Koneng, Seorang Gadis, Seekor Anjing
Sepasang mata Koneng semerah semburan air ludahnya yang disemburkan ke sudut dinding pangkeng.
Pyur!
Pyur!
Piyuuur!
Sepasang mata Koneng semerah semburan air ludahnya yang disemburkan ke sudut dinding pangkeng. ”Kalian akan mengganti warna air laut menjadi merah!” Melihat kemarahan dan jeling mata Koneng, wajah kalebun Musnat terlihat pucat. Ia seperti dicengkeram oleh kekuatan suara Koneng.
Lekas kalebun Masnat beranjak pergi tanpa pamit. Ia pulang dengan membawa suara amarah gemuruh di dadanya. Permintaannya kepada Koneng, agar mau membantu mengusir makhluk halus yang sudah menyebabkan dua penggali tambak mati. Koneng menolak permintaannya dengan alasan lokasi yang dijadikan tambak adalah kuburan keramat. ”Saya tidak akan diam.”
Koneng segera masuk ke kamar dan naik ke atas ranjang kurung yang hanya diterangi lampu sumbu. Ranjang kurung tempat biasa Koneng meramu berbagai bahan obat tradisional dan melakukan ritual khusus bila ada pasien datang dengan keluhan penyakit-penyakit aneh, yang tak bisa dideteksi oleh dokter.
Aku suka berlama-lama berada di kamar Koneng meramu berbagai daun, kembang, dan bahan lainnya sebelum dijadikan obat. Aku suka dengan aroma yang ditimbulkan dari daun salam, kunyit, jahe, kapulaga, kembang melati, dan daun binahong yang bisa dijadikan aneka macam obat penyakit.
Di atas ranjang kurung, Koneng menundukkan kepala dengan khidmat, kadang menegakkan kepala, berbicara menyampaikan sesuatu yang tak bisa kupahami. Hanya saja aku merasa, Koneng sedang membicarakan sesuatu dengan seseorang yang tak bisa kulihat. Aku terus memperhatikan sepasang bibirnya bergerak, komat-kamit.
Aku tidak mengerti dengan siapa Koneng berbicara, apa yang sedang dibicarakan. Aku hanya tahu setelah mulut Koneng komat-kamit, Koneng beranjak dengan langkah berat, tubuhnya sedikit goyah. Seiring dengan gerakan lunglai Koneng, dengan sendirinya tanganku ikut bergerak, seperti ada seseorang mendorongku memapahnya. Tapi ketika tanganku akan menangkap tubuhnya, mendadak serombongan orang dengan wajah mengerikan muncul dari arah pintu. Dengan cepat mereka melompat dan menarik tanganku dari tubuh Koneng.
Gerombolan orang yang masing-masing wajahnya mengerikan menyeret tubuhku ke sudut kaki ranjang kemudian mereka mengikat tanganku pada pancang tiang ranjang. Mulutku disumbat oleh aneka kembang busuk yang diambil dari nampan di atas ranjang kurung. Dua orang di sampingku berjaga-jaga, memerintahku mengunyah kembang busuk. Sementara, empat orang di antaranya memapah tubuh dan membawa Koneng ke ranjang kurung tempat Koneng biasa meramu bahan obat.
Koneng tidak berusaha melepaskan diri dari kekangan tangan empat orang yang datang tiba-tiba. Sebaliknya, Koneng tersenyum, lalu tertawa. ”Kalian tak berguna. Pyur!” Koneng menyemburkan air ludah yang sudah bercampur serpihan pinang. Empat orang itu beringsut surut, menghilang pelan-pelan.
Koneng yang sejak mula terlihat menakutkan, kini membuatku semakin tak mengerti dengan apa yang dilakukannya. Kadang ia tersenyum, sesekali memejamkan mata. Sekujur tubuhnya tampak menggigil. Lampu sumbu di atas nampan yang diletakkan di atas tumpukan bantal meliuk-liuk, cahayanya terkadang membesar kadang mengecil, kadang pula mati tiba-tiba. Dan, pada saat lampu itu mati, seketika suara Koneng membentak seseorang, entah siapa.
