Lukisan
Seakan ada yang tercerabut dari dirinya, Wayan Ananda merasa gamang.
Tertegun ia di sisi tubuh laki-laki yang terbujur kaku di atas balai-balai ruangan itu. Sebuah bilik persegi panjang yang dindingnya disesaki pajangan lukisan beragam ukuran. Pada sebagian tepi plafon tampak noda kecoklatan bekas rembesan air hujan. Sementara lantainya yang terbuat dari tegel tampak mengilat, agaknya sering dipel. Jendela-jendelanya yang memakai kaca nako juga kelihatan bersih, tak ada lapisan debu melekat di sana.
Di matanya yang basah, wajah tirus berkumis tipis itu tampak seperti mengulum senyum samar, memberi kesan damai. Japamala yang ada di tangan kanan laki-laki itu membenamkan ketakjuban ke hatinya. Ia tidak pernah tahu sebelumnya kalau Made Warsa punya kebiasaan berjapa, mengulang-ulang nama Tuhan sambil menghitung untaian biji genitri yang bergerigi itu.
Kini serta-merta terbayang di kepalanya banyak hal tentang mantan gurunya itu. Mulai dari keseriusan penampilannya, yang oleh banyak orang dibilang mahal senyum, sampai pada kebiasaan-kebiasaannya yang ganjil. Seperti memakai destar batik saat ke pura pada saat mana orang-orang mengenakan ikat kepala putih. Dan ketika yang lainnya berbalut pakaian bernuansa gelap dalam acara duka, ia begitu percaya diri mengenakan baju putih. Ada yang menganggap sikap itu sebagai isyarat pemberontakan terhadap kemapanan, tetapi kebanyakan orang tidak peduli.
Hal yang membuat Wayan Ananda kagum adalah sikapnya yang teguh dan hampir tidak pernah mengeluh. Apa pun yang ia alami dalam hidupnya selalu ia syukuri. Baginya hidup adalah anugerah. Ia tidak pernah lupa mengucapkan terima kasih kepada yang telah menyebabkan ia ada di muka Bumi ini. Itu sudah menjadi semacam mantra wajib baginya begitu ia membuka mata di pagi hari.
Sudah bertahun-tahun ia menjalani kegiatan sebagai guru magang pada sebuah sekolah menengah di kota kecilnya. Teman-temannya seangkatan sudah pada berstatus aparatur sipil negara dan bahkan akan pensiun beberapa tahun ke depan, sementara ia sendiri seakan tidak tersentuh oleh kebijakan yang ada.
Dulu, tak sedikit yang menasihati agar ia mau kompromi, menempuh cara seperti yang dilakukan kebanyakan temannya, tetapi ia kukuh dengan pendiriannya. Kiranya bukan saja karena hal itu bertentangan dengan hati kecilnya, tetapi juga tampaknya mustahil dilakukan. Uangnya dari mana?
Penghasilan dari sebidang kebun kelapa seluas sepuluh are di belakang rumahnya dan sesekali menjual lukisan ditambah honor mengajar yang tidak seberapa hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Dengan hidup sendiri, sesunguhnya ia sudah berdamai dengan hidupnya, bahkan berkorban. Mengorbankan hasrat biologis yang, bagi kebanyakan orang, pasti sulit ditaklukkan.
Wayan Ananda begitu kehilangan. Baginya, Made Warsa bukan saja gurunya, tetapi juga sudah ia anggap sebagai ayah. Kehilangan ayah kandung semasih bayi membuatnya selalu merindukan sosok ayah dalam perjalanan hidupnya, dan kerinduan itu mencair ketika ia bertemu laki-laki yang tidak banyak bicara itu. Di bawah bimbingan laki-laki itu pula bakatnya dalam melukis terasah.
