Surabaya, Tempat Tersemainya Nasionalisme Indonesia
Sumbangan penting buku ini adalah menempatkan Surabaya sebagai tempat awal tersemainya nasionalisme Indonesia. Penegasan itu penting saat ini karena Surabaya hampir terlupakan dalam historiografi modern Indonesia.
Judul: Ras, Kelas dan Bangsa: Politik Pergerakan Antikolonial di Surabaya Abad Ke-20
Penulis: Andi Achdian
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Tebal: xi + 476 halaman
ISBN: 978-602-0788-41-8
Surabaya adalah panggung utama kaum pergerakan antikolonial di Hindia Belanda. Gerakan antikolonial itu tumbuh di Surabaya karena di kota multiras dan etnis, serta kelas ini, di awal abad ke-20 telah hadir kelompok profesional, kaum terpelajar, surat kabar, organisasi profesi, serikat buruh, dan dewan kota.
Karya Andi Achdian, yang berasal dari disertasinya di Universitas Indonesia ini, bisa memberi perspektif yang segar untuk memahami gejolak rasa berbangsa saat ini.
Buku itu menekankan pesan bahwa Surabaya kota yang setara pentingnya dengan Batavia, Semarang, dan Surakarta dalam mewadahi tumbuhnya ”embrio bangsa Indonesia”. Selama ini historiografi Indonesia seakan melupakan Surabaya. Andi Achdian kembali membawa Surabaya ke posisi sentralnya.
Karya Andi Achdian, yang berasal dari disertasinya di Universitas Indonesia ini, bisa memberi perspektif yang segar untuk memahami gejolak rasa berbangsa saat ini.
Panggung pergerakan
Pada awal abad ke-20, Surabaya sudah merupakan kota modern dengan multi-identitas. Nasionalisme tumbuh seiring perkembangan masyarakat kota modern. Itu terjadi karena kota menjadi tempat bertemunya berbagai warga terdidik dan memiliki infrastruktur penunjang terjadinya perjumpaan dan pertarungan gagasan. Sekaligus kontestasi identitas.
Surabaya sebagai kota kolonial terbesar setelah Batavia, selain berwajah kemajuan, juga menunjukkan wajah ketimpangan sosial yang tajam. Ketimpangan itu buah dari kebijakan segregasi sosial kolonial yang membagi penduduk ke dalam tiga kelompok, yaitu Eropa, Timur asing, dan pribumi.
Segregasi sosial berdasarkan tiga pengelompokan itu menjadi pengukuhan superioritas ras dan kelas meski pada awal ditunjukkan untuk pengadministrasian penduduk. Kelompok Eropa dan Timur asing yang warga minoritas menjadi kelompok dominan dan teratas secara politik dan ekonomi. Sementara warga pribumi yang mayoritas berada di strata sosial ekonomi terbawah. Ketimpangan itu pada gilirannya menjadi mesiu perlawanan, lintas ras dan kelas di Surabaya.
Surabaya merupakan kota kolonial yang berkembang pesat di awal abad ke-20. Itu ditandai berkembangnya industri gula, kimia, logam, mesin, perkapalan, pelabuhan, dan perdagangan. Serta menjadi tempat sektor industri keuangan yang kuat.
Pembaruan administrasi kolonial pada masa itu menandai awal desentralisasi pemerintahan. Di Surabaya, hal itu ditandai dengan pembentukan dewan kota (gemeenteraad). Dewan kota Surabaya menjadi tempat memperdebatkan segala kebutuhan warga. Ekspresi politik bernada ras, etnis, dan kelas menjadi tumpah di gedung dewan kota itu.
Penduduk Surabaya pada paruh awal abad ke-20, sekitar 341.000 jiwa dengan komposisi pribumi 79,4 persen, Timur asing (Arab) dan Tionghoa 13 persen, serta Eropa 7,6 persen. Komposisi itu menunjukkan bahwa Surabaya berpenduduk heterogen.
