Membentuk Karakter Peraih Mimpi
Judul: The Entrepreneurial Attitude: Lessons from Junior Achievement’s 100 Years of Developing Young Entrepreneurs
Penulis: Larry C Farrell
Penerbit: McGraw-Hill
Cetakan: I, 2018
Tebal: xxxv + 265 halaman
ISBN: 978-1-260-02670-2
Berawal dari kepedulian Chairman AT&T Theodore Newton Veil dan beberapa koleganya terhadap dunia pendidikan di Amerika Serikat, pada tahun 1918 mereka mendirikan organisasi nirlaba yang diberi nama Junior Achievement atau JA. JA mempunyai misi melengkapi kurikulum pendidikan saat itu dengan mengajarkan ketiga hal berikut yang tidak didapat di bangku sekolah: kewirausahaan, kesiapan memasuki dunia kerja, dan literasi keuangan.
Dalam perjalanannya selama 100 tahun, JA telah menghasilkan jutaan alumnus yang tersebar di lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia. Tidak sedikit yang mencatat prestasi kelas dunia.
Tercatat di antaranya Mark Cuban (pemilik klub bola basket NBA Dallas Mavericks), Steve Case (mantan Chairman dan CEO American Online), Sanjay Gupta (ahli bedah saraf yang merangkap sebagai penyiar CNN), dan penyanyi cantik yang memiliki range vokal empat oktaf dan pemenang empat Grammy Award, Christina Aguilera.
Tujuh puluh dari 100 anak muda bermimpi untuk menjadi wirausaha (entrepreneur). Lima belas di antaranya benar-benar berusaha keras mewujudkan mimpi itu dalam kurun waktu dua tahun. Hanya lima dari mereka yang berhasil pada usaha yang pertama. Mereka yang bermimpi, berani berjuang, dan sukses mewujudkan mimpi mereka adalah bagian dari konstelasi dunia wirausaha saat ini.
Sekitar seratus juta wirausahawan baru muncul dari berbagai sudut dunia setiap tahun. Kemajuan teknologi informasi memberi kesempatan kepada siapa pun untuk menjadi wirausahawan kelas dunia. Inovasi ditambah kerja keras menjadi kunci utama. Usaha rintisan (start up) bermunculan hampir setiap hari. Fenomena yang bisa dilihat di mana-mana, termasuk di Indonesia (hlm xix-xx).
Langkah pertama memulai bisnis adalah memiliki misi yang kuat. Seorang industrialis harus memberikan kemudahan kepada publik, memberikan nilai tambah pada produknya, dan memberikan kenyamanan bagi pemakainya. Demikian pesan Konosuke Matsushita, pendiri korporasi Matsushita Electric.
Sejarah mencatat kegigihan seorang Matsushita yang mengawali usahanya dengan mengimpor soket listrik dari Inggris dan di awal usahanya sempat mengalami kegagalan. Konsisten dengan misinya, dia terus melangkah ke depan dan berusaha memahami kebutuhan para pelanggannya. Empat belas tahun setelah mengawali usahanya, Matsushita mendokumentasikan prinsip kewirausahaannya dalam dokumen yang dikenal sebagai ”Matsushita Management Philosophy” (hlm 6-8).
Lain Matsushita, lain pula Gottlieb Daimler yang dikenal sangat fokus pada pelanggan dan bermitra dengan Karl Benz, seorang genius di bidang teknik mesin. Di awal tahun 1900, distributor terbesar produk mobil Daimler yang berada di Vienna, Austria, mengancam Daimler untuk berpindah ke merek lain dari Perancis.
Mendengar hal ini, Daimler segera datang ke Vienna untuk meyakinkan dealernya bahwa ia akan melakukan apa saja supaya kerja sama bisnisnya tetap berjalan. Dengan berkelakar dealer Daimler mengatakan bahwa ia akan meneruskan kerja sama bisnis tersebut asalkan Daimler mau menempelkan nama anak gadisnya yang berusia 11 tahun di mobilnya. Daimler pun setuju.
Nama anak gadis itu adalah Mercedes. Langkah utama kedua seorang entrepreneur dalam merintis usahanya adalah mencintai produk dan pelanggan (hlm 43).
Langkah utama ketiga tentang inovasi diilustrasikan dengan usaha seorang anak muda dari Brasil yang sangat peduli terhadap lingkungan sehingga mencapai sukses dengan bisnis dry wash. Langkah heroik pendiri Electronic Data System (EDS) dalam usahanya untuk menyelamatkan dua pegawainya yang ditahan di Iran pada 1979 ditampilkan sebagai contoh nyata langkah utama ke empat, yakni berbisnis dengan nurani. Cerita ini didokumentasikan dalam sebuah buku dan film yang berjudul On Wings of Eagles (hlm 93).
Tujuh kompetensi
Junior Achievement Worldwide yang bermarkas di Boston baru-baru ini melakukan riset untuk mengukur kemampuan para peserta program JA dalam tujuh kompetensi utama, yaitu 1) fokus pada tujuan utama; 2) kepemimpinan dan tanggung jawab; 3) kreativitas; 4) kerja sama; 5) kegigihan; 6) kemandirian; dan 7) percaya diri.
Ketujuh kompetensi ini disajikan di bagian kedua buku dengan narasi pengalaman para alumnus JA dalam perjalanan kariernya. Salah satu yang cukup menarik untuk disimak adalah kesuksesan seorang perempuan kelahiran Hong Kong memberdayakan perempuan di 15 negara dalam menyuarakan gender equality. Bonnie Chiu meraih mimpinya berbekal inovasi di bidang fotografi (hlm 165).
Buku ini ditulis dalam rangka peringatan ulang tahun ke-100 organisasi Junior Achievement. Program JA ”dibawa” masuk ke Indonesia dan diwadahi dalam organisasi nirlaba yang bernama Prestasi Junior Indonesia (PJI). Bermitra dengan penyandang dana, selama lebih dari sepuluh tahun, PJI telah mencatat ribuan alumnus yang belajar kewirausahaan, literasi keuangan, dan kesiapan kerja dalam proses pembentukan karakter untuk bekal masa depan mereka.
Sebagai buku nonfiksi, buku ini perlu disempurnakan dengan sitasi yang memadai. Hasil wawancara para alumnus di bagian kedua buku juga cukup padat dan melelahkan bagi pembaca karena banyak ditemukan kesamaan pengalaman dan apa yang didapatkan sebagai bekal dalam meniti karier mereka.
Secara keseluruhan, buku ini menyuguhkan narasi bisnis inspiratif kepada kaum milenial dalam menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0 dan membantu pemerintah keluar dari jeratan middle income trap.
Selaras dengan visi pembangunan nasional yang tertuang di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, buku ini seperti datang tepat waktu sebagai salah satu referensi dalam mendukung rencana pemerintah memperkuat perekonomian yang didukung sumber daya manusia yang berkualitas. Entrepreneurial attitude tidak hanya untuk seorang wirausaha, tetapi juga untuk siapa pun yang ingin menjadi pemenang.
AGUS SUSANTO Pengamat pendidikan, Deputy Executive Director Prestasi Junior Indonesia.