Ketika Wartawan ”Kompas” Memercayakan Nyawanya pada Mobil Swakemudi
Dalam penerbangan menuju Tokyo, Jepang, untuk ”membunuh” waktu, saya menyaksikan film aksi berjudul The Transporter Refueled. Salah satu adegannya, sebuah sedan Audi yang berjalan sendiri dengan perlahan saat Frank Martin menghajar para musuhnya.
Keren sekali adegan itu. Saya merenung, bagaimana sebuah mobil bisa berjalan sendiri? Bagaimana nasib tiga gadis yang menjadi penumpang Audi itu jika mobil tersebut melaju tidak terkendali?
Ingatan saya juga melayang kembali ke bulan April 2017. Ketika itu, sebuah BMW seri 7 dikendalikan oleh Presiden Direktur BMW Group Indonesia Karen Lim dengan anak kunci mobil itu di Indonesia International Motor Show 2017.
Karen Lim, yang berdiri di luar BMW seri 7, mampu mengontrol mobil itu maju dan mundur secara perlahan dengan anak kuncinya. Jadi, dari dalam kafe, misalnya, siapa pun dapat memindahkan mobilnya.
Pikiran saya baru lebih terbuka lagi saat menghadiri Honda Meeting 2017 di Utsunomiya, Jepang, pada Juni 2017.
Menjajal mobil swakemudi
Salah satu segmen acara adalah mendengarkan penjelasan tentang teknologi autonomous drive dari Honda. Menurut Presiden dan CEO Honda Motor Co Takahiro Hachigo, pada tahun 2020, atau hanya tiga tahun dari sekarang, Honda sudah mampu memproduksi mobil level 3 yang mampu melaju sendiri di jalan bebas hambatan atau jalan tol.
Tahun 2025, Honda bahkan menargetkan sudah mampu menjual mobil level 4 yang dapat melaju di segala situasi tanpa membutuhkan campur tangan pengemudi. Sang pengemudi dan penumpang boleh melakukan apa pun, baca buku, baca koran sampai tertidur, dan mobil Honda miliknya akan tiba di tempat tujuan.
Ternyata, tidak lama kemudian, saya menjadi jurnalis pertama dari delegasi Indonesia yang diajak melihat dari dekat bahkan melaju dengan mobil sedan mewah Honda Legend. Bukan Honda Legend biasa tentunya, melainkan Honda Legend autonomous drive alias swakemudi.
Ketika pintu mobil Honda Legend itu dibuka, ternyata mobil tersebut didesain dengan kemudi di sisi kanan seperti mobil-mobil di Indonesia. Tapi, ah, rupanya saya diajak untuk menjadi penumpang di kursi belakang di sisi kiri.
Selain pengemudi, ada pula dua teknisi yang mendampingi saya di mobil itu. Mereka menjelaskan, mobil ini sudah dilengkapi kamera pengambilan gambar sehingga jurnalis tidak perlu memotret bagian interior mobil.
Direncanakan, kami menempuh perjalanan sejauh 4 kilometer di sebuah trek yang serupa sirkuit, dengan sebuah sisi trek yang memiliki tingkat kemiringan tertentu. Disiapkan pula dua mobil Honda lainnya, yakni Accord dan Freed, untuk dijadikan pendukung simulasi perjalanan di sirkuit ini. Sebelum mobil yang saya naiki melaju, dua mobil itu sudah terlebih dahulu diminta melesat.
Honda Legend kami, dengan teknologi swakemudi, kemudian memasuki trek bertuliskan ”Automated Driving”. Pertama-tama, pengemudi dari Honda mengemudikan mobil itu, kemudian teknologi swakemudi mulai diaktifkan.
Mobil itu pun mulai melaju ”tanpa pengemudi”. Sang pengemudi tidak perlu lagi memegang setir ataupun menginjak pedal gas. Honda Legend itu bahkan secara perlahan mulai menaikkan laju kecepatannya.
Tidak lama kemudian, perlahan terlihat satu unit Honda Freed yang makin lama makin tersusul oleh kami. Kini, jarak kami tinggal 100 meter. Freed itu juga berada di lajur yang sama dengan mobil kami.
Layar monitor pun mendeteksi keberadaan Freed sehingga mobil kami menyalipnya dari sisi kanan dengan kecepatan mencapai 100 kilometer per jam. Luar biasa. Saya tidak menyangka mobil ini dapat bereaksi seperti itu.
Mobil kami menyalipnya dari sisi kanan dengan kecepatan mencapai 100 kilometer per jam.
Simulasi pun kembali dilakukan dengan bantuan sebuah Honda Accord, yang dikondisikan berhenti di lajur kiri. Dari mesin komputer di dalam kabin, saya mendengar informasi sedang dilakukan simulasi kemacetan. Mobil kami pun dengan sigap mulai mengurangi kecepatan dan antre tepat di belakang Honda Accord tersebut.
Setelah mobil disimulasikan ”terlepas dari kemacetan”, secara perlahan mobil ini meningkatkan kecepatannya. Kami pun kembali melaju hingga kecepatan 80 kilometer per jam sebelum akhirnya masuk kembali ke pit stop.
Ternyata, Honda meminta saya untuk bertukar tempat duduk. Kali ini, saya diminta berada di balik kemudi mobil. Saya diminta untuk mencoba teknologi swakemudi, tetap didampingi teknisi Honda.
Masih dikembangkan
Menyeramkan juga rasanya. Deg-degan.... Bayangkan saja, mobil yang selama ini dikemudikan oleh tangan sendiri kemudian diambil alih sistem swakemudi. Terkadang, kita saja waswas jika dikemudikan oleh orang lain yang belum dikenal dekat. Nah, kali ini, saya seolah harus memercayakan nyawa saya kepada mesin. Mesin swakemudi yang masih dalam tahap pengembangan dan belum diproduksi massal.
Jangankan ketika Honda ini mulai melaju, ternyata saat baru duduk manis saja saya sudah deg-degan. Bagaimana kalau ternyata mobil ini hilang kendali dan menabrak dalam kecepatan 100 kilometer per jam? Bisa amblas nyawa saya.
Ternyata, saat baru duduk manis saja saya sudah deg-degan.
Tenang dan tenang, saya mencoba menenangkan diri. ”Don’t panic,” begitu kata salah seorang teknisi Honda. Dia seolah melihat kegelisahan dalam diri saya. Saya mulai menarik napas dalam-dalam.
Mobil itu pun mulai melaju. Mulai mengelilingi trek uji coba Honda. Dan, hingga akhir perjalanan, ternyata saya masih utuh.
Saya kemudian diminta beralih ke mobil Honda swakemudi lainnya. Kali ini, teknologi swakemudi ditanamkan di mobil Honda Accord berkelir warna perak. Saya kembali hanya diajak duduk di kiri depan untuk mendampingi teknisi yang mengemudikannya.
Kali ini, trek yang dilalui tidak terlalu jauh, tetapi dengan kondisi jalan berlika-liku. Kami melalui persimpangan demi persimpangan, bahkan sempat berputar di sebuah bundaran. Kami seolah-olah berjalan di sebuah kota.
Pergerakan mobil pun dilakukan dengan halus meski kecepatan kendaraannya di bawah 50 kilometer per jam.
Karena teknologi swakemudi sedang mengambil alih laju mobil, sang teknisi pun memperlihatkan kepada saya indikator-indikator di layar monitor mobil. Garis merah menunjukkan adanya persimpangan jalan atau lampu lalu lintas yang harus diwaspadai, garis hijau memanjang menandai batas badan jalan sebelah kiri, sedangkan garis biru menandai batas median jalan di sisi kanan.
Uniknya, ketika berada di persimpangan jalan, mobil tersebut dapat mendeteksi tingkat keamanannya. Dalam sebuah simulasi, mobil mendekati sebuah pertigaan, kemudian saat sistem mendeteksi tidak ada kendaraan yang akan melintas dari sisi kanan, maka dalam hitungan tiga detik setir berputar ke kiri secara otomatis tanpa perlu dipegang. Mobil berbelok dan langsung berakselerasi melanjutkan perjalanan.
Saya iseng bertanya, bagaimana jika ada ”intervensi” dari sepeda motor yang tiba-tiba memotong laju mobil? Bagaimana mobil swakemudi bereaksi jika ada tukang nasi goreng mendorong gerobaknya di tepi jalan?
Namun, sang teknisi memberi isyarat bahwa dia takkan menjawab pertanyaan saya. Ternyata, dia hanya diminta menjelaskan teknologi yang ada di mobil itu.
Apa pun, sungguh menarik untuk mengetes mobil seperti ini. Honda bahkan merancang sistem pendeteksi lokasi yang melibatkan server, unit telekomunikasi, peta definisi tinggi, dan sistem satelit navigasi global (multi-GNSS).
Dikembangkan lebih dari satu dekade
Pengembangan mobil swakemudi apabila merujuk pada buku Rise of the Robots (2015) yang ditulis Martin Ford ternyata sudah dimulai lebih dari 10 tahun lalu. Ketika itu, the Defense Advanced Research Project Agency di Amerika, misalnya, berkeinginan mengembangkan kendaraan militer yang dapat bergerak swakemudi.
Proyek swakemudi dari Google juga dimulai sejak tahun 2008. Sebastian Thrun, yang tadinya mengembangkan proyek Street View, diserahi tanggung jawab pengembangan tersebut. Google kemudian memodifikasi sebuah Toyota Prius yang dilengkapi kamera, empat sistem radar terpisah, dan sistem laser untuk mendeteksi benda lain di sekitar mobil swakemudi.
Bertahun-tahun kemudian, ”perlombaan” untuk menyempurnakan mobil swakemudi terus bergulir. Mungkin, ratusan ribu kilometer jalan telah ditempuh mobil-mobil swakemudi tersebut.
Pro dan kontra tentu ada. Bagaimana kalau teknologi autonomous driving benar-benar mengambil alih peran manusia? Bagaimana dengan ketersediaan lapangan pekerjaan?
Di Amerika, misalnya, ada 3,5 juta sopir truk dan 5,2 juta pekerja yang bergantung pada bisnis logistik dengan truk sebagai tulang punggungnya. Sebanyak 5,2 juta pekerja tersebut bekerja di bengkel truk hingga gudang. Di Indonesia, kata mantan Ketua Umum Organda Eka Sari Lorena, setidaknya ada 1,5 juta anggota Organda dengan 15 juta orang yang terkait dengan bisnis angkutan. Bagaimana jika mobil swakemudi merajalela?
Pengembangan mobil swakemudi juga terus berjalan. Belum lama ini, perusahaan rintisan nuTonomy telah menggandeng pabrikan mobil Peugeot dengan mobil Peugeot 3008 SUV untuk menguji coba autonomous cars di Singapura.
Bayangkan, uji coba mobil swakemudi tidak lagi di Arizona, California, atau Pittsburgh. Tetapi sudah dilakukan di Singapura, yang ibaratnya di halaman depan rumah kita.
Uji coba sudah dilakukan di Singapura, yang ibaratnya di halaman depan rumah kita.
Sulit diterapkan di Indonesia
Namun, seorang manajer di sebuah pabrikan mobil pun tidak yakin mobil swakemudi dapat cepat diterapkan di Indonesia. Ada terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Ketika mobil hibrida memasuki Indonesia, misalnya, tidak juga terlalu disambut positif.
Pekerjaan rumah untuk memuluskan jalan mobil swakemudi di negeri ini juga tidak mudah. Mobil swakemudi akan tergagap-gagap saat melintas di jalan dengan marka yang tiba-tiba terputus. Bagaimana pula apabila tiba-tiba di sebuah ruas jalan terdapat banyak genangan air? Sensor dari autonomous cars jelas kesulitan.
Kecerdasan buatan yang dicangkokkan dalam sebuah mobil swakemudi juga harus dapat memprediksi perilaku tidak terduga dari orang Indonesia di jalan raya. Setelah mencoba autonomous car Honda, saya jadi bertanya-tanya, apakah sistem itu mampu mengantisipasi pengendara sepeda motor yang memasang sein ke arah kanan, tetapi justru berbelok ke kiri? (HARYO DAMARDONO)