Untuk Arga dan Segara
Hal yang sangat tidak menyenangkan bagiku adalah terbangun oleh dering telepon. Aku terjaga dan merasa bodoh melihat kaca jendela kamarku belum menampakkan langit terang.
Hal yang sangat tidak menyenangkan bagiku adalah terbangun oleh dering telepon. Aku terjaga dan merasa bodoh melihat kaca jendela kamarku belum menampakkan langit terang.
Tanganku meraih telepon genggam yang memang tak pernah kuistirahatkan. Di layar HP tertera nama: Imun! Panggilan sayangku kepadanya tetap kupertahankan.
”Halo. Ada apa? Sepagi ini?”
”Oh, maafkan, Yang Mulia. Tentu karena aku sangat perlu.”
Suara di sana cukup bening dan lantang, mungkin dia sudah mandi. Baru pukul 4.45!
”Ok. To the point.” Aku melangkah ke kamar mandi.
”Aku juga malas sebetulnya menyampaikan hal ini….”
”Jadi?”
”Kamu besok tidak ada acara, kan? Aku membutuhkanmu bicara di depan mahasiswaku. Pelatihan penulisan kreatif dan lokakarya teater.”
”Kok, mendadak?”
”Rencananya orang lain yang mengisi.” Imun menyebut sebuah nama penulis kenamaan. ”Dia baru saja mengabari ibunya meninggal dunia. Kuhubungi dua orang lain, tapi tak mungkin bisa terbang besok.”
”Terbang? Di mana acaranya?”
”Aceh. Lhokseumawe. Itulah… ini jadi spesifik.”
”Kamu pikir aku bisa?”
”Please, Musa! Jangan dihubungkan dengan urusan pribadi. Bantulah aku secara profesional.”
”Aduh, kamu menelepon sepagi ini untuk pekerjaan mendadak juga tidak profesional. Bukankah aku harus tahu tugasku?”
”Kamu bisa, kan?” Imun sangat berharap membuatku iba. ”Sebentar kukirim TOR dan info mengenai peserta. Ini sudah tingkat lanjut.”
Terdengar olehku seperti: stadium lanjut! Aku tahu, Intan Munadillah—yang kupanggil Imun—sudah berulang kali ke Banda Aceh, Takengon, Lhokseumawe, untuk gerakan pemulihan ”jiwa” korban konflik. Mereka yang menginjak usia remaja, bahkan sebagian kuliah di Universitas Malikul Saleh, adalah ”korban”. Trauma panjang memenuhi masa kecil mereka ketika GAM bercokol di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam urusan politik, kita tak bisa mengatakan salah satu pihak benar atau salah, tetapi akibat yang tak terhindarkan adalah lahirnya satu generasi yang masih terintimidasi perasaan takut. Takut yang akut.
Itu pekerjaan besar, dan… Imun melakukannya penuh dedikasi, bergelimang cinta, luber dengan semangat. Cinta yang sama dia tumpahkan kepada Arga dan Segara, dua buah hati yang selalu diceritakan di media sosial. Semakin kurasakan, dia seorang ibu pejuang yang baik. Apa pun dia lakukan dengan keras, baik dalam arti sebenarnya maupun kiasan.
Aku menyalakan laptop dan internet. Kubaca TOR dengan cepat. Seketika terbayang bahan yang mesti kusiapkan. Materi yang kusampaikan dalam kelas-kelas menulis, ditambah pengetahuan mengenai drama, hanya kali ini lebih menjurus pada persoalan katarsis. Bukankah hidup mereka sudah kaya dengan drama dan tragedi? Selintas aku teringat Liza Marielly Djapri dan Ratih Ibrahim, dua psikolog yang barangkali lebih tepat mengelus-elus perasaan mereka.
Pagi berikutnya, pada jam yang sama, sudah kuhidu hawa parfum Imun. Sungguh, hidungku tidak imun pada aroma yang monoton sejak lima tahun lalu. Cita rasa yang konsisten.
”Hai, aku sudah check in, kan,” katanya. Kami bersalaman. ”Mau sarapan? Pesawat kita tak punya menu makanan.”
”Setuju. Di tempat yang boleh merokok.”
”Kupikir kamu sudah berhenti berasap.” Dia mengerling tajam.
”Okelah, selama bersamamu aku tidak menyentuh sigaret.”
”Ada hampir lima puluh mahasiswa menunggu kita,” kata Imun kemudian sambil menyuap ketupat. Seperti tahu yang kupikirkan, bahwa betapa pentingnya keberangkatanku ini. ”Kamu tidak menanyakan Arga dan Segara?”
”Selalu kubaca di FB-mu. Anak-anak pintar.” Aku memuji.
