”Unpublished” Bukan Berarti Tak Bernilai
Sebuah foto karya pewarta foto dikategorikan unpublished dalam artian belum pernah dipublikasikan atau dimuat di media tempat pewarta foto tersebut bekerja. Demikian juga foto-foto karya pewarta foto Kompas.
Meskipun secara teknis fotografi sangat memadai dan secara etika jurnalistik tak ada yang dilanggar, toh foto-foto ini pun tak termuat di koran. Istilah umum yang sering muncul di kalangan pewarta foto menyebut foto-foto ini ”tak laku”.
Tidak ada darah, tidak ada mayat, tidak mengandung SARA, tidak mengandung unsur balas dendam.
Ada banyak alasan kenapa foto-foto ini tidak dipublikasikan, tak laku, atau tidak termuat di halaman koran. Pertimbangan utama sebuah foto jurnalistik bisa dipublikasikan, ditayangkan, atau dimuat di media tempat pewarta foto bekerja adalah kebijakan redaksional media tempat dia bekerja.
Alasan ini pula yang menjadi penyebab kenapa ribuan foto karya pewarta foto Kompas yang akhirnya “mengalah” untuk tidak dimuat. Harian Kompas yang memiliki visi dan misi ”humanisme transendental” akan meletakkan manusia dan kemanusiaan sebagai pokok utama sajian berita dan fotonya. Kompas akan selalu mengedepankan sisi kemanusiaan, keadilan, pluralisme, dan perdamaian dalam setiap sisi pemberitaannya.
Maka, tak akan kita temui foto-foto yang menggambarkan kerusuhan atau bencana dengan korban berdarah-darah, konflik yang bisa memicu konflik lanjutan, gambar jenazah korban bencana, ataupun sekadar gambar jenazah tokoh terkenal yang meninggal dengan wajar dan tenang.
”Fotografer Kompas mempunyai setidaknya empat pedoman. Tidak ada darah, tidak ada mayat, tidak mengandung SARA, tidak mengandung unsur balas dendam. Tetapi, ketika mereka turun ke lapangan, bukan berarti mereka tidak memotret empat hal ini. Intuisi seorang fotografer pasti akan jalan waktu di lapangan. Semua akan diabadikan. Hanya ketika untuk diterbitkan, mereka punya empat pedoman itu untuk seleksi,” kata Danu Kusworo, Kepala Desk Foto Kompas.
Kebijakan redaksional tersebut sudah disadari para wartawan dan fotografer. Pada peristiwa kerusuhan 1998 ada ribuan foto karya wartawan Kompas, baik reporter ataupun pewarta foto. Mulai foto demo-demo mahasiswa yang berjalan damai sampai yang berakhir rusuh, foto-foto penjarahan dan kerusuhan massal di Jakarta, hingga foto-foto korban kerusuhan semua lengkap terdokumentasikan. Namun, yang akhirnya dimuat di headline halaman 1 Kompas adalah suasana pemakaman mahasiswa korban penembakan yang dianggap ”mewakili” kondisi saat itu.
Peristiwa lepasnya Timor Timur dari Republik Indonesia juga terekam lengkap oleh wartawan Kompas. Mulai saat Timor Timur masih menjadi bagian NKRI, kemudian dilakukan jajak pendapat, dan dampak dari hasil jajak pendapat yang berakhir rusuh semua terdokumentasikan baik. Bahkan, pewarta foto Kompas, Eddy Hasby, berhasil mengabadikan momentum saat seorang pemuda pro-kemerdekaan Bernardito Gutierres yang waktu itu berstatus mahasiswa UKSW terjebak kerusuhan dan akhirnya tewas. Foto-foto Eddy merekam detik demi detik saat-saat terakhir Bernardito.
Selain kami tahu ada kode etik jurnalistik, itu sudah pasti, tapi untuk foto di ”Kompas” itu dimuat atau tidak, ada nilai-nilai ”Kompas” sendiri.
Foto-foto tersebut tak pernah termuat di harian Kompas karena kebijakan redaksional. Sebagai gambaran, peristiwa tersebut yang juga diabadikan pewarta foto lepas dari Amerika Serikat, John Stanmeyer, yang berhasil meraih penghargaan tertinggi di dunia foto jurnalistik yaitu World Press Photo kategori spot news.