Sulit baginya memercayai kenyataan yang ada. Memandang lukisan gunung erupsi di dinding sebelah timur ruangan itu, ia teringat pertemuannya beberapa hari yang lalu, waktu Made Warsa sedang melukis sambil mendengarkan musik. Bukan lewat gawai seperti yang banyak dilakukan murid-muridnya, melainkan dari radio tua yang sudah beberapa kali dikirim ke tukang servis. Karena sedang memusatkan perhatian pada pekerjaan, ia tidak tahu kalau ada orang masuk ke tempat kerjanya, sebuah bangunan sederhana berdinding anyaman kulit bambu yang di sana-sini tampak sudah lapuk.
”Om Swastyastu,” ucap Wayan Ananda yang datang bersama seorang wanita muda.
”Om Swastyastu. Oh, Wayan?” Made Warsa menoleh dalam kaget. ”Ini siapa?”
”Nia, Pak. Seorang kurator.”
Made Warsa menyalami wanita muda berwajah bulat telur itu. ”Anda yang menangani pameran Ananda tempo hari?” tanyanya setengah menebak.
”Betul, Pak,” Nia mengangguk hormat.
”Kamu produktif sekali, Yan,” Made Warsa berpaling pada Wayan Ananda.
”Dalam waktu relatif singkat, kamu sudah menghasilkan karya yang banyak.”
”Berkat bimbingan Bapak,” tanggap Wayan Ananda merendah. ”Maaf, biasanya Bapak suka melukis hal-hal yang bikin hati tenteram.”
”Menurutmu ini ...?”
”Bagus, cuma sedikit beda dari yang biasa Bapak buat.”
”Bukan kemauan saya, Yan.”
”Ada yang pesan?”
Made Warsa menggeleng. Setelah mempersilakan Ananda dan Nia duduk di seperangkat kursi rotan tua yang dimilikinya, ia mulai menceritakan mimpi yang dialaminya beberapa hari lalu.
”Saya jarang mimpi, Yan,” ujarnya. ”Kalaupun mimpi, biasanya tak jelas. Tapi yang satu ini lain. Karena itu saya percaya, ini pasti sebuah pertanda.”
”Mimpi melihat gunung meletus?”
”Ya, dan ada laki-laki tua menuding-nudingkan tangan ke arah gunung yang sedang memuntahkan lahar. Saya tidak mengerti apa maksudnya. Ia sama sekali tidak bicara.”
”O, begitu?” tanggap Ananda mulai tertarik. ”Saya ambil ya, Pak.”
”Maaf, ini tidak akan saya lepas.”
Ada beberapa lukisan Made Warsa yang telah dikoleksi Wayan Ananda dan dipajang di galerinya. Bahkan ada yang sudah berpindah tangan dan menjadi milik kolektor lain. Kendati ia sendiri pelukis, ia tidak pernah berhenti mengagumi karya-karya mantan gurunya. Walau ia tahu laki-laki itu tak mudah dibujuk, ia tetap berharap bisa memajang lukisan gunung erupsi itu di galerinya, paling tidak diizinkan meminjam. Gunung itu membuatnya terkenang masa kecilnya, saat-saat ia melintas di pinggir lapangan sepak bola ketika pergi sekolah. Di matanya, gunung yang tegak jauh di dasar lengkung langit bagian timur itu tampak begitu indah dan perkasa di bawah siraman matahari muda di pagi hari.
Alangkah senang hatinya ketika Made Warsa mengizinkannya meminjam lukisan gunung yang sedang menumpahkan lahar panas itu. Ia lalu memajangnya di galeri yang berdampingan dengan destinasi wisata kuliner yang juga milikya. Di lokasi yang sama, ada pula aula sederhana berpanggung yang biasa dipakai menyelenggarakan acara bedah buku, musikalisasi puisi, dan pentas kesenian lainnya.