Memasuki abad XX, transformasi ekonomi dan sosial terjadi di Surabaya. Itu ditandai kemunculan elite Eropa dan Indo-Eropa, yang bukan lagi sekadar pegawai pemerintah, melainkan orang-orang swasta, yang menjalankan profesi baru sebagai pengacara, jurnalis dan kerja profesional lainnya. Di sisi lain juga tercipta komunitas Tionghoa dan Arab yang kaya karena aktivitas perdagangan. Mulai hadir juga kaum pribumi terpelajar dan kaum pekerja kasar atau buruh yang menjadi penghuni dan penggerak terbanyak kota.
Dewan kota yang terbentuk 1905 memiliki 23 kursi, 15 kursi untuk Eropa, 5 kursi untuk pribumi dan 3 kursi untuk Timur asing. Dari 15 kursi untuk Eropa, 7 kursi untuk pejabat pemerintah. Sejak adanya dewan kota, aktivitas politik, yang sebelumnya terlarang di koloni menjadi ruang yang terbuka. Proses pemilihan dilakukan warga kota untuk menduduki kursi-kursi dewan. Demokrasi mulai hadir meski terbatas.
Dewan kota menjadi panggung warga untuk menyalurkan aspirasi mengenai berbagai permasalahan sekaligus tempat protes atas berbagai kebijakan yang dianggap merugikan warga.
Koran dibutuhkan kalangan terpelajar, juga pemerintah untuk menyerap dan menyampaikan informasi.
Hadirnya surat kabar juga membuat Surabaya dinamis. Koran dibutuhkan kalangan terpelajar, juga pemerintah untuk menyerap dan menyampaikan informasi. Perdebatan tentang persoalan kota hadir dalam kolom-kolom koran, kemudian menjadi pembicaraan di kafe-kafe kelas atas, diperbincangkan di serikat buruh dan menjadi perdebatan di dewan kota.
Surat kabar di Surabaya mulanya dikelola orang-orang Belanda, peranakan Belanda, Tionghoa, dan kemudian kaum terpelajar pribumi. Pada awalnya berbahasa Belanda, Jawa, dan kemudian Melayu. Melalui surat kabar terjadi pertukaran gagasan, juga arena untuk membayangkan bangsa yang baru, yang bukan lagi Jawa, juga bukan lagi hamba Belanda.
Ekspresi ras dan kelas
Dalam beberapa tahun belakangan ini, ekspresi nasionalisme Indonesia terasa menyempit dan mendangkal karena tampak berwatak antiasing (xenopobhia) dan chauvinis. Padahal, watak nasionalisme Indonesia dalam sejarahnya tidak demikian.
Buku ini secara panjang lebar menguraikan watak awal nasionalisme Indonesia yang kosmopolitan karena gagasan bangsa Indonesia dibentuk kekuatan watak lintas ras, etnis, dan kelas. Serta menyerap berbagai paham politik, seperti sosialisme, komunisme, dan pan-Islamisme. Para pelopor bangsa berhasil mengatasi ketegangan ras dan kelas serta berbagai paham gagasan kebangsaan.
Di era kolonial, ekspresi ras dan kelas menjadi motor penggerak nasionalisme. Namun, gagasan nasionalisme itu melampaui sekat etnis sehingga nasionalisme ala priayi Jawa menjadi tidak berkembang. Sementara itu, gagasan nasionalisme antiras kulit putih juga tertolak karena pionir perlawanan terhadap kebijakan kolonial juga datang dari kalangan kulit putih dan Indo. Bahkan, kalangan Tionghoa dan Arab di Surabaya berperan penting dengan surat kabar berbahasa Melayu yang mereka kelola. Artinya, baik tokoh pribumi, Indo- Eropa, Tionghoa, maupun Arab berperan aktif dalam panggung depan pergerakan antikolonial di Surabaya.
Tampak muka Museum HOS Tjokroaminoto di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (10/2/2023).
Andi Achdian dengan indah menggambarkan tentang watak nasionalisme Indonesia dengan mengutarakan, ”Dalam lingkup kehidupan Kota Surabaya yang menjadi tempat pertemuan berbagai ras dan suku bangsa inilah ide-ide nasionalisme yang bersentuhan dengan konsepsi politik kewargaan modern di kalangan aktivis pergerakan Surabaya kala itu” (hlm 460).
