Merasakan Adrenalin ”Terbang” di Simpang Susun Semanggi
Adrenalin yang saya maksud tentu saja tidak terkait dengan soal berkendara atau berjalan di Simpang Susun Semanggi, Jakarta. Namun, terkait pengalaman saya memotret Simpang Susun Semanggi dengan menggunakan pesawat tanpa awak atau drone.
Tentu saja, ini bukan pengalaman kali pertama saya untuk memotret dengan drone. Sebelumnya, saya pernah menggunakan drone memotret kawasan di perumahan Bumi Serpong Damai (BSD) di Tangerang.
Pengabadian foto udara atau aerial diperlukan untuk menggambarkan perubahan kawasan BSD dari kebun karet menjadi kawasan permukiman, pusat bisnis, perkantoran, hingga ruang pamer yang besar.
Pengalaman lain adalah, saat memotret Situ Rompong di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, dan sejumlah tempat lainnya. Meski demikian, pemotretan-pemotretan sebelumnya saya lakukan saat ruang udara relatif kosong. Belum banyak gedung bertingkat ataupun bangunan tinggi sehingga pemandangan yang didapat begitu luas. Arus lalu lintas juga tidak ramai di lokasi pemotretan.
Pada sejumlah pemotretan udara sebelumnya, saya juga terbiasa menggunakan DJI Phantom 3 dan tidak pernah ada kendala berarti. Sinyal dari drone yang diterima remote control juga umumnya memperlihatkan indikator warna hijau alias aman untuk terbang.
Sesekali memang ada peringatan kedip lampu merah di telepon seluler sebagai peringatan sinyal lemah. Sinyal lemah biasanya disebabkan karena drone terbang terlalu tinggi, terlalu jauh, atau karena ada gangguan sinyal. Adapun gangguan sinyal biasanya disebabkan oleh transmiter pemancar radio komunikasi atau pemancar lainnya.
Pada pemotretan di Semanggi, saya menghadapi kondisi yang berbeda jauh dengan apa yang saya hadapi pada pemotretan aerial sebelumnya. Saya juga menggunakan drone DJI Phantom 4. Teknologi Phantom 4 jelas lebih bagus ketimbang Phantom 3. Terlebih lagi, fitur baru disematkan. Namun, para wartawan foto Kompas menilai kalau Phantom 4 lebih mudah kehilangan sinyal daripada Phantom 3.
”Terbang” di Semanggi
Saya juga sempat bertanya kepada beberapa wartawan foto Kompas, apakah sudah pernah ada yang ”terbang” di Semanggi?
Wawan H Prabowo, salah seorang wartawan foto Kompas mengatakan, penerbangan drone di Semanggi tidak terlalu direkomendasikan. ”Gangguannya banyak, sinyal mudah hilang,” ujar Wawak, demikian kami biasa menyapanya di kantor Kompas.
Seorang kawan lain, Hendra Setiawan, juga berpendapat ”penerbangan” di Semanggi sangat riskan. Hendra pernah mengalami masalah saat menerbangkan drone di Semanggi sehingga dia juga tidak merekomendasikannya.
Di sisi lain, seorang kawan pewarta foto, Lucky Pransiska, pernah sukses ”terbang” di Semanggi dan Pancoran. Namun, dia menyarankan supaya saya tetap berhati-hati dalam menerbangkan drone di kawasan itu.
Singkat kata, setelah berdiskusi dengan beberapa teman sesama wartawan foto Kompas, saya memutuskan untuk ”terbang” di Semanggi. Saya punya keinginan kuat memotret Simpang Susun Semanggi yang dibangun pada era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan Wagub Djarot Saiful Hidayat.
Saya pun menyusun persiapan yang matang. Sebelum ”terbang” di Semanggi, saya sempat menguji dan berlatih mengoperasikan Phantom 4 di sekitar kantor Kompas di Palmerah, Jakarta. Latihan tersebut berlangsung lancar dan tidak ada gangguan yang berarti.
Kemudian, saya putuskan untuk memotret pada hari Senin (24/4/2017). Baterai drone, remote control, dan telepon pintar saya isi ulang baterainya. Semua perlengkapan lain, seperti kabel, saya periksa satu per satu untuk memastikan tidak ada yang terlupa untuk dibawa.
Setelah persiapan dituntaskan, ternyata Senin itu sekitar pukul 15.00 hujan deras mengguyur Jakarta. Saya sempat khawatir. Bagaimana jika hujan tidak kunjung reda? Syukurlah, sekitar pukul 16.00 hujan pun reda.
