Meluncur ke Cannes demi Perfilman Nasional
Kompleks Airbus, Toulouse, Perancis, Rabu (17/5) selepas pukul 12.00 waktu setempat. Setelah meliput final kompetisi internasional antartim mahasiswa Fly Your Ideas 2017, saya mulai berkonsentrasi dan ”tenggelam” dalam rangkaian informasi untuk secepat mungkin menulis laporan terkait hasil kompetisi tersebut.
Tiba-tiba, satu pesan Whatsapp dari Wakil Kepala Desk Non Berita Kompas Sarie Febriane masuk ke kedua telepon seluler saya yang terkoneksi dengan jaringan internet nirkabel (Wi-Fi). ”Hai BRO (panggilan saya di kantor) apa kabar? Kamu sampai kapan di Toulouse? Pulang tanggal berapa?” tulis Sari.
Hati ini langsung berdebar-debar. Saya punya firasat akan datang penugasan baru. Kemudian, saya menginformasikan akan terbang kembali ke Indonesia pada Kamis (18/5) pukul 17.00 dengan rute penerbangan Toulouse-Amsterdam-Kuala Lumpur-Jakarta.
Hati ini langsung berdebar-debar. Saya punya firasat akan datang penugasan baru.
Nah, terkaan saya ternyata jitu. Harian Kompas, harian tempat saya bekerja sejak 2003, meminta saya meliput Festival Film Internasional Cannes (Festival de Cannes). Tahun 2017 ini, Festival de Cannes juga menapak usia ke-70 tahun. Festival film itu berlangsung pada 17-28 Mei 2017.
Film Marlina, Si Pembunuh dalam Empat Babak karya sutradara Mouly Surya juga akan diputar bertepatan dengan festival itu. Tepatnya, dalam kategori Quinzaine des Realisateurs (Directors’ Fortnight). Marlina, saya baca, akan menjadi film Indonesia ketujuh yang diputar di Cannes.
Untuk kategori film panjang Indonesia, Marlina menjadi film keempat yang pernah diputar di Cannes. Film panjang Indonesia terakhir yang diputar di Cannes sebelum Marlina adalah Serambi (2006), karya gabungan beberapa sutradara, termasuk Garin Nugroho. Dengan demikian, setelah sebelas tahun, baru Marlina mengisi presensi film panjang nasional di Cannes.
Demi perfilman nasional
Untuk itulah, Sarie menekankan betapa pentingnya bagi Kompas untuk meliput festival itu sehingga dapat memberi sumbangan terhadap perfilman nasional.
Peliputan ke Cannes dengan demikian sangat menarik sekaligus menantang. Namun, jujur saya tidak berpengalaman meliput festival film, apalagi sekaliber Cannes. Saya gandrung menonton film, tetapi tidak pernah menulis tentang perfilman. Saya juga hampir tidak pernah mewawancarai tim atau kru film dan juga artis. Selama ini, saya lebih akrab dengan isu umum kedaerahan (Desk Nusantara), perkotaan (Desk Metropolitan), dan keolahragaan (Desk Olahraga).
Namun, sebagai wartawan Kompas, kami sudah dilatih untuk siap sedia dengan berbagai kondisi, termasuk perpanjangan masa tugas di suatu wilayah dengan isu yang amat berbeda sekalipun. Jika saya tidak punya potensi, Kompas tentu tidak meminta saya hadir di Cannes.
Sebagai manusia biasa, tentu saya gugup dan cemas. Saya juga takut gagal untuk memberikan liputan yang maksimal. Tidak hanya soal isu yang baru saya tangani, tetapi juga terbayangkan kendala bahasa. Jujur, saya pernah kursus bahasa Perancis selama satu semester saat kuliah, lalu satu semester lagi di tahun lalu meski tingkat ketidakhadiran saya di atas 50 persen. Aduh, betapa menyesalnya saya.
Namun, Sarie membesarkan hati saya. Dia juga melapangkan jalan saya dengan mengontak tim film Marlina supaya kami dapat bekerja sama di Cannes.
Dalam waktu singkat, saya mencari informasi sebanyak mungkin terkait Cannes. Tidak terlupa pula terkait sineas asal Indonesia. Informasi awal itu adalah modal saya untuk meliput di Cannes, di kota pantai Laut Mediterania itu.
Keterbatasan akses
Rabu (17/5) sore itu juga, saya mengubah jadwal kepulangan menjadi Jumat (26/6) sore. Saya berasumsi pulang hari Jumat karena pemutaran perdana Marlina berlangsung Rabu (24/5). Jadi, masih ada satu hari untuk mencari bahan tambahan sekaligus perjalanan dari Cannes menuju Toulouse dan mempersiapkan kepulangan ke Tanah Air.
Saya juga berkomunikasi dengan Fauzan Zidni, produser Marlina, dan anggota stafnya, Giovanni Rahmadeva. Saya membeli kartu telepon lokal dan tiket bus tujuan Cannes seharga 40 euro. Hari Kamis (18/5) pukul 10.45, saya berangkat dari Terminal Pierre Semard dan turun di Halte Quai Laubeuf, Boulevard du MidiJean Hibert, Cannes, pukul 18.45.
Sepanjang perjalanan, saya terpesona dengan pemandangan serta ketertiban penumpang angkutan umum di halte-halte perhentian, seperti di Carcassonne-Narbonne-Montpellier-Nimes-Aix-en Provence-Saint-Maximin la Sainte-Boume. Selain itu, angkutan umum ini sangat tepat waktu.
Saya juga berseluncur di internet mencari informasi soal Cannes dan daftar film yang diputar di festival tahun ini. Informasi seperti juri di Cannes serta aktor dan aktris dunia yang telah memastikan kehadirannya juga saya dapatkan.
Setiba di Cannes, saya langsung menemui Fauzan, Mouly Surya, dan Rama Adi, suami Mouly, yang sekaligus co-produser Marlina. Di restoran Le Petit Paris, saya menjumpai mereka, berkenalan, kemudian berbincang-bincang dengan hangat.
Karena membawa barang, saya kemudian pergi terlebih dahulu menuju hotel L’ilot du Golf di Mandelieu la Napoule, sekitar 9 kilometer dari Cannes. Hotel itu telah dipesankan oleh Fauzan dan Deva untuk saya selama peliputan festival Cannes.
Hari berikutnya atau Jumat (19/5) jelang pukul 09.00, saya mulai beraksi. Saya sudah tiba di depan Palais des Festival, kompleks gedung untuk pemutaran film demi mengurus kartu akses.
Dibantu Fauzan, dan staf dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), saya mencoba mendapatkan kartu akses. Namun, sayang sekali, badge untuk festival, market, apalagi badge pers sudah mustahil didapat. Saya hanya mendapat kartu pengunjung yang berlaku tiga hari dan tidak dapat diperpanjang.
Sebagai informasi, kartu akses yang termasuk ”kasta tinggi” adalah kartu pers dengan warna merah muda. Pemegang kartu ini boleh menjangkau area-area terbatas untuk memotret, mewawancarai, dan mengikuti jumpa pers penting sineas dunia. Selain itu, ada kartu pers dengan warna biru muda yang tidak mempan untuk masuk ke lokasi elite.
Kemudian, ada kartu bagi kalangan sineas utama. Ditambah tiket atau undangan menonton film gala perdana, pemilik kartu ini dapat menyaksikan film-film yang dihadiri kalangan pesohor perfilman dunia. Bahkan, mungkin juga berinteraksi dengan para pesohor tersebut.
Dengan demikian, badge yang paling terbatas aksesnya adalah kartu pengunjung. Dengan kartu itu, saya hanya dapat masuk pasar film dan village international, tempat deretan paviliun negara. Dalam festival itu, paviliun menjadi tempat sineas bertemu untuk diskusi, pesta demi menjalin kerja sama, atau acara khusus.
Dengan keterbatasan akses, saya tidak dapat menjangkau sineas dunia dari dekat. Di sisi lain, saya tahu diri dengan tidak mencari masalah di negeri orang, misalnya, dengan menyelundup ke kawasan terbatas demi menjangkau para pesohor.
Jadi, saya hanya dapat melihat dari kejauhan aktris Kristen Stewart, Julia Robert, Juliette Binoche, aktor Will Smith, dan aktris Fan Bingbing, yang menjadi juri En Competition saat mereka menghadiri gala perdana film-film kategori tersebut.
