Ketika Artikel ”Kompas” Berdampak Positif bagi Dunia
Apa rasanya jika tulisanmu dapat berpengaruh positif untuk dunia dan peradabannya? Tentu saja bangga. Terkadang, saya tidak menyangka bila kata-kata yang saya ketikkan dapat viral, apalagi dapat menginspirasi banyak orang.
Oktober 2016, harian Kompas, diwakili oleh Wakil Redaktur Pelaksana Tri Agung Kristanto, mengikuti lokakarya Impact Journalism Day 2016 di Ottawa, Kanada. Di sana, para jurnalis dari koran-koran dengan tulisan berpengaruh di dunia berkumpul untuk menyatukan tekad guna menyebarkan jurnalisme positif ke seluruh dunia.
Koran-koran dengan tulisan berpengaruh di dunia berkumpul untuk menyatukan tekad guna menyebarkan jurnalisme positif.
Kompas adalah satu-satunya surat kabar asal Indonesia yang terpilih tergabung dalam Impact Journalism Day 2016. Tiket masuk Kompas untuk mengikuti lokakarya itu ternyata sebuah artikel di harian Kompas pada 3 Februari 2014, yang diunggah kembali untuk edisi digital pada 24 Juni 2016. Kebetulan, saya yang menulis artikel itu, dengan judul ”Berkat Asuransi Sampah, Bertemu Pangeran Charles”.
Tulisan tersebut memuat ide dari dr Gamal Albinsaid, dokter muda lulusan Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Gamal merintis asuransi kesehatan dengan premi sampah. Ide tersebut kemudian membuat Gamal mendapat penghargaan HRH The Prince of Wales Young Sustainability Entrepreneur dari Kerajaan Inggris. Hadiah itu diserahkan langsung oleh Pangeran Charles. Gamal menyisihkan 511 calon penerima penghargaan dari 90 negara (Kompas, 3/2/2014).
Usut punya usut, artikel di halaman 1 Kompas yang memuat kisah Gamal itu ternyata memang berdampak besar. Tulisan tersebut setidaknya dimuat bahkan kemudian diviralkan oleh 20 surat kabar di sejumlah negara. Kisah Gamal itu merupakan satu dari 100 laporan yang disampaikan 65 surat kabar dan media digital seluruh dunia dalam rangka berkolaborasi menebar jurnalisme positif. Kolaborasi ini diprakarsai oleh Sparknews, Perancis.
Beberapa media asing yang ikut menyebarkan artikel yang saya tulis terkait premi sampah dari ide dr Gamal itu antara lain:
berita Kompas yang dikutip di media daring, El Heraldo di Honduras
berita Kompas yang dikutip di media daring, L\'Orient le Jour di Lebanon
berita Kompas yang dikutip di media daring, La Tribune de Genève, Swiss
berita Kompas yang dikutip di media daring, Le Soir, Belgia
berita Kompas yang dikutip di media daring, The Daily Star di Bangladesh
Media-media dunia yang berkumpul di Ottawa itu sepakat, inovasi Gamal dari sebuah daerah kecil di Jawa Timur itu tidak akan menyebar dan menebar virus positif hingga taraf dunia tanpa peran media massa, dalam hal ini harian Kompas.
Saya sendiri bertemu Gamal pada Juli 2010 dalam sebuah kegiatan yang digagas mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang, di Klinik Mawar Husada di Jalan Sumbersari VB/377, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur. Lokasinya di sebuah gang di jalan kecil depan Kampus Universitas Brawijaya.
Saat itu, warga di kawasan itu difasilitasi untuk ”menabung” sampah dengan kompensasi pemeriksaan kesehatan. Sistem tersebut dikenalkan oleh lima mahasiswa Fakultas Kedokteran (angkatan 2007) Universitas Brawijaya sejak Januari 2010 sebagai bagian dari tugas pengabdian masyarakat. Kelima mahasiswa itu adalah Gamal, Hamid Dhofi A, Sapta Adiwijaya, Muhammad Maulana, dan Didin Ariya.
Saya sempat menduga, ide hebat itu akan berhenti setelah para calon dokter itu lulus kuliah dan mulai berkarier sebagai dokter. Namun, pada tahun 2014, gagasan premi sampah untuk kesehatan itu justru mendapat apresiasi dari Pangeran Charles. Saat itu, Gamal rupanya sudah memiliki perusahaan sendiri, yaitu Indonesia Medika, yang mewadahi kegiatan dengan premi sampah untuk kesehatan tersebut.
