Yasonna H Laoly, Anak Kolong yang Cerdik, Tulus Hati, Berani Otokritik
Biografi Yasonna ini tidak hanya merekam perjalanan Yasonna sejak kecil, tetapi juga memaparkan sikapnya dalam berpolitik, yakni cerdik, tulus hati tetapi berani melakukan otokritik.
Judul: Anak Kolong Menjemput Mimpi: Biografi Politik 70 Tahun Yasonna H. Laoly
Penulis: Imran Hasibuan dan Tim Penulis
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit: 2023
Jumlah halaman: xxix + 283 halaman
ISBN: 978-623-346-897-8
Yasonna H Laoly lahir sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara pada 27 Mei 1953. Beliau mewarisi gen dari dua etnis berbeda, yakni ayah dari suku Nias bernama Faoga’aro Laoly, dan ibu dari suku Batak Bernama Resiana Sihite. Ayahnya merupakan perwira menengah polisi dengan pangkat terakhir mayor.
Sang ayah pernah menjadi anggota DPRD Kota Sibolga dan anggota DPRD Tapanuli Tengah dari fraksi ABRI, sedangkan sang ibu merupakan seorang ibu rumah tangga.
Buku Anak Kolong Menjemput Mimpi: Biografi Politik 70 Tahun Yasonna H. Laoly (Penerbit Buku Kompas, 2023) dibuat atas inisiasi sahabat Yasonna, yakni Ahmad Basarah. Ahmad Basarah kemudian menjadi ketua tim pengarah, sementara tim penulis dipimpin Imran Hasibuan. Biografi ini disajikan dengan gaya deskriptif, dalam bentuk rangkaian kisah perjalanan kehidupan yang disusun secara kronologis.
Publikasi ini merekam perjalanan hidup Yasonna sejak masih kecil hingga dewasa. Dalam buku ini pula dikisahkan perjuangan Yasonna dan istri saat berada di Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan di Virginia Commonwealth University dan North Carolina University. Selain itu, dipaparkan juga perjalanan kariernya sejak masih menjadi dosen kemudian menjadi politisi dan birokrat.
Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Yasonna tidak hanya menjadi seorang advokat, tetapi juga dosen. Bermula ketika beberapa teman sesama pengacara mengajaknya memasukkan proposal pembukaan Fakultas Hukum di Universitas HKBP Nommensen Medan. Ketika Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen akhirnya dibuka tahun 1980, Yasonna langsung ditunjuk menjadi Pembantu Dekan I. Pengalamannya dalam dunia pendidikan dan hukum membawanya belajar di Amerika Serikat hingga meraih gelar doktor ilmu kriminologi di North Carolina State University.
Salah satu peran dan sepak terjang Yasonna yang juga dipaparkan dalam publikasi ini yakni peran Yasonna saat menjadi Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR mengawal gagasan ”Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara”, serta perjalanan dan perjuangan tugas-tugas ideologis yang diperintahkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk meluruskan sejarah Hari Lahirnya Pancasila yang sebelumnya telah didistorsi.
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Ketua DPR Puan Maharani bahkan ikut memberi kata sambutan dalam publikasi yang ditulis oleh Imran Hasibuan ini.
Cerdik dan tulus hati
Cerdik tetapi tulus hati melekat pada Yasonna H Laoly dalam menjalankan peran sebagai politisi. Sikap tersebut setidaknya ditunjukkan ketika menangani konflik internal sejumlah partai politik. Salah satunya ketika menangani konflik di Partai Persatuan Pembangunan antara kubu Romahurmuziy dengan Djan Faridz. Sebagai Menteri Hukum dan HAM yang baru dilantik dua hari sebelumnya, 28 Oktober 2014, Yasonna mengeluarkan keputusan yang mengesahkan perubahan susunan kepengurusan DPP PPP, pimpinan Romi, sesuai hasil Muktamar di Surabaya.
Akibatnya, kritik keras datang dari kubu Djan Faridz. Yasonna dituduh memecah belah umat Islam dan ikut campur terlalu jauh dalam konflik internal PPP. Yasonna diancam akan diinterpelasi di DPR dan digugat di PTUN. Namun, Yasonna berpendapat bahwa keputusan harus dibuat selambatnya tujuh hari setelah surat dari partai masuk supaya ada kepastian hukum, kecuali ditemukan pengajuan tidak sesuai dengan AD/ART. Keputusan yang cepat dinilai Yasonna akan membantu penyelamatan partai yang bersangkutan. Menurut dia, keputusan yang diberikannya merupakan ”jalan damai” bagi kedua kubu yang berseteru, serta menghindari konflik berkepanjangan dalam tubuh partai.
