Pelajaran Berharga dari Liputan Jatuhnya Helikopter Basarnas di Gunung Butak
Telepon genggam saya mendadak terus bergetar. Notifikasi pesan dari sejumlah grup WhatsApp (WA) menerobos masuk dengan pesan yang kurang lebih sama, “Kawah Sileri Dieng Meletus Freatik Setinggi 50 Meter”.
Hari Minggu (2/7/2017) itu, kira-kira pukul 14.00 WIB, Grup WhatsApp Nusantara, yang merupakan wadah interaksi dari anggota Desk Nusantara, juga langsung diramaikan dengan diskusi terkait erupsi Kawah Sileri.
Diskusi, utamanya, membahas soal pendekatan Kompas dalam meliput bencana itu. Dan, rencana pergerakan wartawan serta fotografer Kompas menuju Kawah Sileri.
Sebagai koran nasional, Harian Kompas tentu tidak menempatkan wartawan di tiap kabupaten/ kota sehingga ada liputan di daerah-daerah tertentu yang membutuhkan mobilisasi wartawan.
Sebagai koran nasional, Harian Kompas tentu tidak menempatkan wartawan di tiap kabupaten/ kota
Ketika mendengar kabar erupsi Kawah Sileri, saya kebetulan sedang mewawancarai pedagang di pusat grosir batik Pasar Setono, Kota Pekalongan. Ketika itu, saya meliput aktivitas masyarakat paska Lebaran 2017.
Wawancara saya sudahi. Nomor kontak pedagang saya minta. Saya kemudian mengamati diskusi di grup WA dari detik ke detik. Sebagai wartawan Kompas yang berada di Jawa Tengah, saya punya firasat bakal ditugaskan ke Dieng.
Ternyata, sesuai prediksi saya, beberapa menit kemudian, Kepala Biro Kompas Jateng, Gregorius Magnus Finesso menginstruksikan saya menuju Dieng di Kabupaten Banjarnegara. Kebetulan, Wilibrordus Megandika Wicaksono, wartawan Kompas yang sehari-sehari meliput di Purwokerto dan sekitarnya, sedang bertugas di Jakarta.
Bagaimana menuju Dieng dari Pekalongan dengan cepat? Untungnya, kemajuan teknologi informatika memudahkan saya. Dari aplikasi Google Maps, saya langsung mendapatkan dua opsi yakni melintas melalui Kabupaten Batang (55 kilometer), dan Kabupaten Pekalongan (99 kilometer).
Saya langsung memutuskan untuk melintasi Kabupaten Batang yang merupakan jalur tersingkat. Dan, jujur saja, ini menjadi perjalanan pertama saya dari Batang menuju Dieng.
Dengan sepeda motor, saya mencoba menempuh perjalanan itu secepat mungkin meski tetap menjaga nyawa saya. Mengapa naik sepeda motor? Karena sebelumnya, saya liputan arus balik di jalur pantura Jawa Tengah. Dengan sepeda motor, saya merasa lebih leluasa menembus kemacetan.
Nah, bila di Google Maps, jalur sepanjang 55 km menuju Dieng itu seolah hanya garis lurus. Tapi faktanya, saya menghadapi tanjakan demi tanjakan yang lumayan curam. Belum lagi, kabut dan hujan menerpa di perjalanan.
Jalur Batang-Dieng ternyata juga banyak cabang jalan sehingga saya sesekali mengecek arah, dan bertanya ke warga supaya tidak tersesat. Kondisi jalannya juga tidak terlalu bagus sehingga saya tidak dapat melaju kencang.
Setelah tiga jam perjalanan, saya tiba di Kawah Sileri pada pukul 17.30 WIB. Saya mengamati situasi terbaru sambil memotret dari gardu pandang serta dari parkiran yang berjarak sekitar 200 meter dari kawah. Asap putih tampak masih mengepul dari Kawah Sileri.
Helikopter jatuh
Ketika hendak mewawancarai Kepala Polres Banjarnegara dan Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara, saya bertemu sejumlah wartawan asal Magelang. Belum sampai dua menit berbincang, raut muka mereka mendadak tegang.
“Ada helikopter Basarnas jatuh di Dusun Sibajak,” ujar salah seorang wartawan, yang baru saja membaca informasi dari telepon genggamnya.