”Lusa mereka ada acara di GOR Kuningan. Acara perpisahan Arga, dan Segara kebetulan tampil dalam paduan suara.”
”Suara Segara bagus.… Sebetulnya, yang terpenting, ia mengerti nada.”
Pengumuman boarding penerbangan kami menjadi batas obrolan. Kami antre menuju pintu 5. Menghadapi punggung Imun dalam jarak dekat, aku tetaplah seorang lelaki yang tergoda bentuk tubuh perempuan. Ia langsing menjulang, sepasang kakinya kukuh, bokongnya penuh. Berat badannya seperti tak mengiringi pertambahan usia. Setelan baju lengan panjang hijau dan celana jins hitam begitu segar dipandang, bahkan dari belakang. Lehernya yang jenjang tertutup selendang tipis hijau muda, tetapi tidak menghalangiku membayangkan keindahannya.
Dalam pesawat, kami mengobrol mengenai hal-hal yang telah diberikan Imun kepada para peserta. Kemungkinan namaku tak tertera pada spanduk, tak soal. Masa membanggakan diri sudah lewat. Aku justru mulai mencemaskan diriku yang ingin menjauh dari bising dunia dan membangun pedepokan di tempat sunyi. Mungkin akan berkebun dan belajar melukis saja.
Sesampai di bandara, dua mahasiswa menjemput kami. Salah satunya mengenaliku karena pernah melihat hasil kiprahku menyutradarai lakon yang meraih juara sebuah festival.
”Apa karya terbarumu, Mas?”
”Akan segera kugarap sepulang dari sini,” jawabku tersenyum, menghibur diri. Enam bulan belakangan aku hanya membantu Iswadi dalam kursus akting, sembari pesimis terhadap perkembangan teater.
Aku meladeni pertanyaan-pertanyaan sang pemuda, sementara Imun terlibat pembicaraan berbantahan melalui telepon. Argumentasinya selalu kuat, daya juangnya tinggi, dan walaupun sesekali tertawa, aku tahu itu ejekan terhadap lawan bicaranya.
”Kamu tak usah sebut-sebut aku orang Minang. Aku sudah lama terlibat program-program pemulihan Aceh. Itu alasan yang dibikin-bikin. Aku sampai Australia, bahkan Helsinki, untuk urusan ini. Semua niat keluar dari hati.” Ketika suaranya terdengar garang, wajah Imun justru menampakkan puncak kecantikannya. Apakah itu yang membuat aku suka memandangnya saat sedang marah? ”Kita bicarakan lagi soal itu di Jakarta. Ingat, aku yang dipercaya wakil menteri menyusun rekonsiliasi. Sebelumnya sudah kugandeng banyak lembaga kemanusiaan, jangan merusak jejaring ini.”
Tak sadar kugenggam tangannya yang gemetar. Semula Imun membiarkannya, tetapi kemudian menyadari dua pemuda di depan bisa melihatnya melalui cermin spion. Ia menarik tangan kirinya, lalu membuka ransel, menawariku permen. Seharusnya dia tahu aku tak suka permen. Bolehlah ditukar dengan isapan kuat atas bibirnya yang tipis dan tajam itu, tetapi mana mungkin dia izinkan.
Di kedai nasi gurih, kami memesan sarapan sekaligus makan siang. Sambil menunggu pesanan tiba, Imun menyerahkan amplop tebal, mengisyaratkan isinya cukup bernilai. Aku langsung menandatangani kertas yang disodorkan.
”Kamu tak ingin menghitungnya? Siapa tahu aku ceroboh.” Imun memberi kesempatan.
Aku menggeleng. ”Ini rezeki yang ditakdirkan. Berapa pun. Semula bukan untukku.”
”Terima kasih,” ujar Imun tulus.
Selama dua hari, semua peserta antusias mengikuti acara. Di mata mereka kami begitu kompak, saling melengkapi. Sesudah penutupan, mereka mengajak kami ke Bukit Salak. Mereka mendaulat kami membaca puisi di bawah jajaran pinus, menghadap ke lembah. Sementara seduhan kopi arabika Gayo mengepul dalam sisa gerimis sore.
Kini saatnya berpisah. Kami meninggalkan tempat makan, diantar kembali ke bandara oleh panitia. Dalam perjalanan, wajah Imun sudah mulai tegang.
”Pesawat kita delay. Ini sudah kuduga, sayangnya tak ada cara lain menyulap keadaan.”
”Akibatnya apa?”
”Sesampai di Medan, kita ditinggal Garuda ke Jakarta.”
”Tiket kita bukannya terusan dengan maskapai yang sama?”
”Enggaklah! Aku, kan, harus menghadiri acara Arga dan Segara.” Tatapannya menekankan betapa pentingnya seorang ibu mendampingi anaknya naik panggung. ”Ini hari perpisahan Arga dengan sekolahnya. Segara akan tampil di depan teman-teman dan gurunya.”
Di ruang tunggu Bandara Lhokseumawe, Imun mondar-mandir dengan telepon genggam di telinga. Dia menghubungi kantor penerbangan pesawat sambungnya di Kualanamu, tetapi tampaknya tak mendapatkan jawaban memuaskan.
”Jadi tiket kita hangus?” tanyaku.
”Pasti. Masalahnya, adakah pesawat berikutnya yang masih terbang sebelum petang?”
”Paling aman, cari maskapai yang sama, dan kejar sekarang juga sebelum habis.”
Semestinya, Imun yang mengajar teater. Sekali waktu tampak tegang, bicara marah dengan seseorang di seberang sana sambil berkacak pinggang, tetapi di saat berikutnya demikian lembut memberikan instruksi kepada Arga dan Segara.
”Ibu pasti sudah di kursi penonton saat Abang pidato dan Adik bernyanyi di panggung. Ibu lagi cari tiket pesawat pengganti dari Medan ke Jakarta.” Imun duduk dan tetap menjaga senyumnya. ”Jangan lupa makan dulu. Ada apa di kulkas? Abang bisa menggoreng sendiri, kan?”
Ketika kami akhirnya masuk pesawat, Imun masih diterjang masalah baru.
”Lho, kata Bu Santi, Adik pakai seragam dan dasi? Kok berubah? Ibu cari di mana baju merah?” Memasuki lorong pesawat, pramugari mengingatkan untuk mematikan handphone. ”Ibu sudah di pesawat. Coba Abang minta bantuan Tante Nurma.”
Kami sempat terlelap dalam penerbangan dua jam dan terbangun ketika roda pesawat menyentuh landasan. Dengan menggendong ransel sehingga kami bersigegas ke lobi kedatangan.
”Aku langsung ke Kuningan,” ujar Imun. ”Sekali lagi terima kasih telah membantuku.”
Aku tersenyum karena berhasil menolongnya. Kami telah melewati tiga hari yang menyenangkan, setidaknya bagiku. Lalu.…
”Musa, kamu masih dengan perempuan blonde itu?” Matanya menatapku kejam. Aku menggeleng. ”Ya, sudahlah. Aku tak mau mengungkit luka lama. Aku pamit.”
”Sebentar, Imun. Sudah sebulan aku tidak mengajak Arga dan Segara jalan-jalan, apakah Sabtu besok boleh kujemput?”
”Seharusnya boleh, tetapi nenek mereka tiba dari Padang. Silakan kalau mau ke rumah.”
Aku berpikir sejenak, kemudian kuputuskan yang lain. Kuambil amplop tebal pemberian Imun tadi pagi. ”Begini saja, ini untuk Arga dan Segara, pengganti kehadiran ayahnya. Minggu depan kuajak mereka kemping ke Ciganjur, temanku punya sekolah alam di sana.”
Imun menjawab telepon. ”Ibu sedang cari taksi. Ya, langsung ke situ. Ini ada oleh-oleh dari Ayah.” Imun menutup percakapan. ”Mereka sudah di gedung.”
”Semoga jalanan lancar, ini jam pulang kantor.” Aku memeluk Imun sebentar dan berbisik. ”Aku kangen mereka.”
Degup jantungnya kembali berjarak dengan dadaku. Dia berlari kecil menuju deretan taksi di seberang. Kupandangi sampai tubuhnya menghilang ke dalam sedan. Berikutnya: senja menyerahkan kesepian kepadaku di bandara yang sibuk.
Rumah Anggit, Elang Malindo, 6 Januari 2020.
Kurnia Effendi menulis untuk media massa sejak 1978. Bukunya yang terakhir berupa kumpulan puisi Mencari Raden Saleh (2019) meraih penghargaan pustaka terbaik 3 dari Perpusnas. Tahun 2017 mengikuti residensi penulis di Belanda, riset untuk novel tentang Raden Saleh (ditulis bersama Iksaka Banu) terbit Februari 2020, dengan judul Pangeran dari Timur.
I Ketut Budiana, lahir di Padang Tegal, Ubud, 1950. Ia menggelar pameran tunggal sejak tahun 1999 di ARMA Museum, Ubud, Kazaxi Gallery Melbourne, Australia (2000), Tokyo Station Gallery, Japan (2003). Pada 2008, berpameran tunggal di Maruki Art Museum dan Setagaya Art Museum, Jepang. Ia juga berpartisipasi dalam pameran bersama di dalam dan luar negeri.