Terhanyut dalam kisah yang diceritakan dengan runtut-lugas, tidak terasa ini sebuah novel yang berdasarkan kisah nyata.
Oleh
ST SULARTO
·5 menit baca
Mengenai peristiwa Bom Bali I (12 Oktober 2002) dengan korban lebih dari 100 orang meninggal dan Bom Bali II (1 Oktober 2005 di tiga lokasi: satu di Kuta, dua di Jimbaran) dengan korban meninggal 23 orang, terutama bom Bali I, sudah banyak dikisahkan, dianalisis, dan ditindaklanjuti. Keduanya melibatkan dunia wisata Indonesia dan masyarakat internasional.
Bom Bali I lebih menarik, dalam arti mengerikan dengan korban jiwa ratusan tewas sebagian besar berasal dari Austalia. Selain faktor jumlah korban termasuk yang luka-luka, kasus Bom Bali I merupakan pengalaman pertama terjadi di Bali dalam suasana tenang-damai, tidak terduga, apalagi merupakan surga bagi turisme utamanya dari luar dan sumber devisa Indonesia. Dalam sekejap masyarakat terkesiap. Suasana berbalik dalam sekejap menjadi suasana mengerikan, menakutkan dengan begitu banyak korban jiwa.
Semua orang kaget, termasuk aparat kepolisian dengan pasukan antiterror Densus 88. Di luar dugaan. Tidak disangka peristiwa bunuh diri di Gedung World Trade Center Gedung Kembar di Amerika Serikat 11 September 2001 begitu cepat difotokopi untuk Indonesia. Dalam kasus Bom Bali I, setelah bertahun-tahun menjadi kajian dan analisis dari berbagai sisi, ilmiah, setengah dan populer dengan mengangkat sisi ilmiah dan kemanusiaan, relatif sudah tuntas dilakukan. Penyelesaian dalam arti pengungkapan kasus dan tiga pelaku utamanya, diselingi secuil wacana tentang auctor intellectualis iro (aktor intelektual)-nya, sudah pula diselesaikan. Amrozi bersama adiknya, Ali Imron dan kakaknya Ali Ghufron sudah tertangkat, divonis hukuman mati dan sudah dieksekusi.
Buku ini disebut-sebut sebagai sastra investigasi, karya fiksi yang ditulis berdasarkan fakta pengungkapan kasus, fokus pada proses investigasi. Dikisahkan bak laporan junalistik yang enak dibaca, tidak menuntut kening berkerut-kerut—kecuali terkaget-kaget betapa tenangnya Amrozi—yang membeli bahan peledak dari Surabaya dan membawanya ke Denpasar dan pengeboman (ditempatkan, bukan dijatuhkan) di Café Padi, Legian, adalah eksekusi suci atas dasar keyakinannya.
Pernah dilatih di Afghanistan, Amrozi merasa apa yang dilakukan adalah pekerjaan suci, menjalani perintah Allah. Tetapi, bukan masalah keyakinan itu yang dikisahkan novel ini, bukan tentang penderitaan korban, bukan juga proses pengadilan sebab ketiganya bukan tugas utama polisi. Polisi sudah sukses melakukan pekerjaannya, yakni menangkap dan kemudian menyerahkan ketiga pelakunya dalam pengadilan. Polisi sukses sebab bisa menyelesaikan tugasnya dalam waktu satu bulan (akhir Oktober), sementara Presiden Megawati waktu itu menargetkan paling lama November 2002.
Memanfaatkan kelebihan atau kemampuan yang dimiliki bangsa ini kadang melebihi hasil yang diperoleh lewat teknologi canggih. Dalam kasus-kasus besar, polisi sering melakukannya dengan bantuan orang-orang yang memiliki daya linuwih atau wong linuwih. Berkat intuisi mereka, sesuatu bisa terlihat dari yang terlihat secara kasat mata.
Masuk akal dalam kasus Bom Bali 1, polisi sejak awal penyidikan melibatkan wong linuwih bekerja dengan polisi dan dilibatkan dalam proses penyidikan. Bambang Shakuntala, pelukis jalanan dengan spesialis wajah yang setiap malam menerima order di Jalan Malioboro, dipanggil terlibat setelah lima hari proses penyidikan. Sebelumnya ada beberapa wong linuwih dari sejumlah daerah yang diikutsertakan, tetapi sudah diminta pulang. Tinggal satu dari Kalimantan Barat, yang sewaktu-waktu bisa dipanggil. Dan, Bambang Shakuntala yang dipanggil terakhir.
Bambang Shakuntala bisa mengangkat sebuah kasus besar dalam sebuah cerita detektif dan tidak sekadar laporan fakta jurnalistik.
Bambang satu-satunya investigator yang nonpolisi, diperkenalkan sebagai dukun dari Yogya. Padahal, dia seorang pelukis spesialis wajah, bukan dukun. Mengapa pelukis wajah? Sebagai pelukis (mengaku otodidak), kemampuan Bambang dalam hal pengamatan psikologi lewat wajah berhasil melukis lebih mendekati wajah terduga, bahkan bisa lebih pas dibanding dengan alat-alat canggih polisi dari luar (hlm 59-62). Dengan bentuk wajah seseorang bisa dilihat secara intuitif benar-tidaknya apa yang disampaikan, menjadi pelengkap lie detector yang biasa digunakan polisi atau hakim dalam ruang pengadilan.
Bambang Shakuntala diminta membuat sketsa wajah dari orang-orang yang dicurigai berdasarkan cerita dari sejumlah saksi yang pernah ngobrol atau bertemu muka dengan terduga. Sketsa wajah Amrozi menjadi pintu masuk menangkap Imam Samudra dan lain-lain. Ia pun akrab dengan Amrozi yang menyangkanya sebagai dukun, apalagi Bambang berambut gondrong dan jarinya tidak lepas dari batang rokok. Berkat sketsa wajah itu yang disebar ke publik, Amrozi dan kawan-kawan bisa diburu dan ditangkap. Pelaku Bom Bali I terungkap, tetapi motivasi dan lain-lainnya tugas pengadilan. Pekerjaan Bambang selesai, sebab pencarian dan penangkapan adalah tugas polisi. Rencana ke Bali, serba yang pertama ke Bali dan pertama kali naik pesawat, rencananya hanya dua hari akhirnya 11 hari di Bali (hlm 152).
Terhanyut dalam kisah yang diceritakan dengan runtut-lugas tidak terasa ini adalah sebuah novel yang ditulis berdasarkan kisah nyata. Tidak terasa sebuah fiksi, sebab kisahnya diceritakan bak laporan jurnalistik. Penulisnya, Bambang Shakuntala, mengaku inilah novelnya yang pertama, memang baik melukis wajah maupun menulis dilakukannya secara otodidak. Dengan ketajaman intuitifnya, dia segera membuat perhitungan tentang kepribadian seseorang.
Novel ini hanya mengisahkan proses pengungkapan secara kronologis, tanpa menyentuh materi kasus, sehingga dirasa kurang kuat sebagai sebuah novel. Dia melengkapinya dengan cerita-cerita seperti angin bertiup besar (angin pusar bertiup kemana-mana) di depan rumahnya, acara melukat dalam tradisi Hindu yang lulus dijalani sehingga disebut official, pertemuan dengan Helena yang akan ke Bali adik mantan suaminya orang Bali, pertemuan dengan Jean-Pierre antropolog Perancis yang pernah dia pandu penelitian di Kangean Madura. Helena memang memberi kabar selamat, tetapi Pierre baru beberapa hari sesudahnya menelepon dari Lombok.
Pertemuan-pertemuan ibarat kebetulan itu mewarnai kesibukan Bambang, sebab Helena bergangkat ke Bali beberapa hari sebelum Bom Bali, sedangkan Pierre berangkat nasik bus tanggal 11 Oktober sore. Peristiwa-peristiwa yang menjadikan novel diwarnai kejutan-kejutan (suspensi), dikisahkan dengan kejadian-kejadian serba angka 105, padahal dia mengaku bukan penghayat kebatinan.
Bagian XXI (”Menguji Kebenaran”, hlm 260-268), Bagian XXII (”Belajar Memaknai”, hlm 269-278), dan Epilog (hlm 279-285) menunjukkan penulisnya yang mengaku otodidak bisa melakukan refleksi tentang kehidupan. Tidak hanya berdasar intuisi ketajaman, tetapi juga dalam hal kedalaman, sumber-sumber acuan luar, yang dia bisa ceritakan secara logis dan mudah dimengerti. Bambang Shakuntala bisa mengangkat sebuah kasus besar dalam sebuah cerita detektif dan tidak sekadar laporan fakta jurnalistik.