Sepasang Mata dan Tato untuk Seorang Perempuan
Tahukah dirimu bagaimana rasanya sakit tertusuk jarum saat membuat tato?
Ketika jarum tipis mencacah setiap lapisan kulit dan membekukan darah, menyatu dalam warna yang membentuk gambar baru di jangat tubuh. Maka aku tidak ingin engkau bersedih terlalu lama, meskipun kehidupan ini dibangun dari helai demi helai elegi. Bergegaslah, cintaku. Akan kutempuh kesakitan demi kesakitan untukmu.
**
Sekadar membuktikan rasa cintaku padanya, maka aku membuat sebuah tato di lengan kananku. Sebab di tempat kita hidup, cinta perlu ditambah dengan pernyataan-pernyataan, dengan beberapa bukti tidak dibuktikan hanya sekadar ucapan semata. Bukan cuma manis di bibir.
Sebenarnya sebuah tato dengan gambar biasa saja. Tato yang dibuat di pinggiran jalan. Di sana, di pangkal lengan kananku, mungkin kelak akan abadi, aku tato gambar bunga melati dan di dalamnya kutuliskan namanya dengan huruf-huruf kecil yang tidak angkuh.
Sebagian orang bilang jika benar adanya melati adalah lambang sebuah cinta suci. Sebuah bunga dengan warna putih agungnya. Bunga yang kerapkali bermekaran pada saat malam tiba. Ketika mekar, dengan gerakan yang perlahan, ia akan menebarkan keindahannya. Sebagaimana juga dirimu, perempuan. Aku tahu bila engkau begitu mencintai bunga melati tersebut. Ah, betapa aku tak pernah bisa menghitung ingatan dengan lengkap tentang apa yang pernah terjadi di antara kita. Selalu, kebaikan dirimu terlintas, melintas dengan sekejap, kedatanganmu yang sekejap pulalah membuatku terkesiap akan kehidupan yang fana ini. Pada saat hari-hari terasa begitu melelahkan dan engkau memelukku. Engkau menggandeng tanganku dengan akrab.
Aku pikir barangkali memang benar dirimu adalah reinkarnasi kehidupanku di masa lalu. Bahwa dirimulah yang berpas-pasan, bertemu dengan tiba-tiba denganku. Sebagai pasangan tulang rusukku yang telah hilang sejak lahir. Sebagaimana Juliet yang bakal jadi pasangan Romeo. Kehadiranmu yang tiba-tiba membawa kerinduan akan hujan. Acap basah dan meninggalkan lembabnya.
Dan ingin kuingat lagi, jika setiap genggaman yang pernah ada akan selalu suci. Sebagaimana melati. Dalam sisa usiaku, aku ingin selalu membuktikan segala rasa yang pernah kita ciptakan. Aku ingin cinta kita abadi sebagaimana puisi. Meskipun mimpi-mimpi malamku, terus-menerus meninggalkan kisah buruk. Aku melihat dalam mimpi itu dirimu menjadi momok yang menakutkan. Berdiri di tengah senja pucat, menatap langit dengan gagap.
Tapi mimpi mungkin merupakan kebalikan dari setiap keganjilan yang ada. Justru setiap kali bertemu denganmu, ketika aku mencium bibirmu aku mendadak ceria. Betapa setiap tatapan dari mata jernihmu membawa aku masuk dan menelusup. Ke sebuah sabana hijau. Mata jernih yang menceritakan dunia lain. Di mana-mana hijau membuatku ingin rebahan lama-lama di sana. Mengabaikan waktu dan membiarkan tubuhku untuk terus tersesat.
Sepasang mata terindah, barangkali merupakan hadiah paling indah yang tak ternilai, penuh dengan gemintang kenangan. Mata yang selalu memantulkan cermin diriku dan membuatku bahagia senantiasa. Mata yang membuatku ingin menelusup lebih jauh, ke seluruh tubuhmu lalu berenang di sana. Mata yang menghentikan ketergesaanku lalu kembali menjadi seorang lelaki.
Lalu aku tunjukkan tatoku yang bergambar melati itu padamu: ”Apakah kau menyukainya?”
