Menyaksikan Sunyi
Sejak dia bisa mengingat, dia belum pernah menyaksikan siang atau malam. Dia mengenali itu semua dari pembicaraan manusia lain, yang selain menyentuh perasaannya, juga kulit di sekujur tubuhnya.
Sejak dia bisa mengingat, dia belum pernah menyaksikan siang atau malam. Dia mengenali itu semua dari pembicaraan manusia lain, yang selain menyentuh perasaannya, juga kulit di sekujur tubuhnya. Hanya itulah yang mampu menerjemahkan apa itu siang, dan apa itu malam, kepadanya.
Dia memang tak mampu melihat dengan kedua bola matanya, tapi jangan kau anggap dia tak bisa membedakan apakah kau sedang marah, sedih, atau gembira. Dia bisa mencium keringatmu dari jarak yang tak bisa kau perkirakan. Dia, sekali lagi, memang buta sejak dilahirkan ke dunia, dan dia tak pernah menyesali, mengutuki, atau apa pun namanya. Namun, di pagi itu, beberapa saat sebelum ayam jantan berkokok, dia terbangun dari tidurnya yang tak pernah lelap.
”Sanjaya... Sanjaya,” ucapnya lirih, seperti manusia yang takut ditinggal pergi.
Sanjaya menjawab bahwa dirinya masih bersimpuh di dekat tempat tidur lelaki buta itu.
Pagi yang berbeda dari puluhan ribu pagi yang pernah dialaminya. Dengan telinganya, dengan seluruh pori-pori di permukaan kulitnya, getar rambut, anak-anak rambut, kumis, dan janggut, bahkan bulu matanya, laki-laki itu, Drestrarastra, menyapu padang Kurusetra. Dia bisa mengenali kegelisahan ratusan, mungkin ribuan, mungkin puluhan ribu—pentingkah jumlah itu—manusia yang mati dan hidupnya ditetapkan pada hari itu. Di sela ringkik dan dengus napas kuda, gajah-gajah yang menerompet, atau decak desis para sais kereta perang mencoba mengendalikan kuda mereka.
”Sanjaya, benarkah yang di tengah itu Dorna dan Bisma?” ucap Drestrarastra yang dibenarkan oleh Sanjaya.
Jarak begitu jauh bahkan bagi Sanjaya, dia memerlukan ”mata lain” untuk memperjelas pandangan, tapi Drestarastra bahkan bisa membedakan gerak-gerik Dorna lewat gesekan tubuhnya dengan udara.
Tanpa diminta, Sanjaya menjelaskan bahwa Pandawa berlima maju ke tengah pertempuran, menghadap Dorna dan Bisma dengan sikap sangat hormat—selayaknya murid kepada guru.
Laki-laki buta itu menundukkan kepala. Tubuhnya tegak, kakinya terlipat rapat. Sepasang telinganya seolah menyimak pembicaraan manusia-manusia yang sebentar lagi akan saling bunuh itu.
”Drestarastra, aku membawakan perempuan cantik untuk kau peristri.”
Ucapan itu terngiang kembali. Ucapan, yang mungkin, tiga atau empat puluh tahun lalu diucapkan, ketika Pandu membawa Kunti, Gendari, dan Madrim—tiga putri yang dimenangkannya dalam sayembara. Sesungguhnyalah saat itu ada tusukan yang halus dari ucapan Pandu yang barangkali tanpa sengaja melesat menyentuh perasaannya yang halus. ”Aku membawakan perempuan cantik” seolah berubah menjadi ”karena kau tak bisa mencari sendiri” di perasaan Drestrarastra. Tapi, diredamnya semua itu diam-diam. Bibirnya tersenyum.
”Hmm... baiklah Pandu. Bolehkah aku memilih, yang manakah di antara ketiganya yang sesuai dengan hatiku.”
”Oh, tentu... tentu, karena kau adalah kakakku. Pilihlah, senyampang kau bisa memilih.”
Senyampang bisa memilih? Aku bisa memilih; memilih untuk diam!
Lalu Gendarilah yang dipilih oleh kedahsyatan perasaan Drestarastra. Dan dia pun tak memasalahkan mengapa perempuan cantik berdarah panas itu kemudian bersumpah untuk menutup penglihatannya pada siang hari, sejak hari pernikahannya. Dia tak pernah mau tahu apakah itu sebentuk simpati, cinta, atau yang lainnya. Baginya, entah bagaimana, dia merasakan, Gendarilah yang akan menggandeng tangannya sampai kelak menghadap Yang Maha Esa.
Kemudian masalah takhta itu, dia pun memilih diam ketika para tetua Hastina mengharuskan Pandu, anak kedua yang berhak menduduki takhta. Tentu ada rasa sunyi yang menyakitkan di antara hiruk-pikuk, dan gelak tawa kegembiraan waktu itu, di telinga Drestarastra. Dia hanya merasakan genggaman Gendari, istrinya, kian erat.
Lantas berlahiranlah anak-anaknya, mimpi-mimpinya. Seratus orang jumlahnya; sembilan puluh sembilan laki-laki dan seorang wanita. Dan….
”Sanjaya, terlalu gemuruh sorak-sorai itu? Benarkah manusia-manusia itu begitu bernafsu untuk saling bunuh? Aku Drestarastra, Sang Kuru, tak mampu lagi membayangkan apa yang akan terjadi nanti sore.”
”Uwa Drestarastra, kerang-kerang perang sudah didengungkan. Suaranya mengalun menggelombang, memantul dari tebing bukit yang satu ke tebing bukit yang lain, lalu sorak-sorai para tentara... dan kusaksikan itu para putra Bangsa Matsya: Seta, Utara, Wratsangka. Mereka seperti tiga cakra yang berputar sangat cepat, menghabisi tentara Hastina.”
”Cukup... cukup... aku tak tahan. Telingaku berdarah, hatiku luka.”
Sanjaya terdiam menyaksikan Drestarastra terduduk menangis tersedu-sedu di sebuah ketinggian bukit yang membentengi padang Kurusetra. Angin membelainya lembut, seolah menghiburnya dari aroma amis darah yang mulai membanjiri medan perang itu.
”Sanjaya, tuturkan padaku, apa yang kau saksikan hari ini?”
Drestarastra yang buta bertanya, suaranya begitu renta. Dan cahaya mengubah apa yang ditangkap mata Sanjaya menjadi kata, menjadi ujaran yang keluar dari mulutnya.
”Kakek Bisma terbaring di ranjang panah, Uwa, tetapi malaikat maut masih belum menjemputnya. Dia seperti menunggu sesuatu. Tubuhnya memerah mawar oleh darahnya sendiri, dan peperangan dihentikan sementara.”
”Adakah Pandawa dan Kurawa di dekat tubuh yang terbaring di ranjang anak panah itu?”
”Tentu, Uwa... kelima putra Pandu dan sebagian besar anak-anakmu takzim di dekat Bisma.”
”Aku harus ke sana, Sanjaya... antarkan aku ke tengah Kurusetra.”
”Uwa... tt... tapi,” Sanjaya tak mampu mencegah Drestarastra. Dengan segala daya, dia tuntun orang tua itu menaiki kereta perang, lalu melarikannya ke tengah gelanggang.
Tentu saja semua yang di sana terkejut, tak terkecuali Bisma. Semua mematung. Semua mata bisa menyaksikan betapa mulut Drestarastra terkatup rapat dan bergetar.
Tak ada kata, bahkan hingga akhirnya Arjuna berhasil menyediakan bantal panah untuk menyangga kepala Bisma serta menusuk urat air tanah, hingga memancarlah air jernih menuju mulut Bisma. Sesuatu yang tak mungkin dipahami mata manusia mana pun, namun tidak bagi Drestarastra.
Adakah yang bisa menerjemahkan kesenyapan yang dihadapinya saat itu. Seorang laki-laki buta, yang meratapi kematian anak-anaknya. Anaklah yang mengubah seorang laki-laki, dari sekadar lelaki menjadi seorang ayah. Seorang ayah adalah pemimpin. Ayah adalah pembimbing. Ayah adalah panglima. Menjadi seorang ayah adalah menjadi raja bagi kehidupannya, dan... ketika anak itu harus mati, siapakah yang mampu menanggung pedihnya kegelapan?
Pentingkah, kini, siapa sebenarnya yang berhak atas takhta itu? Ketika semua orang sudah ingin saling menyingkirkan, ketika setiap raja ingin jadi pemenang, ketika setiap manusia ingin jadi pahlawan?
Ketika Palasara, di zaman yang sudah lama silam, membangun sebuah negeri yang kemudian diberi nama Gajahoya, tentu tak pernah berangan-angan memiliki keturunan yang menggemari peperangan. Palasara adalah manusia lembut hati, demikian pula anaknya, Abiyasa.
Abiyasa menurunkan Drestarastra, Pandu, dan Widura—dari ketiga istrinya. ”Bagaimana harus kukisahkan ini kepada Abiyasa, hai Sanjaya? Lihatlah, seorang demi seorang cucu-cucunya bertumbangan, dibunuh oleh sesama cucunya.”
”Sanjaya, katakan padaku, bukankah hari ini Dorna yang memimpin pasukan Kurawa?”
