Implementasi bantuan sosial (bansos) sering kali tidak tepat sasaran dan menimbulkan kegaduhan di tingkat warga. Di tengah krisis akibat pandemi, bansos dan program perlindungan sosial lain mendapat anggaran besar.
Oleh
RENDRA SANJAYA
·4 menit baca
Jauh sebelum pandemi, Pemerintah Republik Indonesia sebenarnya telah mulai menata dan mengadopsi beragam kebijakan perlindungan sosial, khususnya setelah krisis moneter pada 1997-1998. Yanu Endar Prasetyo dkk menyebutkan dalam Dilema Bansos: Pembelajaran dari Pandemi dan Urgensi Reformasi Tata Kelola (PBK, 2023), kebijakan tersebut terbagi dalam dua program besar, yaitu bantuan sosial (bansos) dan jaminan sosial.
Perbedaan utama kedua program tersebut terletak pada sumber dananya. Bantuan sosial dibiayai dari pendapatan pemerintah (pajak), sedangkan dana jaminan sosial berasal dari iuran anggota atau peserta. Latar belakang sejarah perlindungan sosial di Indonesia bertujuan untuk melindungi kehidupan ekonomi masyarakat miskin, menjaga kesehatan masyarakat, menjamin akses sekolah bagi anak-anak, dan mengamankan masyarakat ketika terjadi bencana.
Gagasan dan program bansos dari pemerintah tentu dilandasi oleh niat baik dalam menolong dan membantu masyarakat miskin dan kelompok rentan yang membutuhkan. Namun, sering kali dalam pelaksanaannya, tujuan baik tersebut tidak mudah untuk diwujudkan akibat beberapa kendala dan tantangan. Setidaknya ada tiga permasalahan mendasar yang selalu menghambat pelaksanaan bansos yang tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat waktu. Tiga masalah tersebut adalah ketersediaan dan akurasi data, persoalan regulasi dan tata kelola, serta persoalan teknis dan non-teknis lainnya.
Sejumlah fakta terkait bansos dipaparkan secara komprehensif dalam publikasi yang merupakan hasil kajian ilmiah ini. Temuan-temuannya merupakan hasil dari tinjauan dan pemetaan ragam serta implementasi program-program bansos di Indonesia selama masa pandemi Covid-19 (2020-2022).
Kelemahan
Dari berbagai pengalaman dan realitas yang terjadi, pandemi Covid-19 telah membuka kotak pandora mengenai kelemahan kebijakan perlindungan sosial dan bantuan sosial di Indonesia. Meski Indonesia telah memiliki regulasi mengenai jaminan sosial nasional, pandemi Covid-19 telah memperlihatkan betapa sistem jaminan sosial di Indonesia tidak mampu menjawab kompleksitas persoalan dan keluasan masalah perlindungan sosial di Indonesia.
Carut-marut permasalahan bansos pada masa pandemi Covid-19 memuncak saat terungkapnya kasus korupsi pengadaan suap bansos yang melibatkan menteri sosial pada akhir 2020. Kasus itu membuka mata publik mengenai masalah-masalah struktural yang terkandung dalam kebijakan perlindungan sosial di Indonesia.
Kesimpang-siuran masalah distribusi bansos berakar dari ketiadaan data yang akurat dan terbaru secara periodik. Dalam penelitiannya, Yanu Endar Prasetyo dkk menemukan banyak kelompok masyarakat tidak mendapatkan bantuan sosial Covid-19 karena tidak terdaftar di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). DTKS ini menjadi basis data untuk penyaluran bantuan. Terungkap pula bahwa pembaruan data terakhir dilakukan pada tahun 2015.
Masalah semakin kompleks bagi masyarakat di lapisan bawah karena sebagian dari mereka memiliki pekerjaan dan upah harian dan tidak memiliki peluang untuk bekerja dari rumah (work from home/WFH). Pembatasan sosial skala besar ataupun mikro semakin mempersulit ruang gerak mereka.
Pembatasan sosial yang ketat tersebut berdampak langsung pada industri transportasi, perhotelan, dan pariwisata pada umumnya yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja. Sektor informal yang biasanya mampu bertahan pada masa krisis ternyata mengalami pukulan yang cukup telak di kala pandemi Covid-19 akibat pembatasan sosial yang ketat dan ketidakpastian pendapatan.
Ketidakpastian pekerjaan dan finansial menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga pun ikut meningkat selama pandemi, kesehatan mental terganggu, pendidikan anak terbengkalai, serta dampak lanjutan lainnya. Sekitar 57 persen perempuan mengalami peningkatan stres dan kecemasan akibat bertambahnya beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan, kehilangan pekerjaan dan pendapatan, serta mengalami kekerasan berbasis jender.
Kelompok rentan
Selama pandemi terjadi pergeseran pemahaman tentang kerentanan yang biasanya bersifat khusus pada kelompok tertentu menjadi kerentanan pada semua atau bersifat universal. Pandemi Covid-19 telah menunjukkan dampaknya pada semua lapisan masyarakat meski dengan derajat yang berbeda-beda. Masyarakat lapisan ekonomi terbawah dan kelompok rentan lainnya, seperti perempuan, anak, warga lansia, penyandang disabilitas, ataupun kelompok prekariat (berasal dari kata precarious yang berarti rentan dan proletariat atau kelas pekerja) adalah kelompok yang paling terdampak buruk.
Berangkat dari temuan-temuan tersebut, tim penulis menawarkan rekomendasi perbaikan model dan implementasi bansos dari sudut pandang masyarakat sipil. Bansos sebagai bantalan penahan guncangan (shock) dari krisis harus ditempatkan tidak lagi sebagai kebijakan yang bersifat extraordinary dan khusus pada 40 persen lapisan terbawah saja, tetapi juga perlu diperlebar hingga dapat mencakup kelompok rentan di kelas menengah lainnya.
Sesuai mandat konstitusi, yakni melindungi segenap warga negara dari dampak pandemi, negara wajib hadir melalui berbagai program dan kebijakan. Salah satunya melalui peningkatan efektivitas bansos sebagai bagian dari skema perlindungan sosial. Namun, faktanya justru penyaluran bansos yang sangat dibutuhkan oleh rumah tangga miskin dan kelompok rentan ini tidak tepat sasaran dan berpotensi merugikan negara.
Salah satu problematika yang dihadapi dalam tata kelola bansos adalah belum adanya peta jalan (roadmap) yang komprehensif terkait dengan bansos bagi kelompok rentan, termasuk tidak ada acuan khusus kapan bansos akan diberikan dan kapan akan dihentikan. Mengingat krisis ekonomi, resesi, bahkan pandemi diprediksi akan berulang terjadi pada masa depan, sudah selayaknya skema dan pola bansos di Indonesia memiliki peta jalan yang jelas. (Litbang Kompas/Rendra Sanjaya)
Data Buku
Judul: Dilema Bansos: Pembelajaran dari Pandemi dan Urgensi