Demikian pula foto-foto waktu kerusuhan saat rencana penggusuran makam Mbah Priok di Jakarta. Pewarta foto Kompas memiliki lengkap rekaman peristiwa tersebut, mulai penghadangan massa hingga kerusuhan berdarah yang berakhir malam hari. Sedikitnya empat pewarta foto Kompas hadir bergiliran di peristiwa tersebut.
”Kami dapat semua dokumentasinya hingga yang berdarah-darah. Sampai terakhir, situasi kondusif dan tinggal bekas-bekasnya saja. Akhirnya, yang termuat adalah situasi yang kondusif,” kata Wakil Kepala Desk Foto Iwan Setyawan.
Momen puncak
Bagi seorang pewarta foto, momen puncak suatu peristiwa kerusuhan adalah waktu kerusuhan tersebut pecah, kondisi chaos, banyak korban, dan dampak lain yang terjadi. Bisa berada di tempat kejadian dan mengabadikan peristiwa tersebut merupakan kebanggaan sebagai pewarta foto. Namun, kebijakan redaksional yang ditentukan lewat rapat editor di ruang redaksilah yang menjadi juri final apakah karya foto jurnalistik tersebut dapat dimuat atau ”tidak laku”.
Dibanding foto yang termuat, foto unpublished ini jumlahnya jauh lebih banyak. Dalam sehari setidaknya Kompas menerima ratusan frame foto dari wartawan dan pewarta foto. Bahkan, ketika ada peristiwa besar, foto yang diterima bisa melonjak hingga lebih dari dua kali lipat.
”Satu momen liputan, biasanya sekitar 8-12 frame kalau hal biasa. Jika ada hal luar biasa, bisa 40-60 frame. Sebagai gambaran, Kompas setiap hari menerima dari 350 sampai 450 foto dari reporter, baik wartawan atau pewarta foto. Dari situ kira-kira akan naik sampai 100 persen, bahkan lebih ketika ada peristiwa besar seperti bencana alam,” kata Danu.
Namun, harian Kompas hanya membutuhkan 50-60 frame foto setiap edisinya. Jatah bagi pewarta foto berkurang karena ada foto dari kantor berita. ”Itu masih dikurangi dengan foto dari luar negeri, langganan dari wire,” ujar fotografer berinisial DNU ini.
Untuk penentuan foto yang akan dimuat, dilakukan rapat desk setiap sore untuk diajukan ke rapat redaksi. Dari situ, kemudian dipilih foto terbaik dan terkuat untuk dijadikan foto headline di halaman 1 Kompas.
Bagi wartawan yang fotonya tidak termuat, mereka tentu harus menerimanya. ”Ya sedih, tapi kemudian muncul pertanyaan, apa yang kurang dari foto saya? Kami menyadari karena kami harus berkompetisi dengan wartawan lain, atau karena alasan tertentu, foto kami tidak dimuat. Bukan berarti yang tak termuat itu bukan foto yang tak bernilai,” ujar Wisnu Widiantoro, salah satu pewarta foto Kompas.
Selain pertimbangan redaksional, hal lain yang menjadi alasan foto-foto ini tidak laku adalah karena keterbatasan tempat di koran dan selera fotografer yang mungkin dianggap kurang bisa diterima pembaca umum karena terlalu ”nyeni”.
”Selain kami tahu ada kode etik jurnalistik, itu sudah pasti, tapi untuk foto di Kompas itu dimuat atau tidak, ada nilai-nilai Kompas sendiri,” kata Iwan yang dikenal dengan inisial SET ini.
Tak lakunya sebuah karya foto jurnalistik bukan berarti foto tersebut jelek dan akhirnya menjadi sampah. Foto-foto tersebut tetap menjadi harta karun tak ternilai sebagai dokumentasi dan pencatat sejarah peradaban dan kehidupan manusia. Bahkan, kerap kali foto tersebut mempunyai nilai jurnalistik yang sangat tinggi. Hanya karena beberapa pertimbangan, foto tersebut akhirnya unpublished.
Atas dasar itu, para pewarta foto Kompas kemudian merilis sebuah buku fotografi yang berisi kumpulan foto yang tidak termuat di harian Kompas. Dengan adanya buku kumpulan foto ”tak laku” ini, diharapkan masyarakat umum lebih memahami kerja pewarta foto yang harus menjadi garda terdepan untuk memberikan informasi akurat ke khalayak umum. Foto ”tak laku” bukan berarti tak bernilai.