”Benar Uwa. Kusaksikan Jayadrata menyusun pasukannya dengan pola Supit Urang, dia akan menjepit musuh dari kiri dan kanan... dan....”
”Siapa yang dihadapi Dorna, hingga harus mengerahkan pasukan seperti itu?”
”Jika hamba tak salah lihat, yang kini tengah terkepung di tengah-tengah lingkaran Cakrabyuha itu adalah Abimanyu, Uwa.”
Abimanyu, Abimanyu... bukankah dia masih terlalu muda? Belum tujuh belas usianya, mengapa harus menanggung nasib penentuan sebuah negara? Oh, Kurawa, Kurawa, mengapa begitu haus darah, kini, sifatmu, bahkan seorang Abimanyu kau habisi juga?
Bayi itu begitu mungil, lahir ketika ayahnya entah di mana, di masa pembuangan selama tiga belas tahun, setelah permainan judi itu. Tertatih Drestarastra mengajak Gendari menengok cucunya, anak Arjuna. Dia masih merasakan betapa lembut dan hangat kulit Abimanyu. Dia bisa membayangkan anak Arjuna ini akan menjadi pahlawan bagi orang banyak, sebagaimana ayahnya. Drestarastra tersenyum bahagia, saat itu, sekaligus menangis sedih mengingat lawan Abimanyu adalah Dorna.
”Mengapa pagi masih terlalu panjang untuk segera kita lalui, Sanjaya? Terompet kerang itu sudah berdengung berulang kali, pagi dan petang. Sanjaya, bolehkah aku memercayai apa yang kau saksikan dan kau kisahkan padaku?”
”Yang keluar dari bibir Sanjaya adalah kisah yang dituturkan Sang Maha Berkehendak, jadi mana mungkin adalah dusta? Kalau Uwa tak percaya, barangkali bukan karena isi ucapanku yang salah, tetapi karena Uwa tak mau menerima kebenaran itu. Aku memahami kepedihan yang Uwa rasakan. Betapa pun jarangnya aku bersinggungan dengan Pandawa maupun Kurawa, aku tetap memiliki hubungan darah dengan mereka. Jadi, aku pun memahami kepedihan Uwa Drestarastra.”
”Uwa Drestarastra yang kuhormati, maafkan jika terdengar terlalu kasar atau keras bagimu, Dursasana telah gugur di peperangan. Para panglima Kurawa juga seorang demi seorang tewas di pertempuran ini. Bisma, Karna, Dorna, Salya, Jayadrata, semuanya sudah di Sorgaloka. Anak-anak Pandawa hampir semuanya mati. Namun, Pandawa masih berlima: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa, masih kukuh tak kurang suatu apa.”
Drestarastra menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, seolah mencari bisikan angin yang menyampaikan dengus napas atau lenguh kemarahan kedua anaknya yang sama besar itu: Bima dan Duryudana. Dan, entah pada hening yang ke berapa, Drestarastra sadar, Duryudana, Kurupati, anak sulungnya itu, mati di tangan Bima.
Senja terlalu hening, merah di ufuk barat. Burung-burung bangkai mulai melayang turun, bahkan ada yang sudah mematuk-matuk sisa-sisa mayat. Langit merah. Bumi merah. Tombak-tombak yang patah, tertancap di tanah.
Tak ada lagi yang bisa disampaikan Sanjaya. Perang telah usai di Kurusetra. Entah berapa lama angin mampu menghilangkan amis-bacin darah dan bangkai serta sisa jenazah? Lalu siapakah pemenang dari peperangan yang merenggut ribuan, mungkin puluhan ribu, nyawa ini?
Drestarastra mengatup rapat mulutnya, menangisi keseratus mimpinya yang dipangkas habis oleh orang yang justru dicintainya: Pandawa. Seorang ayah yang dipaksa menyaksikan kematian anak-anaknya, seorang demi seorang; yang bahkan tak sempat menguburkannya dengan layak.
Yanusa Nugroho, lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. Pernah duduk di redaksi majalah Berita Buku Ikapi, lalu menjadi copywriter di Indo-ad, kemudian memilih menjadi penulis lepas. Kumpulan cerpennya antara lain Bulan Bugil Bulat (1989), Cerita di Daun Tal (1992), dan Menggenggam Petir (1996). Novel karyanya Di Batas Angin (2003), Manyura (2004), dan Boma (2005).
Sugijo Dwiarso, lahir di Magelang, 19 Mei 1968. Menempuh pendidikan di Jurusan Seni Murni Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Berpartisipasi dalam berbagai pameran bersama, yang termutakhir ”Parasela #2” di Taman Yakopan, Yogyakarta.