Blusukan di Lereng Gunung Sumbing
Satu... dua... tiga... Dorong... Ayo dorong sedikit lagi...!”
Meski napas saya hampir putus saat mendorongnya, ternyata mobil yang terperosok di sisi jalan akses menuju Sedengkeng Pass itu tidak bergerak sedikit pun. Mobil yang terperosok itu bukan mobil kami. Namun, sebelumnya, mobil itu bertemu muka dengan mobil kami sebelum akhirnya mobil itu terperosok di jalan yang sempit.
Saya, bersama seorang rekan wartawan Kompas, Gregorius Magnus Finesso, pun memutuskan turun dari mobil untuk membantu mereka. Ini urusan kemanusiaan. Siapa tahu, suatu hari nanti kami akan menghadapi kesulitan, dan membutuhkan pertolongan dari orang lain.
Hari Selasa (7/2) siang itu, kami sengaja blusukan di lereng Gunung Sumbing, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada kawasan dengan ketinggian 1.700 meter di atas pemukaan laut.
Kami berencana meliput beberapa obyek wisata alam di lereng gunung Sumbing dan Sindoro terkait kegiatan Kompas Bike-Jateng Gayeng. Kami memang takkan hanya meliput perjalanan pesepeda selama tiga hari dari Purwokerto hingga Kota Semarang (336 kilometer), tetapi juga dari sisi potensi alam, pariwisata, dan segala macam potensi perekonomian Jawa Tengah.
Nah, destinasi wisata pertama yang diliput adalah Sedengkeng Pass. Lokasinya hanya 21 kilometer (km) dari alun-alun Kabupaten Temanggung—tepatnya di Desa Petarangan, Kecamatan Kledung. Persoalannya, akses jalan menuju Sedengkeng Pass sangat sempit, berkerikil, dan menanjak.
Dari pos jaga yang merangkap loket penjualan tiket masuk, kami masih harus melewati permukiman dan perkebunan warga sejauh lima kilometer melalui jalan desa untuk mencapai Sedengkeng Pass. Lebar jalan kurang dari 3,5 meter sehingga dibutuhkan nyali dan teknik mengemudi yang mumpuni.
Hambatan menghadang saat kami pulang menuju Kota Temanggung. Mobil kami berpapasan dengan mobil milik Pemerintah Kabupaten Temanggung. Ketika itu, kabut gunung turun dengan tebalnya sehingga kami tidak melihat mobil itu datang dari arah berlawanan.
Rekan saya Gregorius, yang akrab kami sapa dengan inisialnya, Gre, untungnya sempat mengerem mendadak. Untung juga rekan Gre tidak membanting setir sebab justru mobil kami hanya akan masuk jurang. Untung sekali. Benar-benar beruntung.
Selama beberapa menit, kami hanya berhenti. Mobil kami jelas sulit untuk maju. Namun, untuk mundur, ya, kami juga ragu-ragu. Seberapa jauh kami harus mundur?
Setelah menganalisis sejenak, kami melihat tidak ada pilihan selain terus maju. Rekan Gre kemudian mengarahkan mobil kami sepinggir mungkin. Bahkan, roda depan mobil kami hanya beberapa inci saja dari tepi tebing yang justru ditanami. Semua ban kemudian diganjal dengan batu.
Di sisi lain, mobil Pemkab Temanggung juga tak dapat bergerak karena ban kiri sudah keluar dari badan jalan dan selip. Tidak ada jalan lain. Kami berdua dan ketiga penumpang mobil itu bersama-sama mendorong mobil mereka.
Pengemudi mobil pemkab itu menginjak pedal gas sedalam-dalamnya. Namun, mobil itu hanya meraung tanpa maju sedikit pun. Begitu berulang-ulang, dan kami pun nyaris menyerah.
Akhirnya muncul ide untuk mengganjal ban belakang yang selip dengan batu. Kami juga memunguti ranting-ranting pohon singkong di sekitar lokasi lalu menaruhnya di dibawah ban agar ban itu tidak lagi selip. Sedikit demi sedikit, roda mulai berputar. Kami kemudian kembali mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong bagian belakang mobil.
