itu, disimpulkan bahwa gaya arsitektur percandian Angkor hingga detail-detailnya mendapat banyak pengaruh dari gaya bangunan candi di Jawa.
Pengaruh arsitektur candi Jawa ke percandian Angkor itu tentu ada alasannya. Kesimpulan penting yang dikemukakan antara lain bangunan Angkor Wat terinspirasi arsitektur Candi Borobudur dan Prambanan.
Begitu pula, Candi Bayon (Kamboja) ternyata memiliki keserupaan paling banyak dengan Candi Sewu, keduanya merupakan candi Buddha dan memiliki bilik candi (hlm 242).
Berdasarkan hal itu, sebaiknya buku ini secara tegas hanya membandingkan percandian Kamboja dengan candi-candi di Jawa periode tahun 800-900-an, tidak perlu membuang waktu membicarakan candi-candi di Jawa bagian timur yang lebih muda kronologinya.
Jayawarman II
Dalam buku dinyatakan bahwa raja Khmer kuno yang ”menularkan” gaya candi Jawa pada arsitektur percandian Khmer adalah Jayawarman II (802-850 M). Raja itulah yang menjadi kunci perubahan bangunan suci Khmer yang mendapat pengaruh Jawa.
Menurut Jan Fontein (1996), seorang ahli kebudayaan kuno Indonesia yang dikutip dalam buku ini, Jayawarman II pernah tinggal di Jawa bersama Syailendrawangsa. Kemudian, ia kembali ke Kamboja dan mulai membangun candi-candi Kamboja di daerah Kulen. Pembangunan candi-candi itu dimulai pada tahun 825 M (hlm 90-91).
Seharusnya peran Jayawarman II dalam pembangunan percandian di Khmer mendapat porsi pembahasan yang memadai dalam buku ini, tidak sekadar dijadikan latar. Penyebutan Jayawarman II terulang kembali pada awal Bab III (hlm 137), sayangnya tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang raja itu.
Sangat terbuka kemungkinan adanya pandangan kritis yang mengemukakan sebaliknya, justru ”candi-candi di Jawa yang mendapat pengaruh dari gaya percandian Kamboja kuno”. Pandangan itu akan sukar disanggah karena tokoh kunci penghubung Jawa kuno ke Kamboja kuno tidak dibahas terlebih dahulu secara jelas.
Sejatinya telah ada pembahasan yang dilakukan oleh Soewadji Syafei (arkeolog), ”What Historical Relation were There between Cambodia and Indonesia from the Eighth to the Ninth Century?”, dalam Majalah Arkeologi Th 1, No 1, September 1977.
Dalam tulisannya mengenai Jayawarman II, Soewadji Syafei mengutip uraian Prasasti Sdok Kak Thom, yang tertulis: ”man vrah pada paramesvara mok amvi jawa pikurung ni nau nagara indrapura” (”…baginda datang dari Jawa memerintah di kota Indrapura”).
Prasasti itu mengungkap bahwa di masa lalu orang-orang Jawa beberapa kali mengirimkan pasukannya ke Chen-la dan Kamboja. Pada akhirnya, Rakai Panunggalan—cucu dari Rahyangta Sanjaya—yang disebutkan dalam Prasasti Mantyasih (907 M), berhasil menguasai Kamboja dan mendirikan pemerintahannya, yang kemudian bernama Jayawarman.
Nama Jayawarman II diberikan oleh para sarjana peneliti sejarah kuno Asia Tenggara sebab sebelumnya telah ada raja yang bergelar Jayawarman juga, disebut Jayawarman I, demikian menurut Syafei. Kajian itu didasarkan pada beberapa uraian prasasti otentik baik di Kamboja maupun prasasti masa Syailendra di Jawa.
Jika saja aspek sejarah kuno tentang Jayawarman II dibahas secara mendalam sebagai suatu argumen, hasil kajian yang disajikan dalam buku ini akan lebih kuat.
Sayang, buku ini kurang cermat dalam menuliskan istilah, misalnya penulisan nama Kerajaan Kediri, yang benar adalah Kadiri (abad ke-12); Singhasari, bukan Singosari; juga kitab Nagarakretagama, bukan Negarakretagama.
Catatan lain, terdapat pula penulisan yang tidak konsisten antara huruf v dan w, misalnya Bhuvarloka dengan v, tetapi menuliskan Swarloka dengan w.
Buku ini banyak dilengkapi foto dan gambar, hal itu sangat baik untuk membantu memahami narasi, walaupun terdapat bagan tentang Evolusi Candi Angkor yang uraiannya masih dalam bahasa Inggris (hlm 100-102).
Secara umum buku ini dapat menyumbangkan nuansa baru dalam kajian percandian di Jawa yang kemungkinan memengaruhi bentuk arsitektur bangunan suci sezaman di Kamboja kuno. Sangat bermanfaat bagi para peminat kajian kebudayaan kuno untuk mendalami lagi kajian peninggalan monumental nenek moyang bangsa Indonesia.
AGUS ARIS MUNANDAR Guru Besar Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia