Setahun Sunyi Gamelan
Dari dalam kamar, Sekar tak percaya ketika mendengar suara gamelan ditabuh di pendapa.
Kompas/Cahyo Heryunanto
Benarkah Ayah dan teman-temannya memainkan gamelan? Setahun sepeninggal Ibu, Ayah memilih hidup dalam sunyi. Gamelan dikerudung kain merah, berlapis debu. “Biar aku merenungi semua kebaikan ibumu,” kata Ayah.
“Sejak nikah, aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri.” Kini gamelan itu kembali ditabuh. Sekar berhenti memetik celo, memasuki pendapa, menemui pandangan yang hilang selama setahun: teman-teman Ayah menabuh gamelan, mengepulkan asap rokok, dan mencecap harum kopi.
Dalam gelap malam, kabut tipis, harum kenanga tanaman Ibu di pelataran, suara gamelan itu menyusupi desa lereng Gunung Merapi. Wajah-wajah memendam senyum para penabuh gamelan itu, baru diketahui Sekar kini, alangkah memancarkan ketenteraman. Untuk pertama kalinya dalam hidup Sekar, ia terlibat kegairahan menabuh gamelan: bonang penerus. Begitu cepat ia bisa mengikuti irama gamelan. Ia turut meneguk kopi, memakan pisang rebus dan kacang. Yang tak dilakukannya hanyalah merokok. Tetapi ia sangat menikmati aroma rokok: kebiasaan yang tak pernah diketahui kapan mulai tumbuh dalam hatinya. Ia dulu benci mendengar suara gamelan, tak suka meneguk kopi dan menghirup asap rokok.
Dalam hati Sekar mulai menimbang-nimbang: benarkah perubahan perilakuku belakangan ini terjadi setelah mimpi itu? Tiga kali gadis ini memimpikan almarhumah eyang buyut putri yang mendesaknya, “Boleh aku turut denganmu? Hanya ibumu dan kau yang kuat kuikuti.”
Sekar terpikat dengan irama gamelan itu, dan seperti baru saja menemukan suatu keindahan yang menyingkap rahasia hati. Ia makin hanyut dalam irama gamelan, hingga tengah malam, ketika aroma bunga kenanga di pelataran kian pekat terhirup sampai ke pendapa.
Masih duduk di antara gamelan, Sekar seperti menemukan pencarian hasratnya bermain musik selama ini. Para penabuh gamelan sudah meninggalkan pendapa. Tinggal Ki Broto, lelaki berumur 55 yang mengenakan blangkon, duduk menemani Sekar. Ki Broto berjenggot, sudah memutih seluruhnya, selalu bicara dengan tersenyum, “Kau sekarang diikuti eyang buyutmu.”
“Bagaimana Ki Broto tahu?”
“Ia serupa bayangan yang bisa memisahkan diri darimu.”
“Ki Broto melihatnya?”
“Kadang tampak begitu jelas, ia menjelma dalam tubuhmu.”
Sekar tak mau mempedulikan Ki Broto, yang dianggap meledeknya.
“Kau akan jadi pribadi yang penuh daya pikat,” kata Ki Broto.
Sekar merasa diolok-olok. Tubuh dan jiwanya bisa diamati seseorang dan dipergunjingkan. Tetapi Sekar tak peduli. Ia tersenyum-senyum memandangi jenggot Ki Broto yang memutih. Hanya lelaki berjenggot putih itu di antara penabuh gamelan yang memperhatikan Sekar dan mau mengajaknya berbincang-bincang. Yang lain pelan-pelan berpamitan pada Ayah, meninggalkan pendapa begitu selesai menabuh gamelan.
***
Di dalam kamarnya, asyik memetik celo, Sekar merasakan dingin angin pagi, dan masih menyanyikan lagu-lagu keroncong. Ia senantiasa merenungkan perilaku Ayah, dan diam-diam menandai kegairahannya yang bangkit sejak kematian Ibu setahun silam. Tiap saat Sekar memikirkan kepergian Ibu yang tak terduga. Ibu tak pernah sakit, tak pernah mengeluh, tak pernah periksa dokter dan minum obat. Ibu berbaring usai salat subuh, lunglai, pucat, dan tanpa daya, meninggal seperti orang tidur, damai sekali. Sekar memandanginya dengan takjub.
Kesadarannya terhisap, dan ia baru menyadari makna ketulusan Ibu sepanjang hari pernikahannya – memilih tak bekerja di kantor mana pun, mengasuh anak-anak – dan Ayah, seorang guru besar yang senantiasa bepergian hampir setiap hari.
Tak ada Ayah hari itu. Ayah diundang menguji sidang terbuka promosi doktor dan keesokan harinya mengisi ceramah di sebuah kampus ibu kota. Sekar belum bisa beranjak dari kamar Ibu. Ia masih memandangi tubuh yang dingin itu, tubuh yang tak bergerak, tubuh yang terlelap: bening, tulus, penuh terimakasih pada kehidupan yang ditinggalkannya. Yu Jah, pembantu setengah baya, gugup memasuki kamar, memekik. Dialah yang berlarian ke rumah-rumah tetangga. Sekar masih memandangi Ibu, tenang serupa danau biru.
Perempuan-perempuan tetangga berdatangan, bersimpuh di depan tubuh Ibu yang terbaring. Terisak-isak tangis. Sekar tak mengerti, kenapa perempuan-perempuan tetangga bersimpuh, terisak-isak tertahan, dan tertunduk. Sekar yang tak memahami kehidupan keseharian Ibu, tak mengerti perilaku perempuan-perempuan tetangga setengah baya itu.
“Mohon maaf, Ibu, saya belum bisa melunasi utang-utang selama ini.”
“Saya juga masih memiliki utang. Belum bisa saya lunasi.”
“Bertahun-tahun saya selalu ngutang, tak pernah ditagih. Bagaimana saya mesti melunasinya?”
Perempuan-perempuan tetangga itu masih bersimpuh, menundukkan kepala, tak berani memandangi wajah Ibu yang sebening danau, seperti takut melihat pantulan raut muka sendiri. Mereka sangat menghormati Ibu, dan sangat mengasihi Ibu. Tangan-tangan yang keriput itu memandikan Ibu, membalutnya dengan kain kafan, membujurkannya di atas meja ruang tengah. Mereka tahlil.
Menjelang ashar, Ayah bergegas turun dari taksi yang membawanya dari bandara, dengan tubuh bergetar, gugup, menguasai diri agar tetap tenang. Sekali ini dalam hidupnya, Sekar melihat Ayah – seorang guru besar yang menjaga kewibawaan di depan para mahasiswa – tampak lapuk, dan mudah dirubuhkan.
Ayah duduk di kursi kayu kegemarannya, dekat seperangkat gamelan, dan para pelayat menyalaminya: menyampaikan bela sungkawa. Tamu-tamu terus berdatangan, memenuhi pelataran, memenuhi jalan kampung di lereng Gunung Merapi. Jajaran karangan bunga dari pintu gerbang rumah memanjang hingga jalan raya. Lepas ashar, Sekar mengikuti iringan jenazah dengan wangi dupa dibakar dan taburan bunga. Di belakangnya berderet memanjang para pelayat yang mengantarkan pemakaman Ibu.
Malam itu, ketika orang-orang sudah pulang tahlil, kerabat yang menginap mencari tempat untuk membaringkan tubuh di kamar, lantai, dan kursi panjang. Sekar melihat Ayah terdiam. Duduk seorang diri. Merokok dan minum kopi. Tak beranjak hingga subuh dini hari.
***
Kini Sekar yang tak dapat memejamkan mata. Ia masih bersila di pendapa, di antara seperangkat gamelan, memetik celo, menyanyi lagu keroncong. Sekar merasa heran dengan dirinya sendiri. Ia menjadi anggota musik keroncong di padepokan Ki Broto. Pertemuannya dengan Ki Broto, sahabat akrab Ayah, menenteramkan jiwanya.
Ia memainkan celo di pendapa, di antara seperangkat gamelan, dan tak beranjak ke mana pun, kecuali ke kamar mandi. Yu Jah yang mengantarkan teh hangat, jadah dan tempe bacem kesukaannya. Siang hari ia makan nasi pecel dan shalat di pendapa. Tertidur. Ia terbangun menjelang ashar. Mandi. Melihat Ayah mau bepergian setelah senja.
“Ayah mau ke mana?”
“Menabuh gamelan di padepokan Ki Broto.”
“Ikut!”