Saya sempat menduga, ide hebat itu akan berhenti setelah para calon dokter itu lulus kuliah dan mulai berkarier sebagai dokter. Namun, pada tahun 2014, rupanya premi sampah untuk kesehatan itu justru mendapat apresiasi dari Pangeran Charles.
Sejak pertama kali bertemu dengan sosok Gamal, ia memang sangat bersemangat menceritakan soal premi kesehatan dengan sampah. Ia memiliki pandangan bahwa dengan hal kecil seperti sampah (yang terus diproduksi manusia), urusan kesehatan masyarakat tak akan memiliki kendala biaya di masa depan.
Namun, tidak mudah untuk menemuinya. Ia punya banyak kegiatan terutama terkait upaya untuk menyebarluaskan gagasan ilmu premi sampahnya ke sejumlah tempat di dalam maupun luar negeri. Namun, saya terus menjaga kontak dengannya. Bahkan, suatu kali, saya harus mewawancarai Gamal via surat elektronik karena ia sedang berada di Inggris. Padahal, saat itu, saya sedang berkendara ke Lumajang untuk meliput suatu peristiwa.
Akhirnya, selama dalam perjalanan, saya harus beberapa kali menghentikan sepeda motor—yang saya kendarai sendiri—untuk memantau apakah pertanyaan saya sudah dibalas Gamal atau belum. Jawaban dari Gamal sangat penting karena tulisan tentang pertemuan Gamal dengan Pangeran Charles harus dimuat di Kompas. Saya beruntung Gamal sangat komunikatif sehingga setiap pertanyaan saya dijawabnya dengan baik.
Kiprah Gamal masih bertahan hingga detik ini. Kini, ia membuka klinik sampah tidak jauh dari Pasar Induk Gadang, Kota Malang.
Menghadirkan berita inspiratif
Harian Kompas sedapat mungkin mengawal ide Gamal. Mungkin, banyak orang belum terlayani oleh premi sampah ala Gamal. Namun, ide cemerlang itu harus terus dikawal dan digaungkan supaya tidak hilang. Dari sebuah ide gemilang, bukankah akan berpotensi melahirkan tindakan-tindakan cemerlang juga?
Harian Kompas dalam ajang Impact Journalism Day 2016 dinilai telah mampu menghadirkan berita-berita inspiratif. Berita yang diharapkan dapat memengaruhi dan ”mengguncang” dunia dengan ide-ide positifnya. Bukan berita yang hanya ”berkata keras”, tetapi juga berita yang bertutur cerdas.
Namun, untuk menghasilkan berita inspiratif tidak cukup dari balik meja atau dengan hanya menelepon narasumber. Kami, jurnalis Kompas, ditempa dan menempa diri setiap hari untuk mendapatkan berita-berita berkualitas serta mampu memberikan makna.
Seorang wartawati Kompas, misalnya, terbiasa naik sepeda motor sejauh 90 kilometer menuju lokasi tugas di kota lain. Tidak sekali dua kali saya ”dipepet” (dikuntit) oleh sepeda motor lain yang dikendarai orang tak dikenal (entah berniat kriminal atau tidak). Ketika liputan ke lokasi pelosok, terkadang narasumber keheranan karena tidak menyangka seorang wartawati Kompas bisa datang sendirian. Mereka kemudian baru mengisahkan tentang bahaya naik sepeda motor sendirian di wilayah mereka.
Bagi orang yang terbiasa memandang berbagai hal dengan ”sebelah mata”, mungkin perjalanan seorang jurnalis dianggap terlalu berisiko. Apakah sebanding dengan hasilnya? Namun, saat keesokan harinya tulisan itu dapat dibaca di koran—apalagi saat memengaruhi para pembuat kebijakan—tentu hal itu sangat melegakan bagi kami.
Kami, para jurnalis Kompas, tidak selalu menyuarakan sesuatu dengan suara lantang. Tidak selalu menghakimi segala sesuatu. Namun, dengan setia dan tanpa lelah, kami juga menampilkan sisi-sisi lain, kisah-kisah yang optimistis dan menggugah, serta menyodorkan harapan. Dengan demikian, Kompas tetap menjadi penunjuk arah bagi kita semua, bagi negeri ini, dan bagi umat manusia.
Saya juga menanamkan kepada diri saya untuk senantiasa menulis ”dengan hati” supaya dunia pun semoga dapat menikmati tulisan saya. Dirgahayu Ke-52 Harian Kompas. Semoga tetap menjadi penunjuk arah.