Terancam Ditelan Samudra hingga Ditembak Mati dalam Peliputan
Mendung menggelayut membungkus sisi timur Pulau Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, pada Sabtu (8/4/2017) pagi. Sinar mentari pagi tak mampu menerobos pekatnya awan yang belum juga memudar dari langit Nusalaut seminggu terakhir. Di tengah mendung menyambut hujan itu, sebuah perahu motor hendak bertolak ke Pulau Saparua.
Pulau Saparua tentu bukan pulau yang asing bagi kita. Dalam pelajaran sejarah, nama pulau itu selalu disebut-sebut karena pada tahun 1817, Kapitan Pattimura berhasil merebut benteng Duurstede di pulau itu dari tangan kolonial Belanda.
Jarak antarpulau Nusalaut dan Saparua pun hanya sekitar 22,2 kilometer, yang dapat ditempuh selama satu jam pelayaran dengan perahu motor.
Ketika berjalan menuju pesisir, saya melihat sebuah perahu motor yang tertambat agak jauh, kira-kira 50 meter dari pesisir. ”Itu perahu yang katong (kita) akan pakai ke Saparua,” kata Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri Nusalaut Carel Silahoy. Bersama Carel, saya hendak ke Pulau Saparua untuk mengambil bahan ujian nasional.
Carel kemudian menanggalkan sepatu dan menggulung kaki celana sebelum berjalan di dalam air menuju perahu.
Saya membiarkan Carel berjalan sendirian menuju perahu. Saya memilih berdiam dulu di pantai sambil memotret Carel dan beberapa penumpang dari belakang. Saya bahkan berganti posisi beberapa kali untuk mengabadikan momen dari sudut terbaik.
Ketika saya hendak menanggalkan sepatu, tiba-tiba dari arah darat muncul belasan orang yang kebanyakan para ibu dan anak-anak yang membawa komoditas lokal seperti sagu. Tampaknya, mereka hendak ke Pasar Saparua naik perahu yang juga hendak saya gunakan. Saya sedikit bergegas. Melihat perahu yang mulai dipenuhi penumpang, tampaknya kami segera berangkat.
Bertaruh Nyawa
Namun, tiba-tiba, setelah rombongan besar itu berlalu, datang lagi hampir 10 orang juga hendak menumpang perahu tersebut. Saya kemudian diam berdiri seraya bertanya dalam hati, ”Apakah perahu kecil itu mampu menampung orang sebanyak itu?”
Embusan angin kencang membawa rintik hujan mulai membasahi tubuh. Saya kembali mempertimbangkan, apakah jadi berangkat atau tidak dengan perahu itu di tengah kondisi cuaca yang agak membahayakan. Saya berulang-ulang memandang lautan untuk menakar potensi bahaya dari tingginya gelombang. Apalagi, dari cerita warga setempat, saya mengetahui kalau ketinggian gelombang laut dapat mencapai lebih dari dua meter.
Liputan di daerah memang terkadang harus bertaruh nyawa. Andai saja ada moda transportasi lain yang lebih dapat diandalkan, saya pasti memilihnya. Andai saja ada penerbangan perintis, saya juga pasti memilih terbang. Namun, pilihan itu tidak ada. Dan, inilah keseharian yang harus dihadapi oleh masyarakat setempat.
Ketika mereka naik perahu motor, misalnya, apakah diberikan tiket sebagai bukti transaksi untuk naik angkutan umum laut. Ketika perahu itu akhirnya tenggelam, bagaimana dengan kejelasan manifes kapal dan pengurusan asuransinya? Serba tidak jelas.
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan itu, akhirnya saya memutuskan untuk tetap melaut menuju Pulau Saparua. Sebuah liputan yang baik sesungguhnya hanya didapat jika kita berangkat ke lapangan. Sebuah peristiwa hanya dapat dilukiskan dengan baik jika sang wartawan dapat melihat, mendengar, dan merasakan langsung suatu peristiwa.
Jelas hasil liputan dari lapangan akan sangat berbeda jika saya hanya duduk-duduk saja di Pulau Nusalaut kemudian sekadar mendengar cerita dari Carel.
Saya kemudian tidak hanya melepaskan alas kaki, tetapi juga mencopot celana panjang dengan hanya menyisakan celana pendek. Hal ini berbeda dengan para penumpang pria lain yang hanya melepas alas kaki dengan tetap memakai celana panjang.
Mengapa demikian? Saya telah memikirkan skenario terburuk. Apabila perahu itu tenggelam, saya rasa lebih mudah berenang dengan celana pendek daripada dengan celana panjang. Saya pikir celana panjang akan membebani saya jika terpaksa harus berenang di tengah laut.
Namun, ketika tiba di sisi perahu, saya kembali terkejut. Sebanyak 25 penumpang sudah berjubel di dalam perahu itu. Padahal, panjang tersebut hanya 7 meter dengan lebar 1,4 meter.
Perahu sekecil itu biasanya paling banyak hanya mengangkut 15 penumpang. Dan, ketika saya beserta dua awak perahu mulai menaiki perahu, perahu itu kini dibebani oleh 28 penumpang!
Tiap tiga penumpang duduk menghadap ke depan di atas satu potongan papan yang disusun dari depan ke belakang. Jarak antartempat duduk itu hanya 40 sentimeter. Posisi duduk sudah diatur berdasarkan bobot tubuh agar perahu tetap seimbang.
