Moonlight Sonata
Sebenarnya, Agni bukanlah seorang pemusik. Tidak sama sekali. Dia lebih suka disebut peziarah. Kerjanya hanya menziarahi jejak-jejak masa lalu yang nisannya keropos dimakan rayap.
Entah itu di museum atau hanya sekadar gambar dan tulisan di buku-buku yang sudah berjanggut putih. Tak jarang pula ia mengunjungi galeri lukisan hanya untuk melihat apa yang telah terjadi di masa lalu. Pernah suatu ketika ia mengunjungi museum, sebuah lukisan berkata kepadanya, ”Dalam segala rupa, bentuk dan warna dalam pigura, kau akan memahami suka, duka, tawa dan luka dunia yang pernah ada.”
Sejak saat itu, baginya masa lalu adalah keping-keping puzzle yang berhamburan. Betapa menyenangkan bisa menumpulkan dan menyusunnya kembali. Namun hingga kini, Agni tak pernah berhasil menyusunnya hingga sempurna.
Suatu hari ia hampir berhasil menyusun potongan masa lalu itu menjadi sesosok tubuh perempuan tanpa busana. Sayangnya, ia kehilangan potongan terakhir. Agni mencarinya di mana-mana. Di lubang jarum, di sela-sela nomor kendaraan bermotor, di lubang stop kontak, bahkan ia sempat bertanya pada Juliet di lembaran milik Shakespeare. Tidak ditemukan! Tubuh perempuan itu berlubang. Tepat di bagian dada.
”Ah! Ini sungguh tak mudah,” gumam Agni. Tidak seperti apel yang jatuh dan memberikan pengetahuan tepat di tengah kepala Newton. Mungkin itu pula sebabnya lebih banyak ilmu yang mengkaji masa lalu, tapi tidak untuk masa depan.
Tanpa partitur di hadapannya, jemari Agni yang kurus lentik dengan ujung sedikit meruncing itu lihai menari di atas tuts hitam putih grand piano berwarna hitam mengkilat. Dia memulai dengan octave not di bagian tangan kiri melawan triplet di tangan kanan. Ratapan melodi pianissimo yang dimainkannya merambat hingga ke celah-celah dinding bercat putih ruang tamu rumahnya. Suaranya membuat gugur sehelai kelopak mawar merah dalam jambangan di atas meja kayu berwarna coklat yang tak jauh dari pianonya.
Seperti purnama malam ini, melalui kelembutan adagio sostenuto, ia menziarahi ayahnya yang sudah lebih dulu mengembalikan raga kepada tanah. Tidak ada taburan bunga. Tidak ada harum kapur barus atau minyak tanah yang menyamarkan bau makam yang kian membusuk diludahi waktu. Tak ada pula kepulan asap bakaran dupa. Hanya ada lelehan air mata yang tumpah tanpa aba-aba. Air matanya membuncah seperti banjir bandang yang turun dari lereng bukit yang gundul. Segala kenangan yang bergelantungan tentang ayahnya di kiri-kanan ikut terhanyut dan menghancurkan apa saja yang dilaluinya.
Saat usianya menjelang pergantian kalender keempat, malaikat maut yang bertubuh manusia laki-laki menebas leher ayahnya dengan sebilah golok baja tanpa ampun. Tanpa aba-aba ataupun pertanda berupa doa suci. Ayahnya menggelepar. Lehernya nyaris putus. Dia tidak mati dengan damai dan sentosa seperti yang disiarkan di lembar koran ke seluruh penjuru kota. Bibir ayahnya terkatup.
”Selamat jalan, Ayah,” bisik Agni sembari mencium punggung ayahnya yang membiru. Ah! Ayah menjadi Krishna! Pikir Agni. Dari balik selendang biru tipis milik ibunya, luka-luka menganga dengan lendir merah di tubuh ayahnya itu berkata, ”Selamat tinggal putriku. Selamat tinggal istriku. Aku mencintai kalian.” Sejak saat itu Agni tak pernah melihat jemari ayahnya memainkan piano sonata no. 14 yang diciptakan oleh Beethoven itu lagi.
Ibunya kemudian berubah menjadi manekin seperti yang dipajang di etalase toko penjual pakaian mal-mal tengah kota. Sayangnya, manekin itu hidup. Setiap pagi ia menyediakan Agni sarapan berupa kepingan hatinya yang sudah dicincang halus bercampur dengan jagung segar. Agni sangat menyukai kepingan hati ibunya. ”Rasanya lebih manis dibanding sereal cokelat seperti di iklan televisi yang pernah diberikan oleh teman sekolahku, Bu,” ucap Agni sembari mengunyah.
”Permainanmu buruk.”
”Selamat jalan, Ayah,” bisik Agni sembari mencium punggung ayahnya yang membiru.
Seorang lelaki tiba-tiba sudah berdiri di tengah ruang tamunya. Agni terkejut, tapi tidak menghentikan jemarinya bermain. Lelaki itu berjalan perlahan menuju tempat Agni duduk.
