Suatu Waktu dalam Keseharian Kamp Interniran Boven Digoel
Sejarawan sekaligus Indonesianis Takashi Shiraishi, pada kajian Hantu Digoel : Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial (2001), memastikan bahwa Boven Digoel sebagai kamp konsentrasi pertama yang lahir di dunia.
Judul Buku : Keseharian Orang Buangan di Kamp Kolonial
Penulis : Rudolf Mrazek
Penerjemah : Aditya Pratama
Penerbit : Komunitas Bambu, Depok
Tahun Terbit : Cetakan I, 2022
Tebal Buku : xii + 474 halaman
ISBN : 978-623-7357-33-9
Boven Digoel, boleh jadi nyaris terlupakan dalam narasi sejarah Indonesia dan memori kolektif bangsa. Padahal Digoel tempat pengasingan politik para tokoh pergerakan nasional Indonesia (dulu Hindia Belanda) yang dianggap membahayakan dan melanggar batas-batas tatanan kolonial yang disemboyakan melalui ungkapan rust en orde (keamanan dan ketertiban). Kamp ini lahir jauh sebelum Auschwitz, Dachau, Buchenwald, atau Theresienstadt berdiri. Dari poin inilah sejarawan sekaligus Indonesianis Takashi Shiraishi, pada kajian Hantu Digoel : Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial (2001), memastikan bahwa Boven Digoel sebagai kamp konsentrasi pertama yang lahir di dunia. Ini yang menarik.
Berdiri sejak tahun 1927 hingga ditutup menjelang pendudukan Jepang, Boven Digoel menjadi legendaris karena mampu memberangus sekaligus mengisolasi mereka yang dianggap radikal, pembangkang, si kepala batu. Catatan Shiraishi (2001) dalam tahun 1930 terdapat 1378 tahanan politik / orang buangan. Dari jumlah 1378 terbagi dalam 1308 yang dianggap mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Mereka disebut sebagai golongan werkwillenger. Golongan ini ditempatkan di Digoel / Tanah Merah. Sisanya 70 orang terkategorikan sebagai onverzoenlijken. Mereka dianggap sebagai kepala batu lantaran tak mau bekerja sama (non kooperatif ) serta ditempatkan di wilayah Tanah Tinggi. Beberapa nama legendaris kategori ini Ali Archam, Najoan, Sardjono, Ngadiman, Winanta, Waworoentoe, dan lainnya.
Karantina politik menjadi jurus ampuh untuk memberangus radikalisme gerakan kiri di Indonesia. Walaupun dalam perkembangannya tidak hanya gerakan kiri yang diasingkan, kelompok nasionalis hingga aktivis gerakan Islam juga dilemahkan secara politik oleh Gubernur Jenderal De Graeff bersama Raad van Netherlands Indie .
Karantina politik menjadi jurus ampuh untuk memberangus radikalisme gerakan kiri di Indonesia.
Merekam kisah keseharian
Publikasi Rudolf Mrazek menambah informasi historis bagaimana pola keseharian dilakukan oleh penghuninya. Kisah keseharian di Boven Digoel. Kisah keseharian mereka yang diasingkan mendasarkan pada sumber-sumber catatan harian, wawancara, hasil korespondensi serta arsip-arsip lainnya. Sesuatu yang tentu menarik melihat narasi sehari -hari kehidupan tahanan politik Boven Digoel. Bagaimana orang-orang buangan ini bersikap serta beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal mereka yang baru.
Mrazek membuka cerita tentang pertautan yang sama antara penghuni Theresienstadt Cekoslovakia dengan Boven Digoel Hindia Belanda. Apa yang mempersamakan antara kamp bikinan Nazi Jerman dengan kamp buatan pemerintah Hindia Belanda itu ? Keduanya, tulis Mrazek, “Seperti halnya orang-orang Yahudi di Theresienstadt , manusia-manusia di kamp Hindia Belanda juga harus mengemasi barang-barang untuk mengarungi segala musim” (hlm 13).
Cerita mengenai corak busana para tahanan politik Digoel dicatatkan kembali seorang jurnalis, dr.Schoonheyt yang menjelaskan para penghuni tersebut menampilkan diri dan tampak berpakaian sesempurna mungkin. Masih tentang busana, dalam buku Mrazek mengungkapkan soal keluhan Sutan Sjahrir yang menuliskan pada istrinya di Belanda “…Mieske saya butuh celana dalam……juga sepasang piyama. Selain itu keduanya kasar. Saya tak punya baju setelan lagi, tinggal sepasang celana panjang katun hijau.”
Publikasi Rudolf Mrazek menambah informasi historis bagaimana pola keseharian dilakukan oleh penghuninya. Kisah keseharian di Boven Digoel.