Penumpang tidak boleh berganti posisi seenaknya apalagi berdiri dan berjalan-jalan selama pelayaran. Sebab risikonya adalah perahu akan hilang keseimbangan dan tenggelam.
Pelayanan semacam itu sebenarnya sangat berisiko. Meski saya lahir di pesisir, tetapi nyali saya pun sempat ciut. Saya tentu bisa berenang, tetapi berenang di tengah laut itu hal berbeda. ”Seng apa-apa. Gelombang seng besar (tidak apa-apa. Gelombang tidak besar),” ujar Carel, menguatkan saya. Mungkin, Carel juga sempat melihat ”mendung” di wajah saya.
Agar tidak berdesakan dan mudah memotret, saya diizinkan oleh pengemudi perahu untuk duduk di haluan menghadap ke arah penumpang lain. Saya duduk di tumpukan atas tali dan dekat jangkar perahu meski tidak juga terlalu leluasa untuk bergerak.
Sekitar pukul 07.00 WIT, mesin motor dihidupkan dan perahu ini mulai bergerak. Secara bersamaan, angin kencang yang membawa hujan pun menerpa. Laut yang tadinya teduh mulai bergelombang dengan ketinggian sekitar 50 sentimeter. Beberapa penumpang mulai menggunakan potongan terpal untuk sekadar melindungi kepala. Ada pula penumpang yang membuka payung, meski Carel, saya, dan beberapa penumpang lain hanya pasrah di bawah perahu tanpa atap itu.
Supaya tidak rusak terkena hujan, kamera saya masukkan ke dalam tas dan tas itu saya titipkan ke salah satu penumpang yang berlindung di balik terpal itu.
Saat perahu mulai melaju sesungguhnya salah satu mesin masih diperbaiki hingga sekitar dua kilometer perjalanan. Supaya waktu tidak terbuang, perbaikan dikerjakan oleh seorang awak kapal sambil kapal melaju. Dan, setelah perbaikan itu selesai, perahu motor itu pun langsung melesat.
Perahu motor dari bahan fiber itu dibekali dengan dua mesin yang masing-masing bertenaga 40 tenaga kuda (PK). Ternyata pula, seperti kata Carel, kami tiba selamat hingga Pulau Saparua meski saya sedikit cemas.
Begitu berlabuh di Saparua, pada awal April 2017 itu, kami sempat menunggu bahan ujian tiba dari Pulau Ambon. Setelah menunggu selama dua jam, bahan ujian pun tiba. Saya lalu ikut menjemput bahan ujian di SMA N 1 Saparua.
Setelah selesai urusan administrasi, kami kembali ke tambatan perahu dan kembali berlayar menuju Nusalaut. Pelayaran siang itu tak banyak hambatan. Tidak ada lagi hujan seperti beberapa jam sebelumnya. Selama pelayaran, kami hanya perlu menangkis tempias air laut, dan juga panas terik. Bahan ujian pun selamat sampai tujuan. Carel tersenyum lebar saat perahu merapat kembali ke Nusalaut.
Penembakan misterius
Selama satu minggu, saya meliput pelaksanaan ujian akhir nasional mulai tingkat SMK hingga SMA di Nusalaut di Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Untuk menuju Pulau Nusalaut, dari Ambon saya harus naik mobil sejauh 25 kilometer kemudian naik perahu motor selama 1,5 jam. Nusalaut pun kira-kira berjarak 58 kilometer arah tenggara Ambon.
Di Nusalaut, di pulau kelahiran pahlawan nasional Martha Christina Tiahahu, itu hanya ada satu penginapan di Desa Ameth dengan fasilitas seadanya.
Pulau Nusalaut secara administratif terbagi tujuh desa dengan jumlah penduduk sekitar 6.000 jiwa. Ada jalan lingkar di pulau itu sepanjang 24 kilometer. Jadi, Nusalaut jelas tidak terlalu luas untuk diliput. Berkeliling di pulau itu sebenarnya tidaklah terlalu menantang.
Persoalannya, selama tahun 2016, terdapat dua kali penembakan misterius di Pulau Nusalaut. Akibat penembakan tersebut dua orang tewas tertembak. Dan, hingga kini, kasus itu tetap misterius dan tidak juga terpecahkan.
Selama meliput, beberapa kali saya meminta seorang pemuda setempat untuk mengawal saya. Meski terkadang, saya mengeksplorasi pulau itu sendirian karena canggung juga diikuti orang saat wawancara.
Saat hendak meninggalkan Nusalaut, Senin (10/4/2017), Carel berpesan agar tantangan dan masalah pendidikan di Nusalaut dapat diketahui banyak orang terutama diketahui pemerintah pusat dan daerah.
Persoalan pendidikan itu telah terangkum di Harian Kompas edisi Rabu 12 April 2017 dengan judul ”Suara dari Pulau Terpencil”. Tulisan itu menjadi penghormatan saya terhadap perjuangan para guru dan siswa di daerah terpencil.
Namun, perjalanan reportase ini juga membuka mata saya atas persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat setempat. Persoalan yang belum tentu dialami masyarakat di perkotaan, yakni persoalan mulai dari tantangan dalam pelayaran antarpulau hingga penembakan misterius yang tetap menjadi misteri! (*)