Kitab Kritik dari Rumah Film
Buku ini berisi 205 tulisan karya kritikus film yang sekaligus redaktur Rumah Film. Mereka adalah Asmayani Kusrini, Ekky Imanjaya, Eric Sasono, Hikmat Darmawan, Ifan Adriansyah Ismail, dan Krisnadi Yuliawan.
Judul Buku: Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012
Editor: Ekky Imanjaya dan Hikmat Darmawan
Penerbit: Komite Film Dewan Kesenian Jakarta
Cetakan: I, Desember 2019
Tebal: 1.700 halaman
ISBN: 9789791219112
Film Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan yang menggembirakan. Beberapa film mencapai box office dengan jutaan penonton. Sampai ada sebuah festival film yang khusus mengacu pada box office, yakni Indonesian Box Office Awards (Iboma).
Perkembangan yang menggembirakan itu bagian dari dinamika perjalanan panjang, puluhan tahun, melewati masa-masa ketika film Indonesia mengalami keterpurukan, bahkan ”mati suri”. Sebagian perjalanan film Indonesia itu terekam jejaknya dalam buku Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012.
Buku ini berisi 205 tulisan karya kritikus film yang sekaligus redaktur Rumah Film. Mereka adalah Asmayani Kusrini, Ekky Imanjaya, Eric Sasono, Hikmat Darmawan, Ifan Adriansyah Ismail, dan Krisnadi Yuliawan. Sebagian tulisan kontribusi sejumlah penulis tentang film memiliki latar belakang kompetensi bidang perfilman yang beragam. Mereka turut terlibat aktif memperkaya perfilman dalam berbagai aktivitas mereka sebagai pekerja seni, wartawan, penikmat film, dosen, dan peneliti.
Buku setebal 1.700 halaman yang diterbitkan Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini tergolong ”buku babon” dan sumber referensi untuk mendalami studi film Indonesia. Memang pembaca buku yang terbilang sangat tebal dan berat ini akan dibuat repot saat membacanya. Meski demikian, apresiasi tetap pantas kita berikan kepada Komite Film DKJ yang berusaha keras mencerdaskan wacana sinema Indonesia.
Terbitnya buku ini membuncahkan kebahagiaan karena para kritikus tampak begitu serius dan sayang pada film Indonesia. Mereka mendirikan Rumah Film (www.rumahfilm.org) sebagai salah satu rujukan bagi wacana sinema Indonesia. Meski hanya mampu bertahan lima tahun (2007-2012), dalam kurun waktu itu kita dapat melihat kegigihan sineas kita untuk membangkitkan film Indonesia dari keterpurukan.
Bagian awal buku ini, Mencari ”Yang Nyata”, dan Lain-lain, Asmayani Kusrini dengan tulisannya ”Dinamit yang Disemai Diam-Diam” menyoroti film dokumenter Rebellion: The Litivinenko Case karya Andrey Nekrasov, di mana pada pemutarannya sang sineas minta maaf karena kesalahan teknis translasi, yang seharusnya bombarde (mengebom) menjadi bombardement (membombardir yang biasanya dilakukan dari pesawat tempur).
Dari tulisan ini, kita dapat menilai betapa detail pembahasan dalam sebuah film. Karena bagi Nekrasov, membuat film adalah katarsis bagi dirinya, cara bagaimana ia menghadapi kematian seorang teman yang tewas mengenaskan di depan matanya.
Hikmat Darmawan dengan tulisan ”Ling Yi Ban a.k.a. The Other Half: Paradoks Jarak dalam Kamera Digital”, antara lain, mengingatkan kembali akan makna kata independent yang bermakna jarak. Seorang pengamat mengambil jarak dari amatannya. Paradoksal, tapi masih terbukti benar. Hikmat memuji Yin Liang yang dengan peralatan kecil, tapi mampu mengisahkan sebuah cerita tentang perubahan besar yang melanda China masa kini.