Soal berbusanaber-merk juga bukan hal asing. Para penghuni kamp interniran Digoel biasa memesan barang-barang dari luar Digoel. Mohammad Sanoesi misalnya menulis pemesanan sejumlah busana pada agen Shoes Magazines, The New York Company Weltevreden Batavia. Bahkan Mas Soewigno punya cara memesan potong baju pada Magazine de Bijenkorp Amsterdam (hlm 18).
Bukan soal keseharian busana saja, Mrazek juga mengungkapkan keseharian penghuni Digoel dalam bermusik. Beberapa pentas musik yang kerap mewarnai keseharian tapol Digoel antara lain gamelan, keroncong hingga band jazz KSDV. Tentang gamelan terkembang kisah riwayat gamelan Digoel dan tak bisa dipisahkan dari nama Pontjopangrawit maestro karawitan Kasunanan Surakarta. Ia memodifikasi gamelan tersebut dari bekas-bekas kaleng, rantang-rantang makanan serta lembar besi pacul (hlm 31).
Pentas musik di Digoel acapkali menjelma ruang komunikasi politik dengan pihak penguasa. Inilah yang memantik kesewotan seorang Mas Marco Kartodikromo. Begini ia meluapkan kejengkelannya : “Sejak orang-orang bisa main muziek, ternyata mereka suka diundang ke rumah controleur Belanda, buat iseng-iseng main jazz atau keroncong. Rupa-rupanya orang-orang communist yang memihak pada bestuur di Digoel itu kerapkali bersenang-senang dan main muziek.” (hlm 140-141)
Marco menuding bahwa mereka menjadi perkakasnya pemerintah dan dengan sinis Marco menuliskan: “Kami berpikir dalam hati, inilah orang-orang yang dinamakan leider-leider besar rakyat Indonesia itu yang dulu saban hari memekik sampai koyak mulutnya : Hidup kaum revolusioner dan nasionalisme.”
Dahaga informasi melanda penghuni Boven Digoel, wajar jika informasi menjadi penting bagi tahanan politik bahkan menganggap setiap intormasi sebagai sesuatu yang pasti.
Modernitas dan Demarkasinya
Modernisasi telah merasuk melalui teknologi di Boven Digoel. Walaupun akses dan jarak menjadi problem, namun arus informasi melalui radio menarik dalam kajian ini. Jarak memang menjadi penghalang. Jarak dari Batavia ibukota Hindia Belanda ke kamp komunis di sungai Digoel, kira-kira sama dengan jarak dari Kopenhagen (Denmark) ke Kutub Utara, ungkap Mrazek. Tak heran jika informasi dari luar cukup penting bagi mereka. Komunikasi dengan dunia luar yang jamak di Boven Digoel melalui surat-menyurat. Itupun mereka harus menghadapi batasan-batasan yang restriktif. Selain itu dari pembacaan media massa yang diperbolehkan untuk dibaca.
Dahaga informasi melanda penghuni Boven Digoel, wajar jika informasi menjadi penting bagi tahanan politik bahkan menganggap setiap intormasi sebagai sesuatu yang pasti. Mrazek memberi contoh pemberontakan kapal De Zeven Provincien yang sampai ke telinga tapol Digoel. Mereka menganggap kapal itu akan berlabuh ke sungai Digoel serta membebaskan semua penghuni Digoel untuk diajak keliling Nusantara dalam pelayaran kemenangan (hlm 157).
Nilai Penting Publikasi
Lewat buku Keseharian Orang Buangan di Kamp Kolonial ini Rudolf Mrazek, sejarawan yang juga menulis buku tentang politik pengasingan Sjahrir dan modernisasi di Hindia Belanda ini, memaparkan sisi lain kebijakan kolonial terkait politik pengamanan sekaligus karantina politik dari aspek hidup keseharian para tahanan politik, serta dampak modernisasi dari mulai gaya berbusana, pemanfaatan teknologi cahaya baru (listrik), hingga hadirnya teknologi suara melalui radio. Meminjam diksi dari Henk Schulte Nordholt saat memberikan pengantar buku Outward Appearences (1997) mengguratkan sebagai berikut, “…ditengah represi politik dan ketegangan politik, tampaknya tersembunyi representasi modernitas kolonial yang terdomestifikasi...”
Mrazek melihat frame unik, lalu mencatat perbandingan the day of living antara mereka yang diasingkan di Digoel dan di Theresienstadt, Cekoslovakia melalui penelusuran hal – hal yang intim, surat, catatan harian foto-foto keluarga, wawancara, buku ini menyingkapkan kisah terpendam laksana kota yang terpendam debu. Khususnya sejarah manusia dalam lanskap karantina politik sekaligus pilihan hidup yang mengakibatkan mereka diawasi sistem kolonial.
WIJANARTO, Bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes.