Keraton Ngayogyakarta di bawah Sri Sultan Hamengku Buwono X mempertahankan tradisi, budaya, dan jangkar integritas.
Oleh
RENDRA SANJAYA
·5 menit baca
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak lepas dari keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kawasan ini begitu istimewa sehingga setiap pengunjung memiliki perasaan dan nuansa berbeda di sana. Keramahan, kenyamanan yang membuat betah setiap orang menjadi ciri khas Yogyakarta yang tidak dapat ditemukan di tempat lain.
Status keistimewaan yang diberikan pada Yogyakarta bukanlah semata-mata buah dari peran Kesultanan Yogyakarta dalam mempertahankan Indonesia di awal kemerdekaannya. Akan tetapi, status keistimewaan tersebut patut terus disandang Yogyakarta karena perannya bagi Indonesia hingga sekarang ini sebagai aset dan penjaga kestabilan sosial masyarakat.
Keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat serta masyarakat Yogyakarta yang masih memelihara tradisi dan budaya itulah yang menghadirkan rasa khas. Tradisi dan budaya itu bukan hanya yang dapat dilihat oleh mata atau didengar telinga, melainkan sesuatu yang bisa dirasakan. Itulah yang masih terpelihara di Yogyakarta sekalipun telah menjadi tempat yang modern. Hal tersebut juga yang menjadikan identitas Yogyakarta dan masyarakatnya tetap kuat sehingga memberikan nuansa berbeda dari tempat lain.
Meskipun Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah hasil inkulturasi Islam dan budaya Jawa, disebutkan dalam Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat: Festschrift Dasa Windu Sri Sultan Hamengku Buwono X (Penerbit Buku Kompas, 2023), nyatanya Islam yang juga melekat pada keraton tidak begitu saja menyingkirkan praktik dan nilai-nilai budaya Jawa. Bahkan, keraton sangat terbuka dengan perbedaan suku dan agama serta memberikan ruang kepada kelompok yang berbeda untuk tetap hidup berdampingan di sekitar Keraton.
Tradisi dan budaya
Keraton Yogyakarta yang dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono X berhasil mempertahankan identitasnya di abad ke-21. Tradisi dan budaya yang menghadirkan masa lampau masih tetap bisa dinikmati orang hingga saat ini. Rasa di masa lampau yang sama meskipun zaman telah berubah.
Tanpa disadari, tradisi dan budaya yang masih terjaga itu juga berperan menjaga keharmonisan dan toleransi antarwarga Yogyakarta. Tradisi dan budaya menjadi pengikat erat antarmasyarakat di tengah keberagaman suku dan agama masyarakat. Unsur budaya itu, meskipun tidak tampak secara kasatmata, menjadi sesuatu yang sangat penting dalam membangun penerimaan masyarakat pada perbedaan yang ada, misal perbedaan agama. Hal-hal tersebut terwujud dalam sikap positif terhadap keseluruhan Indonesia oleh warga Yogyakarta.
Sikap positif secara alamiah hidup dalam keseharian masyarakat Yogyakarta yang mencerminkan penerapan sila Pancasila merupakan modal untuk menjaga keharmonisan hidup antarwarga. Cerminan nilai-nilai Pancasila yang bercampur dengan tradisi dan budaya masyarakat ini juga merupakan penstabil budaya yang berakar pada masa lalu, namun selalu dapat dibawa ke masa depan. Setiap penduduk Yogyakarta dan keraton tetap berpegang teguh pada tanah budayanya meski situasi dan keadaan banyak berubah.
Budaya tersebut mereduksi gangguan, termasuk nilai-nilai agama, yang disalahgunakan untuk memecah belah masyarakat. Di sinilah masyarakat Yogyakarta dan keraton dapat bersinergi untuk menjaga kesamaan nilai yang ada dalam tradisi dan budayanya. Hal tersebut menunjukkan bagaimana keraton yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono X beserta pendahulunya benar-benar menjadi penjaga kebudayaan.