Otomatis, saya ikut merogoh saku, mengambil telepon genggam, dan membaca informasi di layar telepon genggam saya. Ternyata, saya juga mendapat informasi jatuhnya helikopter yang tadinya hendak terbang ke Dieng untuk memantau situasi di Kawah Sileri.
Saya kemudian mencoba secepat mungkin mengetik berita terkait erupsi Kawah Sileri. Kemudian, mengirimkan foto. Lumayan menyita waktu karena jaringan internet yang tidak terlalu bagus.
Pukul 18.30 WIB, setelah satu jam meliput di Kawah Sileri, pekerjaan saya usai. Ketika memandang ke sekeliling, ternyata matahari sudah terbenam. Dieng terlihat gelap.
Hari itu juga belum berakhir. Saya harus beranjak menuju lokasi jatuhnya helikopter Basarnas di Dusun Sibajak, Desa Canggal, Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Menurut pedagang angkringan di Desa Kepakisan, yang gerobaknya saya jadikan tempat mengetik, jarak antara Kepakisan-Sibajak sekitar 10 kilometer. Belakangan, saya mendapat informasi kalau jaraknya sekitar 24 km.
“Ikuti saja jalan ke arah Wonosobo, nanti belok ke arah Tambi,” kata Slamet (40), warga Desa Kepakisan, yang sedang menghangatkan diri di angkringan. Ini keramahan khas Jawa Tengah. Slamet mencoba membantu saya dengan informasi tambahan.
Saya pun melaju mengikuti jalan utama ke arah Wonosobo. Kondisi jalan utamanya relatif baik. Aspal mulus. Namun, sangat minim penerangan sehingga cahaya lampu sepeda menjadi satu-satunya pemandu ditengah kegelapan.
Akan tetapi, persoalan utamanya adalah, suhu di dataran tinggi Dieng yang turun hingga 10 derajat Celcius di malam hari. Inilah Dieng, dataran tinggi satu-satunya di Pulau Jawa. Jadi, di hari itu, setelah pada pagi hari didera panas ketika meliput di pantura Jawa Tengah, di malam harinya, saya menggigil kedinginan di Dieng.
Memasuki kawasan Tambi, kondisi jalan memburuk, makin diperburuk minimnya penerangan. Menjelang kawasan Bukit Butak, sepeda motor saya berulang kali nyaris tergelincir karena jalan yang licin dan berpasir. Saat jalan menurun, yang juga berbelok, saya sudah menginjak habis rem belakang namun sepeda motor tetap meluncur. Untung saja, tidak ada kendaraan dari arah berlawanan.
Saat jalan menurun, yang juga berbelok, saya sudah menginjak habis rem belakang namun sepeda motor tetap meluncur.
Pukul 20.45 WIB, saya baru tiba di kaki Gunung Butak. Orang-orang berpakaian oranye terlihat hilir-mudik. Sebanyak delapan unit ambulans juga diparkir di sebuah lapangan. Sejumlah mobil berwarna oranye bertuliskan Basarnas juga sudah tiba di sana.
“Gas pol” dari Yogya
Di lapangan itu, saya melihat wartawan foto Kompas, P Raditya Mahendra Yasa, yang biasa disapa Wendra. Belakangan, Wendra menjelaskan, dirinya hari itu sedang libur di Kota Yogyakarta.
Namun, menyadari bahwa dirinya adalah salah satu wartawan foto Kompas yang berjarak radius 100 kilometer dari titik kejadian, maka dia memutuskan langsung berangkat. “Naluri saya mengatakan, harus berangkat,” tegas Wendra.
Naluri saya mengatakan, harus berangkat.
“Dari Jogja jam 19.00 WIB, saya tiba di Bukit Butak jam 21.00 WIB. Pokoknya, gas pol, tancap gas,” kenang Wendra. Dia juga memilih naik sepeda motor karena memprediksi medan jatuhnya helikopter pasti di daerah dengan infrastruktur jalan yang buruk.
Namun, saat itu, kami hanya sempat saling bertatapan dari kejauhan. Gerak tubuh Wendra memberitahu saya kalau dia harus segera memburu momen.
Saya juga langsung mencari informasi terbaru. Target saya adalah, mendapatkan jumlah korban, dan berapa jasad yang sudah dievakuasi. Namun, informasi masih belum jelas. Jumlah awak helikopter Dauphin AS365 milik Basarnas pun masih simpangsiur.
