Polemik Ide Nasionalisme Jawa dan Hindia: Kawula Versus Aristokrat
Buku ini merupakan kajian yang setidaknya bagaimana ide Jawa mendapatkan tempat dalam memformulasikan ide nasionalisme. Terjadi perdebatan menarik antara Noto Soeroto dan Tjipto Mangoenkoesomo terkait ide nasionalisme.
Judul Buku: Nasionalisme Jawa di Era Modern, Pemikiran Politik Tjipto Mangoenkoesoemo dan Noto Soeroto
Penulis: Farabi Fakih
Penerbit: Terang Yogyakarta
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Tebal Buku: xvi + 176 hlm
ISBN: 978-602-51805-7-6
Arus transformasi mendasar terjadi pada abad XX di Hindia Belanda (kelak menjadi Indonesia). Salah satunya kesadaran masyarakat elite Hindia Belanda pada gerakan kebangsaan yang mencuatkan gagasan tentang nasionalisme. Dinamika kesadaran itu dimungkinkan oleh pemantik yang dalam terminologi sejarawan Takashi Shiraishi sebagai zaman modal. Mobilitas sosial pun terjadi kala itu dengan dampak capitalism privatism serta menghadirkan arus modernisasi di berbagai sektor. Akses pendidikan serta modernisasi lembaga pendidikan dan pengetahuan melahirkan kelompok elite terpelajar. Dalam kaitan inilah tokoh-tokoh seperti Tjipto dan Noto Soeroto hadir dalam arus transformasi tersebut.
Dinamika kesadaran politik itu mereproduksi sejumlah ide gagasan kebangsaan yang tidak selalu tumbuh dalam kanon pemikiran Barat. Namun, bisa menyelinap dalam basis budaya khususnya tradisi masing-masing pengusung gagasan tersebut. Salah satunya gagasan nasionalisme yang berbasis pada Jawa.
Apa yang ada dalam publikasi ini bukan hanya diusung oleh Noto Soeroto. Kita diingatkan pula tentang tokoh Soetatmo Soeriokoesoemo. Tokoh yang dikenal sebagai ketua Comite voor het Javaansche Nationalism mengeluarkan gagasan mengenai nasionalisme Jawa. Ia menganjurkan bahwa bangsa (Hindia Belanda) dapat dan harus dibangun atas dasar kesamaan budaya dan bahasa.
Baca juga : Praktik Rasisme Kolonial Memicu Perang Jawa
Terkait premis itu ia menyodorkan basis kebangsaan yang berorientasi pada tradisi dan budaya Jawa. Nasionalisme Jawa berakar pada kesamaan budaya, bahasa, dan sejarah Jawa. Sementara menurutnya basis budaya nasionalisme Hindia tidak ada bahkan menuding sebagai produk pemerintahan kolonial Belanda.
Apa yang digagas oleh Soetatmo seturut dengan gagasan Noto Soeroto. Oleh karenanya, buku ini merupakan kajian yang setidaknya bagaimana ide Jawa mendapatkan tempat dalam memformulasikan ide nasionalisme. Dan, tokoh Tjipto Mangoenkoesomo menjadi tokoh yang menentang basis nasionalisme yang dilandasi pada unsur etnis/ras. Saat Soetatmo mengungkapkan ide itu, Tjipto menjadi antitesanya. Perdebatan kedua tokoh tersebut ditulis oleh sejarawan Takashi Shiraishi tahun 1981 dengan judul The Disputes Between Tjipto Mangkoenkoesoemo And Soetatmo Soeriokoesoemo: Satria Vs Pandita dalam Jurnal Indonesia.
Demikian halnya Tjipto yang tergolong terpelajar karena ia merupakan lulusan STOVIA. Hanya yang membedakan ia berasal dari priayi dan sosok yang dikenal sebagai penggagas nilai-nilai revolusioner/radikal serta mengusung nasionalisme Hindia. Dari pembacaan pemikiran kedua tokoh ini, pembaca dapat menelusuri genealogis pemikiran. Contoh adalah Tjipto yang sebelumnya mengeksplorasi gagasan Jawa. Tjipto meniscayai bahwa masyarakat Jawa perlu mengenal pemimpin-pemimpin besarnya di masa lalu. Pada diktum ini, sejarah menurut Tjipto seharusnya bersifat instruktif dan digunakan pada masyarakat dan penjajah bahwa peradaban Jawa berlandaskan pada karakter moral yang kuat (hlm 80-81).
Namun, sejak tahun 1920-an, Tjipto mengalami perubahan orientasi pergerakan menjadi radikal. Benih-benih keradikalan itu ia tumpahkan saat mengecam gerakan Indie Weerbar, bergabung dengan Indische Partij, Insulinde serta serangannya terhadap kaum teosofi. Tjipto gagasannya mengalami orientasi analisa melalui struktural, materialis, dan cenderung analisis kelas.
Indie Weerbar merupakan gerakan pertahanan sipil yang melibatkan milisi masyarakat Hindia Belanda menjelang Perang Dunia I (1914-1918) sekaligus pemberian demokrasi terbatas masyarakat Hindia Belanda. Gerakan tersebut menjadi mencuat menjelang terjadinya Perang Dunia I
Tjipto meniscayai bahwa masyarakat Jawa perlu mengenal pemimpin-pemimpin besarnya di masa lalu.