Wayan Ananda dikenal sebagai wirausaha muda yang sejak masa sekolah gemar pada sastra dan lukisan. Ia cukup rajin menulis puisi. Selain sering dimuat di media cetak, puisi-puisi karyanya sering dipakai untuk mengisi acara baca puisi di sebuah radio amatir di kotanya. Sejauh ini belum terpikir olehnya untuk membuat buku kumpulan puisi. Menulis puisi baginya lebih merupakan upaya mengendapkan gagasan sebelum dituangkan lewat warna di atas kanvas. Begitulah, ia selalu mengawali kegiatan melukis dengan menulis puisi, baik di ponsel maupun laptopnya. Yang membuat Made Warsa mengacungkan jempol, ia yang memiliki hasrat besar meraih impian hidup di masa muda akhirnya berhasil menjadi seorang pelaku bisnis tanpa meninggalkan kegemarannya. Pusat bisnisnya tidak pernah sepi. Mitra bisnisnya pun tak hanya orang lokal, tetapi juga datang dari luar kota dan bahkan luar negeri.
Pagi itu, Made Warsa memacu sepeda motor bututnya, Kymco Easy 100 berwarna merah, di jalan raya yang masih sepi menuju galeri Wayan Ananda. Meski motor itu kadang susah dihidupkan, ia tetap menganggapnya sebagai aset yang begitu berharga, yang dulu ia beli dari Wayan Ananda dengan harga yang tidak masuk akal murahnya.
Para karyawan dan karyawati di galeri itu baru saja menempati posnya masing-masing begitu Made Warsa tiba. Dengan langkah tergesa, ia menghampiri meja di bagian depan dan minta bertemu dengan Wayan Ananda.
”Maaf, beliau sedang keluar kota. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” ucap wanita berkacamata putih yang ada di belakang konter pelayanan pelanggan. Ia berdiri memamerkan senyum sesuai dengan prosedur operasional perusahaan.
”Oh, pantas telepon saya tak dijawab.”
”Mungkin sedang di pesawat, Pak.”
”Saya minta lukisan saya dikembalikan.”
”Lukisan yang mana ya, Pak?”
”Gunung Erupsi.”
”Oh, jadi bapak ini Pak Made Warsa?”
”Ya.”
”Begini saja. Bapak silakan pulang dulu. Nanti kalau beliau sudah bisa dihubungi, kami akan sampaikan permintaan Bapak.”
”Baik, terima kasih.”
Tidak perlu waktu lama untuk menerima kembali lukisan yang dipinjam Wayan Ananda. Siang itu, Made Warsa memasang lukisan itu di dinding sebelah timur ruangan tempatnya biasa berjapa, mengulang-ulang nama Tuhan dengan japamala di tangan. Hari berikutnya ketika Wayan Ananda datang untuk memastikan bahwa lukisan itu sudah dikembalikan, ia melihat Made Warsa sedang berdiri di ambang pintu dengan mimik menampakkan ketegangan.
”Sepertinya ada yang mengganggu pikiran Bapak,” ujar Wayan Ananda.
”Ya, mimpi saya sepertinya akan jadi kenyataan. Gunung Agung mulai mengepulkan asap. Saya rasa akan terjadi sesuatu.”
”Bencana seperti tahun enam puluh tiga?”
Made Warsa menggelengkan kepala, ”Saya tidak tahu.”
”Semoga tidak,” harap Wayan Ananda.
Selang beberapa hari kemudian, Luh Sriti mengabarkan bahwa adiknya tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kakak perempuan Made Warsa yang sudah menikah itu tinggal tidak jauh dari rumahnya. Wayan Ananda, yang mendapati Made Warsa tergolek dalam keadaan lemah sore itu, buru-buru menelepon Ketut Brata, seorang dokter umum.
”Yan, ambil saja lukisan itu,” kata Made Warsa tiba-tiba.
”Lho, kenapa?”
”Untuk bayar dokter yang kamu panggil.”
”Jangan bicara begitu, Pak. Biarkan itu jadi urusan saya, kebetulan ia teman baik saya.”
Made Warsa menggeleng. ”Saya tidak mau...”
