Pengalaman Berharga dari Kampung Melayu
DALAM sekejap, dua ledakan bom mengubah wajah Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Terminal yang sibuk dan ramai dengan aktivitas transportasi dan perdagangan itu menjadi tempat menakutkan dan melahirkan trauma bagi korban ledakan.
Pada Rabu (24/5), sekitar pukul 20.30, saya melintas di Terminal Kampung Melayu. Saya mengendarai sepeda motor dari arah Jalan Matraman Raya ke Jalan Raya Jatinegara Timur. Seingat saya, suasananya biasa-biasa saja meski terlihat ada iring-iringan pawai obor untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Polisi pun terlihat berjaga-jaga sambil mengatur arus lalu lintas.
Memasuki Terminal Kampung Melayu, seperti biasa jalanan bertambah padat karena banyak angkutan umum yang ngetem di badan jalan. Sejumlah pedagang kaki lima berjualan di atas trotoar. Kemacetan bertambah parah dengan adanya proyek pengaspalan jalan. Wajah dan tubuh saya terasa panas saat melintasi kepadatan jalan raya yang seperti tidak ada habisnya itu.
Pukul 20.50, saya sampai di rumah keluarga yang hanya sekitar 1 kilometer dari Terminal Kampung Melayu. Saya segera mandi untuk membersihkan debu dan kotoran yang menempel. Terbayang sudah kasur empuk untuk beristirahat melepaskan segala kepenatan setelah beraktivitas sehari penuh.
Baru saja selesai mandi, ibu mengetuk pintu. ”Ada ledakan,” kata ibu dengan suara lirih.
”Di mana?” tanya saya.
”Di Kampung Melayu.”
Dari televisi di ruang keluarga, terbaca running text: ”Korban Ledakan Kampung Melayu Dibawa ke RS Premier Jatinegara”. Beberapa tetangga juga menyatakan samar-samar mendengar bunyi ledakan.
”Waduh, ledakan apa, ya? Tadi barusan lewat situ aman-aman saja...,” kata saya, nyaris tidak percaya dengan informasi tersebut.
Tidak lama kemudian informasi mulai berdatangan ke telepon pintar saya. Saya melihat video dan foto suasana di Terminal Kampung Melayu sudah berubah dari apa yang saya saksikan beberapa saat sebelumnya. Kampung Melayu yang tadinya damai berubah menjadi tempat yang menakutkan.
Tayangan video menunjukkan warga yang panik berteriak sambil berhamburan menyelamatkan diri sesaat setelah ledakan terjadi. Darah berceceran. Jenazah korban dengan tubuh tidak lengkap tergeletak di badan jalan. Asap putih membubung tinggi. Bangunan halte transjakarta rusak.
”Waduh, gimana ini…. Kayaknya saya harus ngecek ke lokasi kejadian,” kata saya dalam hati. Saya tergerak untuk melihat langsung lokasi kejadian daripada sekadar berdiam di rumah.
Saya kemudian menyambar tas yang hanya berisi dompet dan ponsel. ”Naik ojek saja biar lebih aman!” kata ibu, cemas. Dengan hanya memakai celana pendek, saya melesat secepat mungkin ke Terminal Kampung Melayu.
Awalnya, saya berangkat ke Kampung Melayu tidak dalam rangka liputan. Saya adalah wartawan Desk Olahraga yang sehari-hari bertugas meliput persiapan Asian Games. Di harian Kompas, setiap wartawan terbagi dalam desk, bahkan pos-pos liputan, dengan harapan tulisan kami lebih mendalam.
Meliput peristiwa di kota Jakarta seperti ledakan bom dapat dikatakan bukan tugas utama saya meski tentu saja wartawan itu bekerja untuk meliput apa pun. Namun, pembagian desk itu dilakukan untuk mengatur sumber daya manusia secara lebih optimal di sebuah media.
Apa pun, karena lokasi ledakan tidak jauh dari rumah, saya sangat penasaran dan berkeinginan melihat peristiwa itu dengan mata kepala sendiri. Modal saya adalah niat kuat dengan ponsel yang ternyata daya baterainya tidak lagi penuh.
Begitu tiba di Jalan Raya Otto Iskandardinata, yang mengarah ke arah Jalan Raya Jatinegara Barat, belasan tukang ojek daring sedang mengalihkan arus lalu lintas. Tukang ojek bahu-membahu menutup jalan dengan memarkir kendaraan melintang di tengah jalan raya. Seorang tukang ojek dengan jaket hijau menghentikan setiap motor yang melintas.
”Tidak bisa lewat. Berbahaya!” ujarnya.
”Mau liputan, Bang!” saya berteriak sambil menunjukkan kartu ”pers”. Tukang ojek itu mengangguk, kemudian menggeser kendaraannya sehingga motor saya bisa melintas.
Kurang dari 10 menit, saya sudah sampai di Terminal Kampung Melayu. Saat tiba, saya melihat warga berkerumun di dekat halte transjakarta. Sejumlah polisi memasang police line dan meminta warga mundur dari garis batas aman yang sudah dipasang.
Di lokasi ledakan, bagian tubuh jenazah korban berserakan. Sebagian jenazah tergeletak di dekat parkiran motor. Darah berceceran di badan jalan. Beberapa polisi menutup potongan tubuh korban dengan koran bekas. Saya mengambil ponsel, lalu memotret beberapa potong peristiwa dengan pencahayaan seadanya.
Tentu saja, foto-foto tubuh korban tidak akan pernah dimuat di harian Kompas. Ada kode etik di media kami yang melarang hal itu. Namun, saya tetap memotret untuk dijadikan bahan reportase kelak atau sebagai referensi saat saya hendak menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Beberapa foto saya kirimkan ke grup Whatsapp kantor. Kemudian, sebuah pertanyaan muncul. ”DNA (inisial saya di kantor), rumah kamu dekat Terminal Kampung Melayu, ya? Semua baik-baik saja, kan?” tanya editor saya di Desk Olahraga, Adi Prinantyo.
”Iya Mas, rumah saya dekat dengan lokasi ledakan. Saya sedang di Kampung Melayu,” jawab saya.
”Kalau ada foto lain atau suasana terbaru, tolong laporkan segera, ya,” kata editor saya yang lain, Prasetyo Eko Prihananto.
Pesan dari editor itu membuat saya tersadar, saya adalah wartawan Kompas pertama yang sampai di lokasi kejadian. Wartawan Kompas lainnya, Johannes Galuh Bimantara, yang ditugaskan meliput ledakan ternyata masih dalam perjalanan karena posisinya lebih jauh dari lokasi kejadian. ”Oke Mas,” jawab saya singkat.
Saya menarik napas panjang, meningkatkan kewaspadaan, dan mulai menyusun strategi untuk liputan. Saat itu, jarum jam menunjukkan pukul 22.07.
Suasana di Terminal Kampung Melayu masih mencekam karena dari informasi yang beredar masih ada satu tas berisi bom yang belum diledakkan. Polisi lalu berteriak meminta warga segera menyingkir dari lokasi kejadian. Sejumlah warung dan toko yang masih buka ditinggalkan penjualnya begitu saja.
Sambil memberanikan diri, saya kembali berjalan menerobos kerumunan warga sambil menyalakan fitur video di ponsel. Saya ingin merekam suasana terkini di Terminal Kampung Melayu sebagai bahan laporan live report di Kompas.id.
Namun, tiba-tiba, baru berjalan sepuluh langkah, tiba-tiba kaki kiri saya terperosok masuk ke selokan sedalam 100 sentimeter. ”Aduh!” kata saya, sambil mengerang.
Seorang pria menolong saya keluar dari selokan. ”Sakit Mbak?” ujarnya.
Saya menggeleng. ”Rasa sakit tidak seberapa dibandingkan rasa malu kecebur selokan, Pak!” jawab saya dalam hati. Ah, itulah dinamika dalam liputan, bukan? Hidup pun harus berjalan bagaimana pun kondisinya.
Menggali fakta
Dengan kaki basah, saya berjalan di sisi selatan Terminal Kampung Melayu. Saya mewawancarai para pedagang yang berjualan dengan radius 10-50 meter dari titik ledakan.
”Saya tidak melihat ledakannya. Saya hanya mendengar suara ledakan dan melihat asap putih membubung tinggi dari lokasi ledakan. Saya pikir itu tabung gas meledak atau ledakan ban bus transjakarta,” kata Muhammad (50), pedagang rokok.
Saya kemudian berjalan ke bawah jembatan layang Kampung Melayu. Di lokasi itu, saya mewawancarai beberapa tukang ojek yang mangkal. Seperti saksi mata sebelumnya, tukang ojek itu hanya mendengar suara ledakan. Tidak ada seorang pun yang melihat detik-detik terjadinya peristiwa ledakan.
Ketika sedang mewawancarai tukang ojek, sejumlah polisi mengusir saya, meminta saya menjauhi lokasi ledakan.
Bersama puluhan orang lain, saya bergerak ke arah Jalan Raya Jatinegara Barat. Polisi meminta jurnalis mundur sekitar 200 meter dari titik ledakan. Di sana, sejumlah jurnalis televisi melakukan siaran langsung. Saya bertemu teman-teman jurnalis yang biasanya bertugas di Polda Metro Jaya, salah satunya wartawan Kompas, Wisnu Aji Dewabrata.