”Dari mana saja kau? Sejak tadi aku menunggumu.” Agni memandang lelaki yang berdiri di hadapannya dengan tatapan setajam mata pisau bedah. Sisa lelehan air mata masih membekas di sana. Lelaki itu hanya tersenyum. Senyumnya lebih manis dari seikat kembang gula yang dijual pasar malam.
”Oh. Ayolah. Kau tahu kekasihmu ini hanya seorang kurir barang, jasa, dan berita. Ada banyak kabar yang harus kuantar.”
”Ah, Bayu, tapi kau selalu lupa menyampaikan kabarmu kepadaku. Aku merindukanmu.” bicaranya melembut. Lelaki itu tersenyum sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Agni.
”Mau berdansa?”
”Musiknya? Siapa yang akan memainkan?”
Binar-binar keriangan semarak di wajah Agni seriang tempo allegretto yang baru saja menggantikan tempo semula. Bayu meraih tangan Agni. Kedua telapak tangannya berpindah dalam genggaman jemari Bayu. Dentingan piano yang menghasikan nada-nada itu seketika berhenti. Bunyi keheningan segera memenuhi ruangan.
”Kau mendengar detak jantungku?”
”Ya, tentu.”
”Kalau begitu ayo kita mulai berdansa.” Bayu menarik tangan Agni.
Membawanya ke tengah ruangan dan mulai melangkahkan kaki maju-mundur berirama. Bayu mengangkat tangannya dan dengan satu jentikan jari, sonata itu mengalun kembali. ”Lihatlah. Aku lebih mahir dibanding dirimu.”
”Ya. Aku tahu itu.”
”Ha-ha-ha…. Bukan aku yang memainkan piano itu, kekasih. Hitam putih tuts itu adalah kehidupan yang sedang memainkan nasibnya sendiri. Kita hanya perlu mendengar getaran yang sampai di denyut nadi untuk bisa menarikannya.”
”Jadi, itukah kabarmu untukku hari ini?”
”Oh, tentu tidak. Ada banyak hal yang tadi kuantarkan kepada para pelanggan. Misalnya saja tadi ada seorang pria yang menyuruhku untuk mengantar seikat mawar merah untuk kekasihnya. Ada juga beberapa pria tua berjubah hitam yang menyuruhku mengantarkan potongan tubuh Pinokio ke...”
Gubrak!!! Pintu rumah Agni jebol diterjang dua orang pria berjubah hitam yang membawa senjata laras panjang. Kata-kata dari mulut Bayu tak tuntas keluar. Mereka berdua terkejut bukan kepalang. Agni meringkuk dalam dekapan Bayu.
”Siapa mereka, Bayu?” Bayu menggeleng keheranan.
”Kami anggota Polisi Moral. Maaf, Nona. Kekasihmu telah melakukan tindak kriminal sebagai seorang kurir.” Polisi bertubuh tambun dengan kumis setebal pagar rumah bupati itu melangkah maju menodongkan senjata.
”Tapi aku tidak melakukan kesalahan apa pun!”
”Kau mengatakan di televisi bahwa Departemen Boneka Kayu telah melakukan kejahatan karena telah menjadikan boneka kayu sebagai budak di rumah Pak Menteri. Kau telah menyebarkan berita bohong yang menyebabkan kerugian luar biasa sebab pohon-pohon sekarang sedang berdemo di depan istana Pak Menteri. Mereka menolak untuk dididik dan dijadikan boneka kayu. Sekarang katakan, LSM lingkungan garis keras mana yang menjadikanmu mata-mata, anak muda?”
”Ah! Itu bukan suatu berita bohong, Yang Mulia Polisi.” Bayu berkata dengan kalem. Dia mulai mengendurkan pelukannya pada Agni. ”Pinokio mengatakannya sendiri kepadaku. Kalian membayar mereka untuk tidak membocorkan kejahatan kalian. Kalian menculik kaum pohon dan mengulitinya paksa di pabrik pemotongan kayu milik anak Pak Menteri. Dan aku tahu dia tidak berbohong. Kalianlah yang berbohong Yang Mulia Polisi. Lihatlah! Hidung kalian bertambah panjang. Sama seperti perut kalian yang makin membesar.”
”Kurang ajar! Tangkap dia!”
Sekelompok orang memasuki paksa pintu rumah Agni yang sudah jebol. Mereka berdua tak menyangka bahwa tidak hanya dua orang polisi yang mereka hadapi. Dari celah-celah tirai jendela sorot lampu mobil-mobil polisi menerabas masuk seperti cahaya yang menjemput orang mati di sinetron-sinetron. Mereka panik. Bayu menggenggam tangan Agni dan membawanya lari.
”Apa kau tidak berbohong?” wajah Agni pucat. Napasnya terengah-engah.
”Tentu saja aku tidak berbohong. Kau tidak percaya padaku?”
”Aku percaya padamu.”
”Kalau begitu pegang erat tanganku.”
Bayu langsung mendobrak pintu belakang rumah. Begitu pintu terbuka, mereka langsung menuju jalan raya. Sial! Pikir Bayu. Jalan raya dipenuhi tikus-tikus got yang bekerja di kota sebagai pelacak suruhan para Polisi Moral. Dor!!! Dor!!! Tembakan peringatan menghamburkan burung yang menumpang di atap gedung-gedung bertubuh langsing. Mereka mempercepat larinya. Berkali-kali Agni meringis kesakitan menahan telapak kakinya yang tanpa alas menginjak kerikil jalanan.