Jangkar integritas
Kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono X memberi pelajaran penting bagi pemupukan kepemimpinan nasional. Di balik fenomena keunggulan seseorang, suatu entitas kelompok, dan bangsa terletak ketekunan membiasakan praktik-praktik unggul. Untuk dapat terus mereproduksi kepemimpinan hebat diperlukan usaha mempertahankan tradisi kepemimpinan, namun bukanlah jangkar yang statis. Di sepanjang elemen kontinuitas, terdapat area yang harus terus mengalami perubahan. Setiap pemimpin baru memberi sentuhansesuai dengan karakter dan perkembangan keadaan, sesuai watak ”satriya”.
Kepemimpinan politik menjadi pusat teladan, ibarat mata air yang darinya mengalir sungai-sungai kehidupan yang memasok air ke hilir. Mutu air di hulu akan memengaruhi mutu kehidupan di hilir. Jernihkan mata air keteladanan dengan mencanangkan visi dan meluruskan niat integritas, niscaya kehidupan rakyat akan tumbuh sehat, sejahtera, dan bahagia.
Tradisi kepemimpinan cerlang budaya dengan modal moral kuat sangat penting di tengah tumpukan para pemimpin instan, bergaya pesolek gila kuasa dengan kualitas seadanya. Ketika kekaguman pada ”nama-nama besar” mulai pudar akibat kemerosotan wibawa pusat teladan, banyak orang mengalihkan kekagumannya pada diri sendiri. Hanya berbekal penampilan, sumbangsih tipis atau kantong tebal, seseorang sudah merasa pantas memimpin negara.
Para petaruh yang tak memiliki keluasan wawasan kenegaraan, jangkar tradisi, ketebalan modal moral, dan kedalaman rekam jejak pergulatan publik mudah tergoda untuk menutupi kekurangannya dengan melipatgandakan manipulasi pencitraan. Nilai rekayasa kemasannya jauh lebih besar ketimbang nilai sumbangsihnya pada bangsa. Situasi inilah yang melahirkan onggokan sampah pemimpin plastik yang tak otentik di ruang publik.
Di tengah meluasnya tendensi kekuasaan yang gila popularitas, Sri Sultan HB X berdiri sebagai jangkar integritas yang kuat. Saat banyak pemimpin berebut penghargaan demi modal popularitas dan pencitraan, Sri Sultan Hamengku Buwono X berdiri sebagai tumpuan kesejatian: ”Kota kita tak memerlukan kata pujian yang berlebihan. Dia hanya perlu sentuhan kasih sayang dari hati nurani kita.”
Sebagai seorang raja Jawa dan panatagama, Sri Sultan Hamengku Buwono X hadir sebagai sosok pemimpin yang ngrengkuh (merangkul) dan ngesuhi (mempersatukan) semua rakyat yang sangat beragam, baik dari segi pendidikan, budaya, agama, status sosial, maupun etnis. Hal ini pasti tidak mudah ketika ada banyak kemauan dan pemikiran yang berbeda di antara rakyatnya. Namun, kedekatan dan keterbukaan dengan semua lapisan masyarakat telah menjadikannya seorang pribadi dan pemimpin yang mampu merangkul dan mempersatukan aneka kelompok rakyat. Dalam semangat kepemimpinan ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengutamakan kesatuan, toleransi, dan kerukunan dalam keberagaman.
Sikapnya yang ngemong (mencermati untuk dapat mengerti dan memahami), momong (merawat atau ngopeni dengan penuh kasih sayang yang tulus), among (memberi contoh yang baik), dan mbopong (menopang dan menolong) selalu dikedepankannya dalam menghadapi dan menyiasati berbagai perbedaan dan masalah yang muncul di tengah masyarakat. Selain itu, beliau juga memiliki keterbukaan untuk mendengarkan pendapat dan menerima masukan yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.
Potret kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Raja Keraton Yogyakarta yang juga menjabat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipaparkan secara lugas oleh sejumlah penulis dalam buku ini. Kepemimpinan kesultanan Yogyakarta bisa menjadi mata air keteladanan bagi kepemimpinan seantero negeri. (Litbang Kompas/DRA)
Data Buku
Judul: Berdaulat untuk Kesejahteraan Rakyat: Festschrift Dasa Windu Sri Sultan Hamengku Buwono X
Penyusun: Wartawan Harian Kompas dan Peneliti Litbang Kompas