Namun matamu yang indah itu seketika merah dan berair. Kau menangis.
”Apa? Tato? Apakah kau tak pernah kapok? Dunia ini begitu keras. Mengapa pula kau harus tato tubuhmu? Apa kau tak pernah tahu bagaimana tanggapan orang tentang tato? Menyeramkan. Menakutkan!”
”Tapi ini merupakan tanda sayangku padamu. Aku relakan lenganku untuk ditato dan sengaja pula aku pilih gambar melati, bunga kesukaanmu!” aku coba meyakinkannya.
”Tidak! Tidak! Aku tak suka melihatmu bertato seperti itu!”
Ya, begitulah. Ia tak suka melihat tato itu. Bagian tubuh yang sengaja kupersembahkan padanya. Mendadak hari-hariku kelabu. Aku terus berjalan, memasuki lagi lorong-lorong kota, ke gang-gang sempit yang becek. Terngiang ucapannya pada suatu ketika:
”Tidakkah setiap cahaya bintang yang jatuh malam ini seperti menegurmu dengan caranya yang paling lembut? Bintang semacam arah yang memintamu untuk pulang. Sosok rumah yang selalu engkau idamkan. Sebuah pintu yang terbuka, suara percakapan, canda-canda ramah yang terdengar dari kejauhan,” lalu engkau berucap lirih, ”Biarkanlah malam dan bintang menjadi suci senantiasa, layaknya bunga-bunga melati yang baru mekar. Malam yang tak pernah membuang keheningannya dari langkah menuju rumah.”
”Namun, tato ini untukmu, kekasih!” aku menegaskan lagi penuh harapan, ”Juga melati ini,” sambungku. Perempuan dengan mata penuh binar itu mengambil setangkai melati pemberianku. Lalu menghirupnya dalam-dalam. Ada ruang yang penuh jarak. Matamu terpejam. Di saat-saat terakhir aku berjumpa dengannya, ketika dirinya mengacuhkan tato yang kubuat dengan ukiran darah.
**
Sejak dulu, aku telah menduga, jika dirimu tak akan pernah menyukai tato ini sepenuh hati. Hidupku yang penuh dengan teka-teki. Serba tak beraturan. Mulanya aku merasa jika lenganku terlalu lelah untuk dirajah dengan tato. Ketergesaanku–yang kerap kali melupakan arti dari keindahan. Keindahan yang selalu kau berikan padaku. Betapa dirimu telah lama menjadi sungai yang mengalir deras padaku. Semua ucapan-ucapanmu, sepasang matamu yang tak pernah habis kugali. Sehingga aku ingin membunuh waktu, berharap tak pernah jauh darimu. Ingin selalu hinggap dalam dekapanmu.
Bagiku, di saat-saat seperti itu waktu seakan membeku. Mengingatnya pulalah, yang membuatku rela untuk ditato bergambar melati. Dan aku membiarkan setiap debur menghambur di kedalaman palung. Dan segalanya telah menjauh. Seperti laut yang telah kehilangan ombak. Meski aku berharap setangkai melati yang telah kucuri menjadi tato itu akan masuk ke dalam hatimu. Begitu suci. Seperti cinta.
Aku ingin memasuki lagi tubuhmu. Aku ingin lenganku melingkari pinggangmu. Dan wajah kita saling berhadapan. Membiarkan embusan napas kita saling tak beraturan. Aku akan menatap matamu, membiarkan waktu hancur lebur dan diam selamanya di sana. Aku menarikmu agar mendekat pada wajahku. Ciuman-ciuman liar yang bergemuruh. Namun seketika kau ketakutan, sepasang matamu tak lagi jernih. Kau mendorong tubuhku dengan keras. Engkau tak lagi kukenali lagi.
”Apakah karena tato ini, kekasih? Begitu sempitnya pikiranmu...”
”Iya! Tidak mungkin lagi mulai saat ini. Aku tak akan menyerah pada pelukan dan ciumanmu. Aku benci dengan tato melati di lenganmu! Bibirku tak lagi menggapai bibirmu!”