”Keluar. Keluar dari cucuku!” tubuhku seketika lunglai. Tapi tak lama berselang tubuhku kembali segar setelah kurasakan sebuah benda menggelinjang di salah satu rusukku. Menyusul rasa sakit itu kurasakan seperti ada kekuatan lain merasuk ke dalam sekujur tubuhku. Sesuatu bergerak. Kadang membuatku geli, kadang sebuah suara bergemuruh, seperti buncahan ombak mengempas badan perahu. Angin mengiris-iris dinding, lampu sumbu di atas ranjang kurung berayun-ayun. ”Turun dari tempatku!” Koneng memandang bengis kepada empat orang yang mengacak-acak ramuan dan segala peralatan yang sengaja diletakkan di atas ranjang kurung oleh Koneng.
”Siapa, Neng?”
”Diam. Ikuti saja apa perintah gadis di dalam kepalamu!” perintah Koneng.
Benar, seorang gadis yang membawa anjing datang menuntun tanganku. Gadis itu memintaku tak berbicara apa-apa. Bahkan ketika dari luar pintu suara gedoran membuat Koneng semakin terlihat tegang. ”Masnat?” gumam Koneng.
Masnat yang berdiri sambil berkacak pinggang membuatku semakin mengerti kenapa kedatangannya membuat Koneng tegang. ”Masnat akan membalas sakit hatinya,” seorang gadis di kepalaku berbisik pelan.
***
Tiga hari lalu, kalebun Masnat datang ke rumah. Kedatangannya bermaksud meminta Koneng berperan dan turut membantunya mengusir makhluk halus dari lahan kuburan yang akan dijadikan lahan tambak udang.
Bagiku, kedatangan kalebun Masnat agak aneh. Bukannya kalebun Masnat tinggal memerintah carek, meminta Koneng datang ke rumah? Bagaimanapun kedatangan kalebun ke rumah Koneng membuatku bangga, artinya Konengku orang penting sampai didatangi seorang kalebun.
Koneng tak pernah mengizinkanku mendengar pembicaraannya dengan tamu, siapa pun itu, apalagi seorang kalebun. Tapi pagi itu, seorang gadis membawa seekor anjing datang dan bergerak di kepalaku. Ia dengan wajah polos, tapi manis memintaku duduk di antara Koneng dan kalebun. Koneng mungkin tahu kalau aku ditemani seorang gadis kecil, juga seekor anjing.
Koneng dan kalebun Masnat bersitegang. Koneng menolak apa yang diminta kalebun. ”Tanah yang kalian jadikan lahan tambak itu tanah kuburan leluhur kita,” tegas Koneng. ”Itu kuburan orang keramat.”
Mata kalebun Masnat merah, menahan amarah. ”Seorang kuli sakit dengan tidak wajar,” cerita Masnat.
Koneng berusaha memahami cerita kalebun Masnat. ”Ada anjing menyerang seorang penggali tanah yang akan dibuat tambak. Padahal kita tahu, di desa kita tidak seorang pun memelihara anjing.” Anjing yang dibawa gadis di kepalaku itu menyalak hendak menerkam tubuh kalebun Masnat, tapi gadis itu segera mengelus lehernya sehingga anjing itu diam, menurut.
”Maksudmu anjing jadi-jadian?” Aku terkesiap mendengar pertanyaan Koneng. Aku tahu, di desa kami tak seorang pun memiliki anjing. Tapi pada hari Minggu, aku pernah melihat seorang gadis berjalan-jalan di tepi pantai sambil membawa anjing. Anehnya, anjing dan seorang gadis itu kini berada di kepalaku.
”Kata temanku, gadis itu anak seorang pembesar yang datang dari kota.”
”Diam!” bisik Koneng. Kemudian ia berpaling kepada kalebun Masnat yang tampak kebingungan ketika melihat Koneng berbicara denganku.
”Tidak mungkin. Tidak mungkin yang menyerang tukang gali tanah itu bukan anjing bosku!” kilah kalebun Masnat.
”Lokasi yang kalian jadikan lahan tambak itu adalah tanah kuburan, tanah keramat.” Koneng menatap lekat mata kalebun Masnat.