Pukul 16.30, saya berangkat dari kantor Kompas menuju lokasi yang sudah saya incar di Semanggi. Siang hari sebelumnya, saya sempat survei mencari lokasi yang nyaman dan aman untuk memulai penerbangan drone.
Trotoar di sekitar Hotel Sultan telah menjadi pilihan saya. Ada satu titik yang agak lapang berukuran sekitar 4 meter x 5 meter persegi, yang sebenarnya merupakan pintu masuk ke kawasan hotel meski kini tidak digunakan.
Di dekat lokasi tersebut, ada tiang dengan beberapa bulatan seperti transponder. Saya tidak dapat memastikan apa nama dan kegunaan perangkat tersebut meski tetap mewaspadainya. Di sisi utara jalan terdapat jaringan listrik tegangan tinggi milik PLN yang juga sudah saya tandai sebelumnya. Hari itu, lalu lintas untungnya tidak terlalu ramai karena bertepatan dengan libur Isra Mi’raj.
Pada pukul 17.06, drone akhirnya mulai mengangkasa. Bersamaan dengan itu, langit mulai cerah meski matahari masih malu-malu memperlihatkan diri. Saya menerbangkan drone itu lebih kurang selama delapan menit. Beberapa sudut foto saya peroleh dengan ketinggian jelajah drone sekitar 50 meter atau setara ketinggian gedung 16 lantai.
Saat mencoba terbang lebih tinggi, peringatan kalau sinyal lemah pun mulai muncul. Saya kemudian memutuskan untuk mendaratkan pesawat nirawak itu.
Beberapa foto saya unduh kemudian saya langsung kirim ke editor foto Kompas. Melihat foto-foto yang saya kirimkan, sang editor memutuskan untuk menjadikan foto Simpang Susun Semanggi sebagai HL 1 atau foto utama di halaman 1 Kompas.
Dijanjikan foto saya tampil di halaman 1 harian Kompas, saya tertantang untuk kembali memotret demi mendapatkan foto yang lebih bagus. Saya memutuskan untuk menerbangkan kembali drone saat matahari tenggelam, lampu-lampu gedung mulai menyala dan lampu kendaraan yang melintas baik di jalan tol maupun Jalan Gatot Subroto juga sudah dinyalakan.
Sekitar pukul 17.55, drone kembali terbang. Sebelumnya, saya sempat mengganti baterai drone dengan baterai cadangan. Kamera juga sudah saya setel ulang menyesuaikan dengan kondisi sekitar yang mulai gelap. Kecepatan rana saya perlambat, dan asa atau iso saya naikkan untuk mendapatkan gambar yang terang.
Kehilangan Kendali
Perlahan-lahan, drone saya terbangkan untuk mendapatkan sudut dan ketinggian yang pas. Beberapa momen mulai saya abadikan. Ketika mau menaikkan ketinggian drone dan mencari sudut lain, tiba-tiba muncul peringatan kalau sinyal hilang. Telepon pintar saya tidak bisa mendapatkan gambar dari kamera di drone. Perasaan waswas mulai muncul meski saya mencoba untuk tenang.
Saya mencoba menggerakkan drone ke atas saya. Namun, drone tidak juga bergerak. Tidak merespons. Pesawat nirawak itu tetap pada posisinya. Waduh, apakah saya telah ”kehilangan” drone senilai hampir Rp 20 juta ini?
Saya juga mengaktifkan tombol ”return to home” di remote. Tombol ini untuk mengembalikan posisi drone di atas titik awal terbang. Akan tetapi, upaya itu juga tetap tidak mendapatkan respons sama sekali dari drone.
Hampir selama beberapa menit, saya kehilangan kendali. Saya mencoba pula untuk fokus pada posisi drone sambil berharap pesawat itu tidak jatuh ke jalan atau terbang entah ke mana. Saya juga memelototi berbagai pesan yang muncul di layar monitor telepon seluler saya.
Tiba-tiba, lampu sinyal di layar telepon seluler berubah hijau. Sinyal drone kembali tertangkap remote. Pelan-pelan saya mencoba menggerakkan tuas pada remote dan drone itu pun kembali bergerak sesuai perintah.
Tidak mau mengambil risiko, drone itu saya daratkan. Saya memutuskan untuk mengakhiri penerbangan pada sore menjelang malam itu. Kemudian, setelah berkemas, saya kembali ke kantor dan mengirimkan foto-foto yang saya peroleh untuk ditampilkan di halaman satu Harian Kompas.
Hari Selasa (25/4/2017) pukul 24.00, proyek Simpang Susun Semanggi—terutama yang berbentuk lingkaran itu, telah tersambung dengan sempurna.