Reifikasi Jawa
Apa yang menarik dari telaah Farabi selain meneroka gagasan sekaligus dinamika pemikiran kedua tokoh ini? Buku ini tidak hanya menelisik soal gelanggang pemikiran Tjipto dan Noto Soeroto. Lebih dari itu akan membaca soal bagaimana reproduksi pengetahuan tentang Jawa yang dieksplanasi dalam proyek pengetahuan kolonial serta proses reifikasi tentang Jawa itu sendiri.
Arus transformasi sosial yang salah satunya menciptakan modernitas saintifik berpengaruh terhadap kekhawatiran sekaligus hilangnya nilai dan budaya tradisional.
Krisis kebudayaan yang dirasakan para penganut budaya Jawa melahirkan sikap reaksioner serta kesan pada sense of remembrance pada budaya Jawa membuahkan gagasan membangkitkan budaya Jawa melalui ide nasionalisme Jawa (hlm 55-57).
Reifikasi Jawa merupakan bagian dari dinamika Jawa dalam berbagai perspektif. Reifikasi (reification) sendiri merupakan perubahan menjadi sesuatu itu seakan-akan menjadi benda. Gagasan ini mengambil dari perspektif Marxis dari tereduksinya relasi antarmanusia karena menjadi relasi antarproduksi. Makna inilah yang dikhawatirkan para penggagas nasionalisme Jawa karena berpotensi pada keterasingan manusia. Pada posisi inilah arus kebangkitan budaya Jawa dan teosofi menjadi jalan masuk mengkritisi reifikasi Jawa.
Ilustrasi
Kemodernan membawa sisi pergeseran sisi spiritual. Tapi tak bisa dipungkiri bagaimana memosisikan proses dialog arus transformasi dengan spirit kebatinan Jawa yang dirasakan membangun Jawa. Pada proses inilah sisi adanya reifikasi Jawa memunculkan gerakan teosofi yang banyak dianut elite terpelajar Jawa tanpa terkecuali menjadi penghubung antara tradisi dengan kemodernan. Kepercayaannya terhadap akar Jawa dan menolak gagasan demokrasi Barat menjadi pondamen dalam setiap penuangan pemikirannya. Salah satunya pada filosofi lakon pewayangan yang ia jadikan sebagai sumber penuangan gagasan (lihat MT Kerdijk, Wayang Liederen,2008)
Jalan yang ditawarkan Noto Soeroto tentang nasionalisme Jawa telah dipublikasikan dalam tulisan yang tersebar. Pada intinya Noto Soeroto menolak gagasan nasionalisme Hindia yang dianggapnya tidak ada.
Dalam suatu kesempatan Noto menolak pernyataan Indonesia Merdeka. Karena menurutnya justru mereka yang menyokong adalah orang-orang fanatik dan agresif. Anti mainstream Noto terjadi saat ia berpidato yang berjudul Nederlands en Indonesie. Seruannya atas gagasan asosiasi dalam wadah Rijkseenheid menuai kecaman keras. Gagasan Noto tentang ini berasal dari gagasan asosiasi India dengan Inggris (hlm 132-133). Tak pelak gagasannya menuai serangan dari aktivis mahasiswa yang terhimpun dalam Perhimpunan Indonesia (tentang ini dituturkan dalam studi Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang-orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950).
Farabi menelisik genealogi pemikiran kedua tokoh hingga membentuk konstruk nasionalisme tidak linear.
Satu sisi kolonialisme membutuhkan pengetahuan tentang Jawa. Dinamika inilah yang membuat mereka menjadikan Jawa sebagai proyek pengetahuan kolonial. Adalah Raffles yang memulai dengan memublikasikan History of Java. Walaupun sebenarnya jauh sebelum kekuasaan Inggris, telah berdiri lembaga penelitian yaitu Batavia Genotschaap van Kunsten en Wetenschappen yang berdiri tahun 1778. History of Java bagi Raffles menjadi alat legitimasi untuk meniscayai bahwa Jawa merupakan peradaban yang layak. Sesudahnya pemerintah kolonial Belanda mendirikan lembaga penelitian untuk melakukan kajian riset tentang Jawa seperti tahun 1832 berdiri Het Instituut voor de Jaavansche Taal te Soerakarta. Disusul tahun 1843 berdiri Akademi Kerajaan di Delft melakukan riset-riset soal Jawa. Puncaknya tahun 1864 Javanese Institute menjadi bagian dari program studi Bahasa Jawa di Universitas Leiden.
Tokoh-tokoh seperti G. Hazeu, Hendrik Kern, CC Berg hingga Uhlenbeck adalah nama besar yang menggawangi (hlm 19-23). Walhasil, membaca kedua tokoh ini layaknya kita melihat pergumulan manusia dalam arus sejarah. Mereka telah memiliki jalan soal pemikiran nasionalisme, walaupun keduanya memilih jalan pemikiran nasionalisme yang berbeda, toh tak dapat disangkal bahwa keduanya berakar dari wadah satu yakni: kebudayaan Jawa.
Kompleksitas dan dinamika sosiologis saat itu saling berkelindan dan memengaruhi gagasan yang mereka tawarkan. Farabi menelisik genealogi pemikiran kedua tokoh hingga membentuk konstruk nasionalisme tidak linear. Namun, terdapat ruang yang mencair dan melintas. Walau terkadang mengemuka penilaian gagasan yang bersifat ilusi, naif dan fatalis.
WIJANARTO,Peresensi tinggal di Brebes dan bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes