Longsor Ponorogo: Siap Tidak Siap, Ya Harus Siap...
SABTU (1/4/2017) pukul 13.00. Tiga jam sebelum terbang kembali ke Jakarta, saya sudah siap untuk terbang. Barang bawaan sudah dikemas rapi di dalam tas. Aneka oleh-oleh, baik untuk keluarga maupun pesanan teman kantor, sudah ditata rapi. Bahkan, sate buntel khas Solo siap diangkut untuk makan malam di rumah.
Dalam bahasa Jawa, perjalanan Solo ke Jakarta itu ibaratnya tinggal ”nyengklak” pesawat. Namun, nasib berkata lain, instruksi dari Kepala Desk Visual Danu Kusworo membuat tiket pesawat seharga lebih dari Rp 700.000 itu hangus. Tiket itu saya beli pada hari Sabtu (1/4) pukul 09.00.
Sebagai wartawan foto yang saat itu berada paling dekat dengan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, saya ditugaskan oleh Desk Visual untuk segera menuju lokasi bencana tanah longsor di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Informasi awalnya, sebanyak 28 warga tertimbun tanah longsor.
Sebuah bencana tanah longsor besar, jelas layak direspons dan diberitakan. Tanpa banyak persiapan—bahkan bisa dikatakan tidak siap—saya melaju ke Ponorogo setelah meminjam mobil kakak sepupu.
Sehari-hari, saya merupakan wartawan foto harian Kompas yang ditugaskan di Istana Kepresidenan. Tugas pokok saya adalah meliput kegiatan Presiden Joko Widodo.
Mengapa hari itu saya di Solo? Kebetulan, harian Kompas sedang mempersiapkan liputan terkait Istana Kepresidenan. Jumat (31/3), saya ditugaskan memotret Istana Kepresidenan di Yogyakarta. Liputan itu adalah liputan semiresmi dan berlangsung hingga Sabtu (1/4/2017).
Dalam kondisi seperti itu, apalagi dalam rentang waktu singkat, dan tanpa banyak berpindah lokasi, persiapan saya tidak banyak. Saya hanya mempersiapkan sepatu resmi, dua kemeja, dua celana panjang, dan dua kaus oblong. Jaket tidak saya bawa, apalagi perlengkapan mandi, seperti handuk, karena toh saya menginap di hotel.
Liputan Istana Kepresidenan di Yogyakarta berjalan baik. Seizin kepala desk, Jumat (31/3) malam, saya menuju Solo untuk menjenguk orangtua. Sekitar pukul 01.00 dini hari, saya tiba di Solo dan langsung beristirahat. Ketika hampir tiba waktunya untuk menuju bandara, rencana itu berubah.
Rencana berubah
Sebuah pesan berisi informasi terkait bencana tanah longsor di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, dari Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengubah rencana saya.
Ketika membaca informasi itu, secara otomatis saya langsung bereaksi di grup Whatsapp Desk Visual Kompas. Respons pertama saya adalah, ”Posisi saya di Solo”, kemudian ”Sudah pegang tiket pesawat ke Jakarta untuk pukul 16.00”.
Tentu saja, sebagai manusia biasa, saya ingin segera pulang ke Jakarta dan bertemu keluarga. Namun, di sisi lain, sebagai wartawan foto, saya harus melapor bahwa saya adalah orang yang berada terdekat dengan lokasi longsor dengan jarak sekitar 120 km.
Keputusan untuk menugaskan orang tentu tidak berada di tangan saya. Namun, jika dihitung dari sisi jarak dan waktu tempuh, ”tiket” liputan tanah longsor itu hampir pasti jatuh ke tangan saya. Perhitungan saya tepat. Tidak lama kemudian, saya ditugaskan bergerak ke Ponorogo, lokasi bencana longsor.
Berbekal informasi awal itu, saya mencari informasi lebih detail lewat teman-teman wartawan foto di Solo. Mereka menginformasikan benar terjadi bencana longsor dengan jumlah korban 28 orang, dan saat itu belum dilakukan pencarian korban. Lewat aplikasi peta dalam jaringan internet, saya mengetahui perkiraan lokasi bencana—walaupun belum terbayangkan kondisi medan.
Ketika mencari informasi terkait longsor, seorang wartawan foto lepas dari kantor berita asing yang bertugas di Solo dan sekitarnya meminta supaya dapat ikut menuju lokasi bencana. Saya mengizinkannya karena dapat menjadi teman diskusi terkait lokasi longsor selama perjalanan.
Sekitar pukul 15.00, kami melaju menuju Ponorogo dengan rute Solo-Sukoharjo-Wonogiri-Ponorogo. Sepanjang perjalanan, kami tidak lupa selalu mengecek perkembangan di lokasi longsor. Informasi dikumpulkan mulai dari relawan-relawan yang siap berangkat, berapa jauh kami harus berjalan kaki, hingga lokasi pengungsian yang terpisah-pisah mulai mengalir lewat teman seperjalanan saya.
Selama perjalanan, kami juga memikirkan persiapan logistik yang harus dibawa. Minuman, makanan, antiseptik, sandal, obat-obatan ringan, dan perlengkapan lain, kami beli dalam perjalanan. Bahkan, kami sengaja membeli banyak minuman dan makanan seandainya di sekitar lokasi bencana tidak terdapat warung ataupun toko.
Setelah hampir empat jam perjalanan, kami tiba di depan kantor Desa Wagir Kidul, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Di samping kantor kelurahan itu terdapat jalan sempit untuk menuju lokasi longsor. Dari informasi awal, kami harus menyusuri jalan itu sejauh 2 km untuk mencapai lokasi bencana.
Jalan kaki menuju lokasi
Setelah mendapatkan lokasi parkir, kami langsung mempersiapkan diri untuk berjalan menuju lokasi longsor. Saat itu, saya hanya berpikir untuk membawa air mineral dan sejumlah makanan, selain perlengkapan untuk liputan dan alat pengiriman foto.
Tantangan untuk mendapatkan foto lokasi longsor ataupun posko pengungsian mendorong saya untuk berjalan kaki menuju lokasi bencana pada malam itu juga. Foto itu sangat dibutuhkan untuk melengkapi berita terkait longsor Ponorogo.
Hanya dalam 100 meter pertama, saya menyadari persiapan kami kurang matang. Perlengkapan standar, seperti senter dan jas hujan, tidak saya bawa. Jarak pandang akhirnya menjadi kurang dari 5 meter karena gelap gulita, kami harus melangkah dengan berhati-hati supaya tidak terperosok ke sawah atau parit.
Daya baterai telepon seluler yang masih sekitar 50 persen menjadi penyelamat kami. Secara bergantian, kami menyalakan senter di HP kami untuk menapaki jalan, yang katanya sejauh 2 kilometer itu.
Satu kilometer pertama, kami masih bisa bercanda dan berangan-angan cepat mendapat foto dan segera mengirimnya ke kantor di Jakarta. Di kilometer pertama ini, kami sampai di Pos 3, ”Ah sedikit lagi,” pikir saya. Jalan itu juga mendatar, energi saya tidak banyak digunakan.
Namun, ketika bertanya di Pos 3, seorang warga menginformasikan lokasi bencana masih berjarak 4 km lagi. ”Waduh...,” gumam saya, mengawali kebingungan itu. Saya berharap dapat menemukan sepeda motor yang dapat digunakan meski ternyata harapan itu sulit direalisasikan.
Trek yang awalnya landai tiba-tiba berubah drastis selepas kilometer pertama itu. Tanjakan panjang dengan kemiringan sekitar 30 derajat, dan situasi gelap gulita karena mati listrik mulai menantang kami. Jujur saja, bagi saya yang jarang olahraga, dibutuhkan perjuangan keras untuk melintasi tanjakan itu. Beberapa kali saya berhenti untuk menarik napas, dan mempersiapkan tenaga kembali.
Di ujung jalan itu, kami tiba di Pos 2. Lokasi ini digunakan sebagai posko dapur umum Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Kementerian Sosial. Sebuah mobil dapur umum dan beberapa tenda logistik sudah ada di lokasi itu.
Di lokasi itu, kami mendapat info bahwa posko induk yang didirikan oleh Basarnas masih berjarak lebih dari 1 km. Kondisi jalan sama, yaitu beton dengan tatanan batu kali di bagian tengahnya. Tingkat kemiringan jalan itu sekitar 45 derajat. Tuntutan untuk mendapatkan foto mengharuskan saya terus menapaki jalan itu walaupun saya harus berhenti tiap 20 langkah untuk mengatur napas.
Setelah menempuh jalan terjal dan berbelok, kami sampai di posko induk. Posko berupa tenda peleton dengan berbagai perlengkapan di dalamnya telah didirikan. Sebuah genset menderu kencang sebagai sumber tenaga bagi lampu penerangan posko dan sekitarnya.
Selain sebagai posko induk tempat koordinasi pencarian korban, di lokasi itu juga didirikan tenda-tenda bagi pengungsi. Namun, warga terdampak tanah longsor lebih memilih tinggal di rumah kerabat mereka yang aman dari longsoran. Dari posko itu, kami mendapat informasi terkait pengungsi dan rencana pencarian korban tanah longsor pada keesokan harinya.
Memotret dan mengirim foto
Untuk memotret pengungsi dengan lokasi yang tersebar, jelas tidak mudah. Butuh waktu untuk melakukan pendekatan sehingga foto yang dihasilkan berkualitas. Ini berbeda dengan pengungsian yang bersifat massal di sebuah gedung ataupun tenda besar yang sifatnya lebih terbuka.
Bagi saya, pendekatan kepada obyek foto jelas hal yang sangat penting. Selain membuat obyek merasa nyaman akan kehadiran saya, dari pendekatan itu kita dapat mengetahui cerita-cerita terkait longsoran yang terjadi. Kisah mereka nantinya dapat digunakan sebagai sumber penulisan keterangan (caption) foto.
Malam itu, saya tidak banyak melakukan pemotretan. Pemotretan hanya dilakukan dari dua hingga empat sudut pemotretan. Selain karena tidak banyak sudut yang bisa difoto, tetapi juga terdesak oleh batas waktu, deadline pengiriman foto.
Seusai memotret dan mengedit foto―cropping, dan memberi keterangan foto, saya mencoba mengirim foto ke kantor di Jakarta. Namun, di lokasi bencana, pengiriman foto jelas tidak mudah. Saya harus bergeser beberapa kali sebelum akhirnya menemukan titik sinyal terkuat di pos keamanan yang berjarak 200 meter dari lokasi pengungsi. Lima foto pun terkirim.
Belajar dari pengalaman itu, saya membuat pola liputan untuk hari-hari selanjutnya. Liputan dimulai sepagi mungkin, dan harus diakhiri pukul 15.00. Mulai pukul 15.00, saya mencoba konsentrasi untuk mengirim foto ke kantor dari sebuah kawasan sejauh 10 km dari lokasi bencana. Lokasi itu saya pilih tentunya karena kekuatan sinyal telepon seluler.
Menginap di mana saja
Hari pertama liputan, kami memutuskan untuk menginap di sebuah rumah warga yang dijadikan lokasi pengungsian. Dengan menggunakan sepeda motor milik warga, sebelumnya saya mengambil pakaian tambahan dan perlengkapan pengisi baterai yang masih tertinggal di mobil.
Malam itu sofa usang milik warga di teras rumahnya menjadi tempat tidur yang nyaman. Pakaian rangkap tiga—dua kaus dan kemeja lengan panjang, membantu menghangatkan tubuh dari terpaan hawa dingin. Sementara untuk mengisi baterai kamera dan telepon genggam, saya menumpang di genset pemilik rumah yang menyala hingga pukul 02.00.