Persiapan Matang
Pelajaran dari pengalaman menerbangkan drone selama ini adalah bahwa kehadiran pesawat tanpa awak tentunya sangat membantu dan mempermudah pekerjaan wartawan untuk memotret, termasuk pemotretan jalan layang ini, meski dapat saja saya menaiki gedung tinggi di sekitar proyek tersebut. Namun, dengan menggunakan drone, sudut pengambilan foto tentunya jauh lebih variatif karena drone lebih leluasa bergerak mengambil foto dari berbagai sudut.
Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah pengoperasian drone harus didukung pemahaman terhadap prinsip kerja alat ini. Pesawat nirawak ini dikendalikan secara nirkabel oleh frekuensi radio pada gelombang 2,4 gigahertz.
Artinya, 100 persen alat ini sangat bergantung pada komunikasi gelombang radio antara alat pengendali (remote control) dan drone tersebut. Untuk tempat-tempat tertentu, seperti yang saya sampaikan di kawasan BSD, distorsi frekuensi atau gangguan frekuensi radio jauh lebih rendah dibandingkan dengan di Jakarta, khususnya di kawasan Semanggi.
Nah, ketika ada banyak menara BTS, tiang listrik, pemancar radio hingga gedung pencakar langit, tentu saja ada potensi lebih besar untuk mengintervensi frekuensi radio drone yang sedang kita operasikan. Tidak kalah penting juga soal cuaca, tingkat radiasi matahari, kekuatan angin, dan ketebalan awan.
Saat angin bertiup kencang dan membentur gedung-gedung pencakar langit, terkadang juga menimbulkan gulungan angin atau dorongan angin ke atas. Atas dasar itu, saya akan menghindari terbang terlalu dekat dengan gedung-gedung pencakar langit.
Untuk menerbangkan drone, yang pertama perlu dipersiapkan adalah kondisi drone dan perlengkapannya. Baterai harus dipastikan dalam keadaan penuh dan dalam kondisi baik. Untuk drone yang saya pergunakan, rata-rata baterai dalam kondisi penuh dapat terbang dan kembali ke posisi semula selama lebih kurang 19-25 menit.
Semakin tinggi terbang dan semakin banyak bermanuver, akan semakin boros baterai terkuras. Kedua, perlu diperiksa kondisi baling-baling (propeller). Jika kelenturan masih baik dan tidak ada cacat fisik, baling-baling masih layak digunakan, tetapi jika terdapat cacat fisik—baik berlubang atau terdapat sayatan—yang berpotensi mengganggu kerja baling-baling, ada baiknya baling-baling diganti.
Ketiga, memastikan kamera berfungsi dengan baik tanpa gangguan, kartu memori terpasang dan memiliki kapasitas yang cukup untuk menyimpan gambar yang dibutuhkan.
Aturan penerbangan
Tidak semua lokasi dengan leluasa dapat menjadi lokasi terbang drone. Terlebih pemerintah melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 dengan tegas membagi ruang udara dan membatasi ruang gerak drone.
Ketinggian drone yang dioperasikan masyarakat sipil, termasuk wartawan seperti saya, dibatasi ketinggian hanya 500 kaki atau 150 meter. Jika menerbangkan drone di Jakarta juga perlu berhati-hati karena tidak jarang helikopter kepolisian atau helikopter sipil melintas rendah dan mendarat di gedung-gedung pencakar langit.
Lokasi-lokasi seperti pangkalan militer, kompleks kedutaan besar, bandar udara, atau landasan terbang jelas merupakan lokasi terlarang bagi penerbangan drone. Khusus untuk di bandara, misalnya, penerbangan drone dapat mengancam keselamatan penerbangan dengan ancaman hukum pidana.
Jika lokasi penerbangan drone merupakan kawasan yang aman untuk terbang, pastikan di sekeliling lokasi terbang jauh dari berbagai benda yang menghalangi, seperti pohon, kabel, tiang listrik, dan bangunan tinggi. Lebih baik lagi jika Anda dapat menerbangkan drone dari lokasi yang lapang dan terbuka.
Lakukan prosedur menerbangkan pesawat sesuai buku petunjuk manual dan instruksi yang telah disediakan. Pastikan pula sistem GPS mengunci posisi terakhir drone sebelum kita menerbangkannya. Jika mendadak drone tidak bisa dikendalikan karena frekuensi radio mengalami gangguan, cobalah untuk bergeser maju atau mundur sehingga membentuk sudut 45 derajat antara posisi kita dan drone.
Sebelum berkarya dengan drone, ingatlah selalu untuk terbang dengan aman dan selalu menaati aturan!