Wayan Ananda terperangah, tidak menyangka kalau mantan gurunya akan bersikap seperti itu.
”Kalau kamu tak ambil lukisan itu, jangan panggil dokter.”
”Kalau begitu, kita ke rumah sakit saja.”
Made Warsa kembali mengelengkan kepala.
Menjelang petang, Wayan Ananda meninggalkan rumah Made Warsa dengan perasaan sedih. Sedih karena ketulusan hatinya tidak mendapat tempat di hati orang yang sudah dianggapnya sebagai ayah. ”Tak bolehkah aku melakukan sesuatu kepada orang yang begitu berarti bagi hidupku?” keluhnya pahit.
Setelah mengantarkan Wayan Ananda sampai pintu halaman, Luh Sriti kembali menghampiri adik laki-lakinya dan menegur, ”Kamu telah membuatnya kecewa.”
”Kenapa?”
”Seharusnya kamu tidak bicara begitu kepada orang sebaik Wayan.”
”Ia memang baik. Terlalu baik, bahkan. Sudah begitu banyak kebaikan yang saya terima darinya, tapi apa yang pernah saya berikan padanya?”
”Tentu saja ia tidak mengharapkan pemberian. Hargai sedikit ketulusannya kenapa sih?”
”Sudahlah, Luh. Ini urusan saya.”
”Saya tak setuju dengan caramu.”
Pembicaraan serius antara kakak dan adik itu tidak berhenti sampai di situ, malah berkembang jadi perdebatan. Namun, Luh Sriti akhirnya mengalah. Ia sadar, berdebat dengan orang yang sedang terganggu kesehatannya bukanlah hal yang baik. Maka, yang kemudian ia lakukan adalah menahan diri.
Luh Sriti tidak menyangka kalau itu merupakan percakapan terakhir dengan adiknya. Dengan perasaan berantakan, pada hari berikutnya, ketika hari masih pagi, ia mengabarkan kepada Wayan Ananda bahwa adik laki-lakinya sudah tiada. Wayan Ananda pun buru-buru datang dan tidak dapat menahan tangisnya seakan ia telah kehilangan sebagian dari dirinya.
Ia masih berdiri di ruangan itu, dicekam perasaan sunyi. Setelah sempat merapal doa dan menutup tubuh yang sudah dingin itu dengan selembar kain endek, ia mendekati Luh Sriti dan dengan suara pelan bilang bahwa ia akan menanggung semua biaya kremasi mantan gurunya.
”Tapi, ada pesan penting yang ia sampaikan kepada saya,” tanggap Luh Sriti sambil mengusap pipinya yang basah.
”Pesan apa?”
”Ia bilang: ’Jangan biarkan Ananda melakukan apa pun jika ia tidak mau mengambil lukisan Gunung Erupsi.’”
Wayan Ananda diam. Ia memang pernah menginginkan lukisan itu, tetapi tidak dengan cara seperti yang diinginkan Made Warsa. Ia tahu apa arti lukisan itu bagi pelukisnya. Namun, demi menghormati permintaan terakhir orang yang begitu berarti bagi hidupnya, akhirnya ia berjanji akan mengambil lukisan itu, sementara jauh di dalam hatinya bergaung pertanyaan, ”Apa sih sebenarnya yang dipertahankan guruku?”
Catatan:
Japamala = semacam tasbih.
______________
Ketut Sugiartha lahir di Tabanan, Bali, 9 November 1956. Ia sudah menerbitkan sejumlah buku fiksi, antara lain Lembayung Kuta (2018) dan Luh (2019). Setelah pensiun dari pekerjaannya di sebuah badan usaha milik negara (BUMN) di Jakarta, ia kini menetap di Bali. Ia menerima penghargaan Sastra Gerip Maurip 2017 dari Pustaka Ekspresi untuk naskah buku Surat uli Amsterdam, kumpulan cerpen berbahasa Bali.