Setelah 45 menit, kami baru berhasil mendorong mobil itu keluar dari tepi jalan. Tubuh saya pun bermandi keringat. Setelah membersihkan diri, kami melanjutkan perjalanan.
Untuk memastikan kendaraan kami tidak mendadak ”bertemu muka” dengan mobil dari arah bawah, saya berulang-ulang turun dari mobil. Terutama, jika kami hendak memasuki tikungan tajam atau turunan curam yang tiba-tiba berbelok. Mobil kami bahkan beberapa kali melaju di punggung gunung yang terjal di kanan-kiri.
Perjalanan yang penuh drama ini adalah harga yang harus dibayar setelah kami tiba di Sedengkeng Pass. Di lokasi itu, napas saya juga hampir putus. Bukan putus karena kelelahan, melainkan karena harus menahan napas saat menyaksikan keindahan alam.
Di Sedengkeng Pass, saya menyaksikan pemandangan awan bergerak menutupi puncak Gunung Sindoro yang berlokasi di seberang Gunung Sumbing. Di balik awan, sinar matahari juga terlihat mencoba mengintip. Dari ketinggian 1.823 meter dari permukaan laut (mdpl) itu juga terlihat hamparan kebun sayur dan buah, yang ditanam mengikuti kontur lereng Gunung Sumbing.
Relasi Baru
Sambil turun dari Sedengkeng Pass, kami menyusuri kawasan lereng Gunung Sumbing. Kami keluar masuk desa untuk mengeksplorasi kehidupan di sana. Setelah merasa cukup menjelajah, kami kemudian menuju kantor desa setempat untuk wawancara terkait destinasi wisata Sedengkeng Pass. Penduduk setempat pun mengarahkan kami ke kantor desa Petarangan.
Begitu kami tiba di kantor desa itu, ternyata kepala desanya adalah Jumarno, yang pernah kami temui beberapa jam sebelumnya. Siapakah Jumarno? Ternyata, beliau sebelumnya sama-sama mendorong mobil dengan kami. Beliau adalah salah satu penumpang mobil yang berpapasan dengan kami!
”Lucu, ya, pas kita tadi dorong mobil. Saya enggak tahu kalau Mas dan Mbak itu wartawan,” kata Jumarno, tertawa. Dia tak menyangka ada beberapa wartawan yang nekat menyusuri jalan sempit di lereng Gunung Sumbing.
Karena kami tadi saling membantu, obrolan sore itu di kantor kepala desa menjadi hangat. Dengan terbuka, Jumarno menceritakan kondisi desa terbaru dan potensinya. Dia juga mengakui minimnya infrastruktur yang menghambat pengembangan pariwisata yang dikembangkan secara swadaya oleh warga desa itu.
Hal yang paling saya sukai dari setiap perjalanan kebetulan adalah mendapatkan teman baru dari lintas profesi dan latar belakang. Hingga kini, Jumarno kerap menginformasikan terkait perkembangan obyek wisata di desa. Pertemuan dengan Jumarno makin membuka wawasan saya tentang wilayah Gunung Sindoro dan Sumbing.
Dari Temanggung, kami melanjutkan perjalanan ke Purwokerto. Kami sengaja mengambil dinas luar kota selama enam hari untuk menggarap tulisan potensi daerah di Semarang-Temanggung, Wonosobo, Magelang, dan Purwokerto. Seperti penjelajahan sepeda Kompas sebelumnya, kami juga memotret potensi dan problematika di sepanjang daerah yang dilalui dengan bersepeda.
Saya merasa beruntung dapat menjelajahi sejumlah daerah yang belum pernah saya kunjungi. Di lereng Gunung Sindoro, saya mengamati geliat perkebunan kopi yang dikembangkan petani lokal. Tidak hanya di Temanggung, budidaya kopi juga naik daun di Wonosobo. Saya pun berkenalan dengan para petani dan pengepul kopi setempat.
Perjalanan di Jawa Tengah ini begitu menarik. Tiap warga yang saya temui begitu ramah. Selama enam hari perjalanan, saya juga kerap diberi oleh-oleh berupa hasil produk pertanian oleh para petani dan perajin. Nilai oleh-oleh itu tentu tidak seberapa meski pemberian yang tulus itu tentu saja saya hargai.
Bahkan, terkadang, warga memaksa kami makan bersama karena mengetahui jauhnya perjalanan kami. Makanan yang disajikan juga terkadang begitu sederhana, tetapi justru sangat mengesankan.
Keluarga Baru
Ketika peliputan pra-gowes begitu menguras keringat dan adrenalin, di sisi lain saya mendapatkan pengalaman yang mengasyikkan saat acara Kompas Bike-Jateng Gayeng. Dalam ajang Kompas Bike-Jateng Gayeng 2017, saya dapat berkenalan sekaligus belajar dengan banyak peserta. Para pesepeda ternyata datang dari berbagai latar belakang mulai dari karyawan swasta, pengusaha, dokter, pilot, hingga artis.
Sebagian pesepeda juga telah saling mengenal karena sering mengikuti kegiatan sejenis yang diselenggarakan Kompas. Para peserta ajang Kompas Bike Ini bahkan seperti sebuah keluarga besar.
Beberapa kali, saya tergoda ingin ikut bersepeda. Namun, saya punya tanggung jawab untuk menulis laporan perjalanan sehingga harus membuat saya mesti menjaga energi.
Meski tanpa bersepeda, kedekatan saya dengan para peserta tidak berkurang. Dari atas mobil saya selalu menyemangati mereka untuk terus menggowes.
”Ayo Pak Roy... semangat! Jangan menyerah...!” teriak saya, saat Leroy Osmani, salah satu pesepeda tampak lelah mengayuh pedal di jalur menanjak. Karena berbeda generasi, saya sempat tidak memahami kalau Leroy Osmani adalah artis film dan sinetron.
Setelah saya berselancar di internet, baru kemudian saya paham kalau Roy pernah bermain di sejumlah film layar lebar. Ambil contoh, Catatan Si Boy, Pernikahan Dini, Ramadhan, dan Ramona. Roy juga biasa berperan sebagai tokoh antagonis di banyak sinetron.
Bersama para pesepeda selama tiga hari, saya jadi banyak paham karakter mereka. Ada yang pendiam, tetapi di sisi lain ada yang ramai dan senang bercanda. Ada pula yang melaju cepat sebaliknya ada yang suka swafoto. Ada pula pesepeda yang merasa kuat sehingga selalu mendahului rombongan.
Terlepas dari karakter mereka yang beranekaragam ternyata ketika di lapangan mereka saling menjaga. Hal itu terutama jika ada pesepeda yang tidak kuat sehingga harus dievakuasi. Bahkan, ada saja pesepeda yang berusaha memotret teman mereka yang menyerah dan harus dievakuasi atau ditarik mobil panitia saat kaki-kakinya tidak sanggup lagi.
Salah satu peserta, Okto, selalu berkelakar paling keras jika melihat pesepeda yang tidak kuat dan dievakuasi. ”Lebih baik dituntun sepedanya. Kalau sampai dievakuasi dan ketahuan teman lain, malunya sampai dibawa tidur,” ujar peserta senior ini sambil tertawa.
Meski Kompas Bike-Jateng Gayeng 2017 hanya berlangsung tiga hari, tetapi ajang gowes ini sangat berkesan bagi saya, yang terbilang jurnalis baru ini. Saya pun mengucapkan selamat bagi para pesepeda yang berhasil menuntaskan perjalanan sejauh 336 kilometer. Selamat bagi mereka.
Di sisi lain, saya juga merayakan perjalanan yang penuh pengalaman ini. Selain menunaikan tugas peliputan dengan baik, saya menjadi lebih memahami wilayah kerja saya di Jawa Tengah. Saya juga menjalin relasi baru dengan banyak orang dan juga mendapatkan banyak sahabat. Perjalanan ini merupakan salah satu bekal berharga di awal perjalanan saya sebagai seorang jurnalis.(*)