Kritik
Dalam tulisan berikutnya, Hikmat mengkritik keras Festival Film Indonesia (FFI) 2006 yang memberikan penghargaan Skenario Terbaik pada film Opera Jawa karya Garin Nugroho. Hikmat merasa geli dengan penghargaan tersebut karena baginya film tersebut bukan film yang bertumpu pada skenario. Kita tahu, FFI 2006 memberi anugerah film terbaik pada film Ekskul yang kemudian membuat heboh insan perfilman Indonesia (hlm 49).
Pada tulisan lainnya, Cintapuccino: Lampu Merah buat Rudy, Hikmat mengkritik keras Rudy Soedjarwo dengan film garapannya Cintapuccino, yang bertumpu pada skenario dengan dialog remeh-temeh: ”Siapa sih elo?” atau ”Apa sih mau elo?” Betapa Hikmat heran pada Rudy, sutradara yang pernah dengan gagah berteriak di mimbar FFI, ”Selama saya masih berdiri, film Indonesia tak akan mati!”
Keheranan Hikmat tentu karena Rudy menghasilkan film yang dianggapnya ”luar biasa malasnya”. Hal itu tak sepadan dengan teriakan heroik Rudy itu. Bahkan Hikmat dengan tegas mengatakan, jika film Indonesia tak mati, tetapi hasilnya film macam begitu, ia berpikir lebih baik mati dulu saja film Indonesia. Tentu dengan harapan, siapa tahu bisa reinkarnasi, mungkin jadi cacing dulu untuk menebus ”dosa”, sebelum jadi makhluk lebih tinggi dan akhirnya masuk nirwana.
Hikmat mempertanyakan apalah arti penghargaan Piala Citra FFI jika para pemenangnya kemudian menghasilkan film yang tak menunjukkan supremasi penghargaan film tertinggi di Tanah Air, yang memang seharusnya jadi tolok ukur keunggulan film nasional (hlm 59-60).
Tulisan-tulisan dalam buku ini memang pedas penuh kritikan keras. Bagi Komite Film DKJ, ratusan kritik film dalam Rumah Film wujud upaya bersama membangun sinema di Indonesia, memenuhi kebutuhan akan kritik dan jurnalisme film yang progresif di Indonesia.
Buku Tilas Kritik berfungsi menjadi dokumentasi kultural baik tentang film Indonesia maupun dunia sekaligus rujukan para pencinta, peneliti, atau pembuat film di Indonesia. Hal ini patut kita apresiasi karena memberi nutrisi bagi gerakan literasi di tengah masyarakat kita yang tergolong masih rendah dalam minat baca. Upaya yang memang harus diperjuangkan terus-menerus.
Terkait betapa tebalnya buku ini, ada kesan tidak ada seleksi tulisan-tulisan mana yang benar-benar bernilai bagi perkembangan dan kemajuan sinema di Indonesia. Ada baiknya tidak semua tulisan dalam kurun lima tahun keberadaan Rumah Film dimuat dalam satu kompilasi.
Peran dua editor, Ekky Imanjaya dan Hikmat Darmawan, yang juga sebagai penulis dalam Rumah Film itu, menjadi penting dalam membangun otokritik. Bahkan perlu adanya editor lain yang tidak terlibat sebagai penulis agar lebih selektif dan obyektif. Kualitas tulisan lebih penting daripada kuantitas tulisan yang menghabiskan begitu banyak lembar kertas.
Lima bab atau bagian yang mengelompokkan tulisan secara tematis dalam buku ini sebenarnya bisa dibuat menjadi lima buku terpisah dalam satu seri penerbitan. Tentu tetap mempertimbangkan aspek kualitas dan relevansi isi tulisan yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi bagian dari wacana perkembangan dan kemajuan film Indonesia.
Dalam konteks yang lebih luas, buku ini tak hanya mencatat secara kritis film sebagai produk hiburan, tetapi juga memiliki potensi memperkaya kegiatan diplomasi dan menjadi kekuatan budaya bangsa yang mampu mengangkat harkat dan martabat Indonesia di kancah global.
Akhmad Sekhu Wartawan Film