Demikian pula saat konflik Partai Golkar awal 2015 yang terjadi antara kubu Aburizal Bakrie versus Agung Laksono. Setelah Pemilihan Presiden 2014, Golkar terbelah menjadi dua kubu. Kepengurusan hasil musyawarah nasional di Bali dipimpin Aburizal Bakrie berseberangan dengan kubu musyawarah nasional Jakarta pimpinan Agung Laksono. Mahkamah Partai yang dibentuk untuk menyelesaikan konflik dianggap memenangkan kubu Agung. Kemudian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengeluarkan ”surat klarifikasi”. Isinya memerintahkan Agung Laksono membentuk kepengurusan.
Surat keputusan Menkumham tersebut sempat ditentang kubu Aburizal Bakrie. Namun, Yasonna kembali menggunakan pendekatan jalan damai. Yasonna membujuk setiap pihak untuk berdamai dan menyatukan mereka dengan ”platform Riau”. Akhirnya, semua bisa menerima dan Golkar tidak menjadi pecah.
Yasonna menyadari apabila suatu partai politik tidak terlembagakan dengan baik, konflik internal kepartaian akan mengarah pada dua muara yang justru merugikan partai. Yasonna selalu berlandaskan niat dan keinginan baik, sehingga tidak pernah tergoda tawaran dari pihak lain. Beliau meyakini bahwa kompromi dalam politik praktis merupakan hal yang niscaya. Tidak ada kesepakatan politik tanpa kompromi. Namun, kompromi tidak boleh menabrak prinsip-prinsip yang menjadi dasar berpolitik. Terlebih nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan NKRI tidak bisa dikompromikan.
Otokritik
Cerdik dan tulus hati tak berarti anti melakukan otokritik terhadap situasi dan kondisi sekeliling yang dinilai melenceng dari jalan kebenaran. Otokritik Yasonna dilakukan melalui sejumlah buku yang ditulisnya. Dalam publikasi berjudul Politik Muka Ganda: Peran Parpol Menegakkan Peradaban Politik (2022), Yasonna mengkritik kondisi sistem politik dan kepartaian yang terjadi pada masa sekarang.
Dalam salah satu bagian buku, Yasonna menulis ”Hari-hari ini narasi Hobbesian, yang mengabaikan moralitas sebagai landasan perilaku, bertaburan di ruang publik politik Indonesia”. Selanjutnya, ia mengkritik maraknya politik uang dalam proses pemilu dan pemilihan kepala daerah.
Otokritik juga dilakukan Yasonna H Laoly terhadap perkembangan partai politik di era Reformasi. Jumlah partai politik yang terlalu banyak dinilai rentan menimbulkan konflik karena masing-masing sibuk menyuarakan kepentingan sendiri dibandingkan kepentingan bersama.
Namun, kritik paling tajam Yasonna ditujukan pada dampak Reformasi. Setidaknya demikian kritik yang dinyatakannya ”Di sela segala perbaikan sistem demokrasi di masa Reformasi, terselip berbagai paradoks. Pada langit mental, semangat ketuhanan yang mestinya menjadi bantalan etis, etos, dan welas asih, terdangkalkan oleh formalisme dan egoisme keagamaan. Kemanusiaan yang mestinya mengarah pada kesederajatan, kemandirian, persaudaraan manusia, terlumpuhkan oleh individualisme, materialisme, dan hedonisme. Keragaman yang mestinya memberi wahana saling mengenal, saling menghormati, saling belajar, saling menyempurnakan, serta saling berbagi dan melayani untuk menguatkan persatuan, justru menjadi wahana saling menyangkal, saling mengucilkan, saling meniadakan yang mengarah pada kelumpuhan dan kehancuran bersama”.
Pada ranah politik, sebagai agen perantara dalam perubahan sistem sosial, konsentrasi kekuatan nasional bagi transformasi ranah material dan mental menuju masyarakat Pancasilais yang berkekeluargaan dan berkeadilan justru tercabik oleh adopsi model demokrasi yang tidak selaras dengan dasar falsafah dan kepribadian bangsa.
Keberaniannya melakukan otokritik membuktikan bahwa beliau seorang pemimpin yang memiliki intelektualitas, dalam arti keluasan, kedalaman, dan kepekaan wawasan dalam mendekati persoalan, serta kemampuan pengatasan ceteris paribus (hal-hal yang dianggap konstan atau tidak berubah dalam sebuah sistem). Intelektualitas dan pengatasan ceteris paribus mempunyai implikasi mendalam bagi pengambilan kebijakan publik. (LITBANG KOMPAS)