Sekitar pukul 23.00, saya duduk di atas pembatas jalur bus transjakarta. Dengan ponsel yang sudah hampir mati kehabisan daya, saya mengirim foto dan video untuk dimuat di laman Kompas.id. Saya juga menulis berita pendek yang berisi kondisi terkini lokasi ledakan dan keterangan saksi-saksi.
Melalui grup Whatsapp, Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Sutta Dharmasaputra mengatakan, live report untuk laman Kompas.id berakhir pukul 00.00. Karena itu, setelah mengirim berita, saya bergeser ke arah timur Terminal Kampung Melayu untuk mencari jalan pulang.
Namun, jalan raya ternyata sudah ditutup. Saya harus berjalan kaki memutar ke Jalan Jatinegara Barat. Setelah berjalan sekitar 1 kilometer, saya berbalik arah berjalan kaki lagi sejauh 1 kilometer menuju Jalan Otto Iskandardinata.
Di sebelah timur Terminal Kampung Melayu, saya bertemu fotografer Kompas, Agus Susanto, dan wartawan Johannes Galuh Bimantara. Saat itu, Terminal Kampung Melayu masih ramai karena polisi sedang menyisir lokasi ledakan dan melakukan olah tempat kejadian.
Saya beristirahat sebentar sambil mengisi daya baterai ponsel dengan pencatu daya milik Galuh. Sambil duduk memandang Terminal Kampung Melayu, Galuh mengisahkan, dirinya mendapat informasi ledakan sekitar pukul 21.15. Saat itu, dia sedang bersantai di kamar kos karena baru selesai liputan.
Informasi itu dia peroleh melalui grup Whatsapp jurnalis. ”Informasinya ada dua ledakan di Kampung Melayu. Saat itu, penyebab ledakan masih simpang siur. Ada yang mengatakan itu ledakan bom, ada pula yang mengatakan ledakan tabung gas,” kata Galuh.
Karena mendapat informasi ledakan menelan korban jiwa, Galuh memutuskan untuk mengecek lokasi kejadian. Dia segera berganti baju dan mencuci muka.
Beberapa saat kemudian, Kepala Desk Metropolitan Gesit Ariyanto menelepon. ”Kamu masih punya sisa energi, tidak? Minta tolong untuk meliput, ya, ke Kampung Melayu,” ujar sang editor kepada Galuh.
”Tuh, kan, benar, aku pasti ditugaskan! Untung sudah siap-siap,” kata Galuh.
”Feeling kamu kuat ya.... Jurnalis andalan, nih,” ujar saya. Setelah liputan dalam kondisi mencekam, saya mencoba untuk sedikit bercanda. Galuh pun hanya tertawa kecil.
Potensi bahaya
Galuh kemudian mengisahkan, betapa bersemangatnya dirinya untuk berada sedekat mungkin dengan lokasi kejadian. Namun kemudian, para editor mengingatkan dia untuk berhati-hati atas kemungkinan ledakan bom susulan atau kehadiran pelaku lain. Galuh pun baru menyadari adanya potensi bahaya setelah peringatan itu.
Kepada Galuh, saya mengatakan ingin pulang duluan karena kondisi badan sedang kurang fit.
”Oke. Nanti aku yang melanjutkan liputan,” jawab Galuh.
Sebelum pulang, Galuh dan saya mewawancarai seorang saksi mata bernama Ade Sultanto (29). Dia adalah pekerja proyek pengaspalan di Terminal Kampung Melayu. Kami mewawancarai Ade untuk melengkapi reportase kami.
Pukul 01.00, saya pulang. Galuh bertahan di lokasi kejadian. Dia masih mewawancarai Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto. Azan subuh pun telah berkumandang ketika sepeda motor Galuh mencapai rumah kosnya di daerah Galur.
Meliput ledakan bom di Terminal Kampung Melayu membuat Galuh dan saya sadar bahwa kejadian besar tidak pernah dapat diduga, apalagi dijadwalkan. Peristiwa besar terjadi kapan pun meski sebagian pekerja media libur atau sedang beristirahat.
Sebagai jurnalis, saya dan Galuh, juga teman-teman wartawan dan fotografer Kompas lainnya, yang waktu itu berada di ”lapangan” menangkap pesan: jangan lawan rasa penasaran. Ikuti saja. Karena itulah yang menjadi nyawa jurnalisme.
Dari Kampung Melayu, kami mendapatkan pelajaran berharga soal jurnalisme dan tentang kemanusiaan.