Watak nasionalisme yang demikian pada mulanya berkembang dalam Klub Panti Harsojo. Klub yang terbentuk pada April 1908 ini diprakarsai Raden Tjokrosoedarmo, Raden Panji Tjokronegoro (Bupati Surabaya), dan Raden Omar Said Tjokroaminoto. Klub ini berhasil menjadikan dewan kota sebagai ruang menyampaikan kritik agar warga pribumi diperhatikan pendidikannya. Bahkan, klub ini juga berhasil menjadi penengah bagi kalangan Tionghoa dan Arab dalam rangka mencegah pecahnya kerusuhan rasial (hlm 134).
Begitu pula Soetomo dengan Studi Klub Indonesianya (SKI) di Surabaya. SKI menghela watak nasionalisme yang mau melebarkan spektrum nasionalisme baru, yang bukan semata nasionalisme priayi Jawa ala Budi Utomo, melainkan nasionalisme yang meliputi Hindia Belanda, Islam, dan Sosialis (hlm 265).
Sementara kalangan orang Belanda dan Indo-Eropa muncul di panggung politik Surabaya melalui De Indische Partij (IP) yang dipelopori Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, JG van Haan, dan JD Brunsveld van Huiten. IP mempunyai misi mendorong emansipasi kaum Indo-Eropa dalam politik Hindia, dan mendorong Hindia berpisah dengan Belanda. Dalam lawatan ke Surabaya, 1913, Douwes Dekker mendorong melalui IP adanya persatuan antara Indo dan pribumi. Kalangan Indo saat itu di Surabaya termasuk kelompok ”Kleine Luiden” alias wong cilik karena strata sosialnya di bawah Belanda totok.
Buku ini secara panjang lebar menguraikan watak awal nasionalisme Indonesia yang kosmopolitan karena gagasan bangsa Indonesia dibentuk kekuatan watak lintas ras, etnis, dan kelas.
Panggung politik Surabaya kian semarak ketika seorang Belanda totok masuk ke Surabaya, 1912, yaitu HJFM Sneevliet, ahli pengorganisasian buruh yang sangat berpengalaman di Belanda. Sneevliet kerap hadir dalam pertemuan di Panti Harsojo dan bersahabat dengan Tjokroaminoto. Melalui ISDV, atau Serikat Buruh Kereta Api, Sneevliet memberi warna baru dunia kaum pergerakan karena ia mengenalkan pemogokan buruh di Surabaya. Melalui Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), gagasan sosialisme dan aksi pemogokan buruh berkembang di Surabaya dan kemudian merebak ke kota-kota lain. Aksi pemogokan mulai menjadi senjata kaum pergerakan. Sejalan dengan itu terminologi kelas dalam aspirasi politik kaum pergerakan juga berkembang (hlm 175).
Posisi Surabaya
Sumbangan penting buku ini adalah menempatkan Surabaya sebagai tempat awal tersemainya nasionalisme Indonesia. Penegasan itu penting saat ini karena Surabaya hampir terlupakan dalam historiografi modern Indonesia ketika membincangkan gerakan kaum nasionalis awal. Kaum nasionalis lebih banyak dilihat di Batavia, Bandung, Semarang, dan Surakarta ketimbang Surabaya.
Kedua, watak kaum nasionalis selama ini dikenali seakan satu spektrum, yaitu pribumi versus asing (Belanda). Buku Andi Achdian ini membalikkan itu, kaum nasionalis yang tumbuh di Surabaya lebih berwarna kosmopolitan, yaitu menunjukkan watak yang melampaui ras dan kelas.
Baca juga: Manisnya Gula dan Pahitnya Perbudakan di Luar Tembok Batavia
Agar pemaknaan watak nasionalisme Indonesia yang dijabarkan Andi Achdian dalam bukunya ini bisa diresapi lebih dalam, ada baiknya juga dibaca secara beriringan dengan buku Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, yang mengulas tumbuh kembangnya kaum pergerakan dan radikalisme rakyat Jawa di Surakarta, 1912-1926, (1997).
Bagi para politisi, elite pemerintahan, dan kalangan muda, buku ini penting untuk dibaca agar tidak terjerumus pada pola pikir xenophobia, chauvinisme, serta nasionalisme yang banal dalam melihat Indonesia masa kini.
Amiruddin Al-Rahab, Peminat Sejarah