”Cepat pakailah!” Bayu melepas sandal jepit karetnya. Agni buru-buru mengenakannya. Dalam kekalutan itu sempat ia berpikir dari mana kekasihnya mendapatkan sandal itu.
Wajah Agni semakin pucat melihat hampir satu batalyon tikus-tikus got mengejar mereka. Sorot lampu dan sirene meraung-raung menambah keriuhan kota. ”Mau lari ke mana kita?” suara Agni bergetar. Tak jarang ia harus membenahi gaun merah selututnya yang tersingkap. Keringat bercucuran di dahi keduanya.
”Ah! Di sana ada pasar malam. Kita bisa bersembunyi sejenak di keriuhan itu.”
Mereka berbelok ke kiri. Bayu menuntun tangan Agni menuju kerumunan pasar malam. Kerumunan dipenuhi manusia dengan berbagai topeng wajah dengan segala raut. Entah apa yang orang-orang sembunyikan di balik topeng itu.
”Ah! Aku suka tempat ini. Bisakah kita duduk sejenak untuk menikmati tempat ini sebelum menjadi pemakaman usang?” Agni menghentikan langkahnya.
”Baiklah. Duduklah di sini.” Bayu menyodorkan sebuah kursi plastik di depan sebuah gerai penjual gulali warna-warni. ”Semoga saja kita tidak tertangkap.”
Orang-orang berlalu lalang tak tentu arah. Mata Agni takjub melihat sebuah komidi putar dipenuhi anak-anak yang wajahnya polos tanpa topeng apa pun. Agni segera tersadar, di kerumunan itu hanya anak-anak yang tidak memakai topeng apa pun. Tawa menghiasi wajah mereka. Gerak langkah mereka juga lebih lentur dibanding manusia dewasa yang wujudnya hampir sama menyerupai mayat hidup. ”Apakah mereka manusia sungguhan?” gumam Agni.
”Agni, ayo, cepat lari!” teriakan Bayu mengejutkan Agni. Mereka berlari di tengah kerumunan. Orang-orang berhamburan. Menjerit-jerit histeris melihat serbuan tikus got bermata merah menyala menyerbu kerumunan. Menyasar hingga celah-celah tirai pertunjukan sirkus sekelompok tengkorak manusia yang sedang bermain musik. Tepat di sudut gerai penjual jagung bakar, gaun merah Agni tersangkut di ujung pemanggang jagung. Agni terpaksa harus merelakan gaunnya sobek untuk bisa melepaskan diri. Sayangnya, mereka berdua terjebak. Tikus-tikus itu mengerubungi mereka.
”Tangkap mereka!” perintah Polisi Moral kepada seluruh pasukannya yang berjubah hitam lengkap dengan senjata laras panjang.
”Ah! Itu Sonata nomor 14 di C-sharp minor Opus 27 nomor 2 milik Beethoven. Mereka sudah sampai di presto agitato. Bayu, kau mendengarnya?”
”Ya, aku tahu. Manusia tengkorak itu yang memainkannya.” suara Bayu bergetar.
Nada ketakutan terdengar kacau keluar dari rongga mulutnya. Pikirannya sibuk mencari jalan keluar dari kepungan para Polisi Moral beserta kaki tangannya.
Tanpa diduga, Agni menghamburkan bara dari pemanggang jagung tepat mengenai sekumpulan tikus yang mengepung mereka. Tubuh tikus-tikus yang berhamburan tak tentu arah itu ikut membakar apa saja yang menyentuhnya.
Gerai-gerai penjual makanan, tenda dari sirkus sapi berbulu domba, balap karung antara cicak dan buaya, hingga gerai penjual bintang di pasar malam ikut terbakar. Api cepat menjalar. Kebakaran hebat melanda pasar malam. Manusia berwajah topeng berhamburan tak terkendali. Sebagian sibuk mencari topengnya yang jatuh entah di mana.
Di tengah ketakutan yang menghinggap, sesosok lelaki tua dengan wajah sangar mengendarai sapu terbang mendarat di hadapan Agni dan Bayu. ”Cepat naik sebelum mereka menangkap kalian.” Tanpa berpikir panjang, keduanya ikut naik di atas sapu terbang yang segera melesat ke angkasa.
”Siapa kau Pak Tua?” Bayu keheranan.
”Aku Beethoven.”
Keduanya terbelalak mendengar jawaban orang tua itu. ”Ke mana kau akan membawa kami?”
”Ke bulan.”
Binjai, September 2019
Mutia Rahmah lahir di Binjai, Sumatera Utara, pada 17 Desember 1995. Merupakan alumnus Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan. Saat ini aktif sebagai pengurus Komunitas Sastra Indonesia Cabang Medan. Pendiri sekaligus pengurus kelompok diskusi menulis mahasiswa Tinta Pulpen. Karya-karyanya sering dimuat di berbagai media lokal, seperti harian Waspada dan harian Analisa.