”Saya kemari tak ingin minta nasihat. Saya minta bantuan Koneng mengusir makhluk halus yang ada di lahan tambak itu,” timpal kalebun Masnat sembari meletakkan amplop coklat.
”Pulanglah!” tegas Koneng sambil menyerahkan amplop kepada kalebun Masnat. ”Cari orang lain mengusirnya.” Kalebun berang atas penolakan Koneng. Ia merasa wibawanya sebagai kalebun tak lagi berharga. Ia kalap dan berjanji akan datang dengan cara lain.
”Ingat, yang kau tolak permintaannya adalah permintaan seorang kalebun, kepala desa!”
Koneng memandanginya dengan tatapan menantang. Senyuman mekar dari bibirnya, ”Saya sudah tua, saya tak mau berkhianat,” desah Koneng. Seorang gadis dan seekor anjingnya di kepalaku bergerak lincah, membawaku berlari ke sana-kemari sambil berteriak-teriak seakan merayakan suatu kemenangan.
Gadis itu terus menuntunku, mengajakku melihat sebuah alat besar, ”Itu namanya ekskavator,” bisik gadis di kepalaku. Tak jauh dari lokasi penggalian tanah tambak, anak-anak sepantaranku menaiki benda besar aneh, ”Itu pengeruk tanah,” bisik gadis di kepalaku.
Aku yang tertarik segera berlari ke arah benda itu, tapi gadis dan seekor anjing di kepalaku menarik tanganku, ”Di rumahku ada banyak mainan lebih bagus,” bisiknya. Ia terus menuntunku menuju sebuah rumah kecil berdiri di tengah-tengah cemara udang.
Di teras rumah kecil tapi bersih dan indah itu kulihat kalebun Masnat duduk dengan kepala menunduk. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk saat seseorang di hadapannya berbicara dengan nada tinggi sambil menunjuk-nunjuk. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi seorang gadis di kepala mengajakku duduk di antara mereka. Sesekali tanganku mencubit paha kalebun Masnat. Ia menjerit kesakitan. Aku senang sekali. Aku juga mendorong jidat kepala orang yang sedang memarahi kalebun Masnat sehingga ia tampak kelimpungan. Ketika kucubit telinga kirinya, ”Kurang ajar. Kenapa kamu membawa makhluk-makhluk itu kemari? Pulang!” usirnya.
Entah bagaimana gadis dan seekor anjingnya masuk ke dalam kepalaku dan memintaku melakukan hal-hal aneh, menumpahkan segelas teh, mengikat kaki kalebun Masnat hingga menjerit-jerit. Aku dan seorang gadis yang ditemani anjingnya di dalam kepalaku tertawa riang saat menyaksikan kalebun Masnat berteriak parau, meminta pertolongan.
Menjelang malam, aku pulang dengan diantar teman baruku, seorang gadis dan seekor anjing. Koneng menyambutku di depan pintu. Ia memintaku agar temanku diajak bermalam di rumah. Tentu saja aku senang menerima tawaran Koneng. Tapi seorang gadis dan seekor anjingnya di kepalaku sudah menghilang. ”Aku akan menjaga tanah kuburan, agar penggalian tanah untuk tambak dibatalkan,” bisiknya pelan. Mata Koneng berbinar-binar mendengar ucapan seorang gadis yang kini bersiap-siap pergi.
Seusai melepas kepergian seorang gadis dan anjingnya, Koneng menyemburkan air ludah berwarna merah, kemudian Koneng segera masuk ke kamar. Seperti biasa, Koneng tak segera tidur. Ia akan duduk berlama-lama di atas ranjang kurung yang hanya diterangi cahaya lampu sumbu.
Catatan:
Kalebun: Kepala desa
Pangkeng: Kamar
Carek: Sekretaris desa
Mahwi Air Tawar, lahir di Sumenep, Madura, 1983. Selain menulis cerpen, ia juga menulis puisi. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit di antaranya Blater, Karapan Laut, dan Pulung. Buku kumpulan cerpennya mendapat penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta, 2012.
I Made Somadita, lahir di Tabanan, Bali, 1982. Saat ini tinggal dan berkarya di Denpasar, Bali. Mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Aktif menggelar karyanya dalam sejumlah pameran tunggal ataupun pameran bersama.