Seusai liputan di hari kedua, saya mandi di sebuah SPBU umum—sekitar 5 km dari tempat parkir mobil. Sisa-sisa keringat yang telah menempel di badan lebih dari 30 jam, dibersihkan di sore hari itu.
Sore itu, seusai mengirim foto, saya berkeliling di Kota Ponorogo sekadar untuk mencari makan dan menjemput teman reporter, Ambrosius Harto, yang baru datang dari Surabaya, Jawa Timur. Malam harinya, kami memutuskan untuk menginap di mobil di sekitar lokasi bencana.
Adapun pada hari ketiga dan seterusnya, kami memutuskan untuk menginap di hotel terdekat dengan lokasi bencana. Situasi lapangan yang sudah dapat dipetakan, dan pola liputan yang sudah diketahui, membuat kami berani tinggal lebih jauh dari lokasi. Selain itu, dengan beristirahat di hotel, kami merasa dapat lebih bekerja optimal pada keesokan harinya.
Variasi foto
Dalam liputan bencana alam selama satu minggu, variasi foto jelas harus dipertimbangkan. Coba bayangkan, bagaimana jika dari hari pertama hingga hari ketujuh saya hanya memotret pengungsi. Tentu saja pembaca Kompas akan bosan.
Bagi kami, wartawan foto harian Kompas, seolah kami telah mempunyai ritme sendiri dalam menentukan titik berat foto apa yang harus dicari dalam satu hari. Bukan berarti kegiatan yang tidak menjadi titik berat tidak difoto. Semua aktivitas di depan mata jelas harus difoto meski kami juga telah menetapkan kegiatan-kegiatan yang ”wajib” difoto dalam satu hari.
Kegiatan ”wajib” difoto itu pun selalu berubah setiap hari. Biasanya pemilihan kegiatan itu didasarkan pada perkembangan ataupun isu-isu di lapangan. Walaupun kami sendiri juga mempunyai semacam pakem terkait apa yang harus difoto, mulai dari lokasi keseluruhan bencana, proses pencarian korban, pengungsi, relawan, penonton, hingga penanganan trauma pasca-bencana.
Saya beruntung, pada hari ketiga rekan kerja dari Jakarta, Wawan H Prabowo, datang ke Ponorogo dengan membawa drone. Foto aerial pun didapat lewat drone itu. Dengan dua fotografer di lokasi bencana, kami dapat menghasilkan berbagai variasi foto.
Selain membutuhkan fisik yang baik, liputan bencana alam juga membutuhkan kesabaran yang tinggi. Kesabaran itu dibutuhkan terutama saat mengejar foto-foto keberhasilan tim penyelamat dalam mencari korban. Apalagi, titik penemuan korban biasanya sulit diprediksi.
Di hari kedua bencana, misalnya, saya tidak mendapatkan foto relawan yang berhasil mengevakuasi korban. Hari itu, saya salah menentukan lokasi pencarian korban yang tersebar di lima lokasi pencarian.
Saya saat itu memutuskan untuk meliput di lokasi yang diperkirakan ada 12 orang yang tertimbun. Namun, relawan berhasil menemukan korban justru di hilir longsoran yang berjarak 1,5 km dari titik liputan saya. Jarak 1,5 km yang tidak mudah ditempuh karena beratnya medan.
Berbekal pengalaman di hari kedua, saya memutuskan untuk mengikuti proses pencarian korban di hilir longsoran. Mulai dari pukul delapan pagi, saya sudah menunggu meski korban baru dapat ditemukan lagi sekitar pukul 14.00. Kesabaran seorang jurnalis memang diuji dalam peliputan bencana.
Jadi, selama satu minggu, saya meliput bencana tanah longsor di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Sebelum kembali ke Solo, saya bahkan menyempatkan diri meliput bencana tanah retak di Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo. Lokasi itu berjarak sekitar 40 km di sisi barat dari Kecamatan Pulung, Ponorogo.
Perjalanan jurnalistik untuk meliput bencana tanah longsor itu pun makin menempa diri saya untuk menjadi seorang fotografer yang lebih baik dari hari ke hari.