“Ayolah!” Ayah menyerahkan kunci mobil pada Sekar.
Gadis itu mengendarai mobilnya dengan santai, menyusuri jalan ke arah Kaliurang, berbelok ke jalan kampung, melintasi ladang sayur dan rimbunan bambu di tepi sungai kecil. Patung Ki Broto dengan mulut menganga lebar tertawa jenaka menyambut Sekar memasuki pelataran. Di sinilah Padepokan Ki Broto didirikan. Ki Broto, istri, dan tiga anaknya – semua lelaki – menempati sebuah rumah kayu yang besar. Di depan rumah utama itu terdapat joglo terbuka, tempat para penabuh gamelan bersila. Sebelah kanan joglo ruang gamelan terdapat ruang pergelaran musik. Sebelah kiri joglo berdiri ruang latihan tari atau teater. Pergelaran kuda lumping biasa dilakukan di tanah lapang.
Ki Broto terlihat bahagia menerima kehadiran tamu-tamunya. “Sekar datang juga untuk menabuh gamelan?” selorohnya. “Biasanya kau menyanyi keroncong.”
Hampir semua lelaki yang datang ke padepokan seumur Ayah, berpembawaan tenang, perokok, pecinta kopi, dan tidak suka ngobrol. Sepertinya mereka orang-orang yang berbicara dengan hati: cuma dengan memandang mata lawan bicara, mereka bisa memahami perasaan masing-masing.
Sekitar joglo tempat Sekar menabuh gamelan, terasa terselubung udara berkabut gaib, yang melindungi orang-orang dari malapetaka – seperti ketika Gunung Merapi meletus, awan dan abu panas tak pernah menyentuh padepokan. Ki Broto seperti telah menebar mantra yang menyelubungi tiap jengkal tanah sanggar ini, agar tak tersentuh malapetaka.
***
Sekar membaca gelagat yang tak wajar pada perilaku Ayah, ketika bertemu dengan seorang perempuan setengah baya yang diperkenalkan padanya. Mereka berbincang, dan sesekali perempuan setengah baya itu tersipu-sipu. Sekar menandai, mereka – Ayah dan perempuan setengah baya itu – baru pertama kali bertemu. Atau, mungkin, mereka sengaja dipertemukan Ki Broto? Sekar tak ingin menjadi penghalang bagi pertemuan Ayah dengan perempuan setengah baya itu. Inikah yang terjadi setelah setahun kesunyian Ayah, sepeninggal Ibu?
Berkali-kali Sekar mencuri pandang perempuan setengah baya, yang diperkenalkan padanya, bernama Tante Arum. Ia menimbang-nimbang kepribadian Tante Arum, bila dibandingkan dengan Ibu. Dalam hati, Sekar memastikan: Ibu lebih tangguh, lebih kuat menahan guncangan jiwa.
Tante Arum – sekretaris perusahaan yang ditinggal mati suami – berpamitan, meninggalkan padepokan. Semua orang yang hadir di joglo melanjutkan menabuh gamelan. Sekar memainkan gamelan kesukaannya: bonang penerus. Tante Arum, perempuan yang berpembawaan tenang, seperti menjaga penampilannya. Ia mengendarai mobil sendiri, menyetir dengan hati-hati, seperti enggan kehilangan harga dirinya.
Hampir tengah malam, tak terdengar lagi irama gamelan dalam kabut tipis yang menyekap rumpun bambu di sekitar padepokan. Ayah dan Sekar berpamitan pada Ki Broto, meninggalkan rumah joglo yang dinaungi rumpun-rumpun bambu dan kabut gunung yang menghalangi terang lampu mobil. Sekar mulai cemas, ketika Ayah membebaskan diri dari kesunyiannya, dan kembali menabuh gamelan, bersamaan dengan hadirnya seorang perempuan yang menggantikan posisi Ibu.
“Apa Tante Arum akan menggantikan posisi Ibu?” tanya Sekar, ingin memperoleh kepastian.
Ayah tersenyum-senyum. Berdiam diri. Memberi kesempatan pada gadis sulung itu untuk berpikir. Mobil menuruni jalan berkelok, dan Ayah seperti telah merenungkan pertempuran batin Sekar. “Kaupikir semudah itu aku melupakan seluruh pengabdian ibumu?”
_____________________________
S Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”. Sejak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa. Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.