Saya hanya dapat melihat dari kejauhan aktris Kristen Stewart, Julia Robert, Juliette Binoche, aktor Will Smith dan aktris Fan Bingbing.
Namun, saya sempat meminjam kartu akses staf Bekraf yang sedang beristirahat atau kartu akses milik Deva yang belum datang. Fauzan juga berbaik hati memberi tiket undangan menonton 120 Battements Par Minute, salah satu film kompetisi, di Grand Theatre Lumiere. Bermodal kartu akses festival milik staf Bekraf, saya juga menonton film karya Robin Campillo di bioskop berkapasitas 2.000 kursi atau bioskop terbesar di dunia.
Kartu akses milik Deva, saya manfaatkan untuk menonton di Theatre Croisette yang memutar film-film yang lolos seleksi Quinzaine des Ralisateurs. Fauzan juga menginformasikan bahwa film-film yang diputar di Cannes merupakan penampilan perdana film itu di depan publik.
Film, film, dan film
Hari Jumat (19/5) itu, saya juga bertemu dan bercakap-cakap dengan sineas Indonesia seperti sutradara Yosep Anggi Noen, Wregas Bhanuteja, Riri Riza, produser Mira Lesmana, Yulia Evina Bhara, Meiske Taurusia, dan tim film Marlina.
Hari-hari berikutnya, saya mengamati suasana festival, berkeliling Cannes, bertemu dan berdiskusi dengan sineas Indonesia. Berbagai hal kami bicarakan terlebih lagi soal masa depan perfiman di Indonesia.
Di Theatre Croisette, saya menonton beberapa film lagi, yakni drama komedi Otez-moi d’un Doute (Just To Be Sure) karya Carine Tardieu, drama situasi Mobile Homes karya Vladimir de Fontenay, dan drama sejarah yang mengguncang Jeannette l’enfance de Jeanne d’Arc (Jeannette the Childhood of Joan of Arc) karya Bruno Dumont. Saya bahkan keluar masuk teater untuk menyaksikan berbagai film demi untuk menangkap roh dari Festival de Cannes.
Hari Selasa (23/5) atau sehari sebelum pemutaran Marlina, saya dan dua rekan jurnalis dari Indonesia sempat pula menghabiskan setengah hari ke Monako, yang hanya 45 menit naik kereta dari Cannes. Saya memutuskan pergi ke Monako untuk mencari bahan tulisan wisata yang mungkin kelak dapat saya tulis setibanya di Tanah Air.
Nah, Rabu (24/5) menjadi hari yang sibuk bagi saya. Sejak pukul 10.00 sampai selesai pemutaran Marlina pukul 16.00 waktu Cannes, saya memberi laporan nyaris setiap menit untuk reportase langsung di laman www.kompas.id lengkap dengan berita singkat, foto hingga video.
Saya mengupas tentang film Marlina hingga mewawancarai sejumlah pihak tentang masa depan perfilman Indonesia. Tentu saja, saya juga mengumpulkan bahan yang akan digunakan sebagai modal untuk menulis di edisi Kompas Minggu.
Rabu sore, saya kemudian pergi menyendiri ke sebuah bukit tempat didirikan sebuah gereja tua Eglise Notre-Dame de l’Esperance. Dari atas bukit, saya duduk menikmati lanskap Cannes serta merekonstruksi kembali bahan liputan yang saya peroleh dari Cannes.
Kamis pagi, melalui Nice, saya naik bus untuk menuju Toulouse. Baru kemudian dari Toulouse, saya terbang kembali ke Jakarta.
Liputan di Cannes memang telah usai, tetapi pekerjaan sebenarnya baru jalan separuh. Pekerjaan utama saya, yakni membuat laporan bagi pembaca Kompas, sudah menunggu.
Liputan di Cannes memang telah usai, tetapi pekerjaan sebenarnya baru jalan separuh.
Apa pun, dengan segala keterbatasan, saya sudah menunaikan peliputan di Cannes. Peliputan, baik di dalam maupun luar negeri, saya yakini menjadi pelajaran dan guru berharga bagi saya untuk menjadi jurnalis andal yang tetap setia dalam profesi ini.
Au revoir France!