Dirimu berlari. Begitu cepat. Menembus kenangan-kenangan yang luruh satu per satu.
Dan kini ciuman itu telah berakhir. Ah, betapa gembiranya diri kita yang dulu. Tanpa beban dengan wajah yang senantiasa ceria. Kehadiranmu yang selalu memenuhi kegelisahanku. Dan senja yang sering kita lewati bersama. Sepasang mata dan bunga belati yang selalu kausimpang di sakumu.
**
”Gila! Sudah berapa lama aku tertidur!” aku segera mengucek mata. Bergerak malas ke dapur, membuat sarapan sembari menyulut sebatang rokok. Aku sarapan sendiri. Jam dinding terasa mati. Aku seduh lagi secangkir kopi. Aku menatap kopi yang kelam, aku melihat malam di sana. Jam dinding menunjukkan angka sepuluh. Di luar telah gelap.
Aku tarik kaos di lengan bajuku,
”Ah, gambar tato melati itu memang masih ada,” seketika terbayang lagi matamu. Sepasang mata yang jernih dan jelita.
Beberapa menit kemudian terdengar suara ketukan di daun pintu. Keras sekali. Aku bergegas ke depan.
”Anda saudara Pedro?”
Aku membeku.
”Cepat coba diperiksa!”
”Siap, komandan! Cocok komandan. Ciri-cirinya di lengan kanan ada tato bergambar melati!”
”Bawa dia! Saudara kami tangkap. Sesuai laporan yang masuk dan ciri-ciri yang ada mengenai keterlibatan Anda dalam kerusuhan minggu kemarin.”
Aku merasa hampa. Tubuhku seperti melayang. Berkelebat di antara bayang-bayang. Dirimu, sepasang matamu seakan terhampar di hadapanku. Malam ini tercium lagi aroma bunga melati. Seperti tertinggal di rongga hidungku. Aku seperti tak tahu lagi di mana keberadaanku. Aku terus melayang. Aku lihat lagi sepasang matamu seperti berbicara. Manis sekali....
Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pelaksana Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kecamatan Menteng Kota Administrasi Jakarta Pusat. Menyelesaikan studi di FE Unila Jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Jurnal Sajak, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat, Seputar Indonesia, Berita Harian Minggu (Singapura), Sabili, Annida, Matabaca, Majalah Basis, Koran Merapi, Indo Pos, Minggu Pagi, Bali Post, News Sabah Times (Malaysia), Surabaya News, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat (Bandung), Tribun Jabar, Analisa, Radar Surabaya, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, Tabloid Cempaka (Semarang), Rakyat Sumbar, Padang Ekspres, Medan Bisnis, Analisa, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dan lain-lain.
Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.
Beberapa karyanya juga termuat dalam antologi Ini Sirkus Senyum...(Bumi Manusia, 2002), Elegi Gerimis Pagi (KSI, 2002), Grafitti Imaji (YMS, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (Kompas, 2003), Muli (DKL, 2003), Dari Zefir sampai Puncak Fujiyama (CWI, Depdiknas, 2004), La Runduma (CWI & Menpora RI, 2005), 5,9 Skala Ritcher (KSI & Bentang Pustaka, 2006), Negeri Cincin Api (Lesbumi NU, 2011), Akulah Musi (PPN V, Palembang 2011), Sauk Seloko (PPN VI, Jambi 2012), Negeri Abal-abal (Komunitas Radja Ketjil, Jakarta, 2013), Seratus Puisi Qur’an (Parmusi, 2016).
Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016).
Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah di antaranya: Radar Lampung (Juara III, 2003), Majalah Sagang-Riau (Juara I, 2003), Juara III Lomba Penulisan cerpen se-Sumbagsel yang digelar ROIS FE Unila (2004), nominasi Festival Kreativitas Pemuda yang digelar CWI Jakarta (2004 & 2005), Juara Harapan II Lomba Penulisan Cerpen Santri Kategori Umum yang digelar Kementerian Agama RI (2016), Juara Harapan II Lomba Penulisan Puisi tingkat Nasional yang digelar Dewan Kesenian Indramayu (2016).
Facebook: Alex R Nainggolan