Ada yang mengatakan helikopter itu mengangkut enam penumpang, ada yang mengatakan delapan penumpang, bahkan ada yang menginformasikan ada sembilan penumpang. Yang jelas, ketika itu saya belum melihat ada jasad yang sudah berhasil dievakuasi.
Sejumlah ambulans kemudian bergerak pergi. Saya pun membuntuti ambulans-ambulans tersebut. Cukup menguras tenaga karena kontur jalan yang berupa tanjakan dan turunan. Rupanya, ambulans-ambulans itu menuju titik terdekat antara jalur pendakian evakuasi, dan jalan yang masih bisa dilalui kendaraan.
Namun, kami, saya dan Wendra, lagi-lagi hanya dapat menjangkau kaki bukit. Basarnas “menutup” Gunung Butak untuk memudahkan evakuasi.
Saya kemudian mencari informasi, mengamati suasana, dan menunggu perkembangan. Saat menunggu kedatangan jasad korban helikopter, saya kerap mendengar isak dan tangis haru dari anggota Basarnas. Mungkin, mereka tidak menyangka harus mengevakuasi jasad teman sendiri. Anggota lainnya tampak menguatkan.
Saat menunggu kedatangan jasad korban helikopter, saya kerap mendengar isak dan tangis haru dari anggota Basarnas.
Jaringan telekomunikasi buruk
Proses evakuasi korban ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Saya pun berkoordinasi dengan Wendra untuk bergantian berjaga menunggu proses evakuasi.
Jaringan telekomunikasi ternyata juga buruk sekali di kawasan itu. Setelah bertanya pada warga, rupanya sinyal telepon genggam terbaik bisa didapat di sekitar Masjid Dusun Canggal Bulu.
Saya kemudian menuju masjid itu untuk melaporkan kondisi terakhir ke kantor redaksi di Jakarta. Ketika itu, saya sudah mendapatkan informasi terkait jasad korban yang sedang dievakuasi menuju ambulans. Sinyal didapat, informasi pun terkirim.
Meski saya berada di masjid, yang berjarak sekitar satu kilometer dari tempat parkir ambulans, namun suara sirine ambulans terdengar hingga masjid. Saya sempat berlari menuju parkiran itu untuk mendapatkan foto evakuasi jasad, tetapi ketika tiba di tepi jalan desa, ternyata ambulans itu sudah melesat pergi. Saya belum beruntung. Keterbatasan jaringan telekomunikasi memang sangat menghambat.
Pukul 22.30 WIB, saya bergerak menuju posko evakuasi yang berjarak sekitar 700 meter dari titik berhenti ambulans. Kepala Polda Jawa Tengah Inspektur Jenderal Condro Kirono sudah berada di sana. Dalam keterangannya, jumlah awak helikopter berjumlah sembilan orang, dan tiga jasad sudah berhasil dievakuasi.
Karena deadline Harian Kompas menjelang tengah malam, maka artikel di halaman satu Harian Kompas akhirnya memuat informasi yang tidak akurat itu. Kami sempat menulis kalau penumpang helikopter berjumlah sembilan orang.
Di posko evakuasi, saya bertemu dengan wartawan Kompas, Dimas Waraditya Nugraha yang baru tiba dari Yogyakarta. Dia adalah wartawan Kompas, yang sehari-hari meliput di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Posko evakuasi pun mulai ramai didatangi awak media.
Tengah malam pun terlewati. Hari sudah berganti dengan Senin (3/7/2017).
Dimas kemudian mencari petugas radio Basarnas di dalam posko untuk mencari tahu bagaimana perkembangan proses evakuasi di lapangan. Kira-kira pukul 00.40 WIB, saya dan Dimas sempat melaporkan ke editor kami di Jakarta untuk memberitahu jumlah korban terakhir. Dan, lagi-lagi, saya kembali ke Masjid Dusun Canggal Bulu untuk dapat menelepon.
Pukul 01.15 WIB, kami memutuskan kembali ke posko evakuasi. Dari masjid, kami menggunakan jalur berbeda. Saya langsung menuju posko sedangkan Dimas menyusuri jalur Basarnas dalam proses evakuasi.
Evakuasi dini hari
Pukul 01.45 WIB, kami kembali bertemu di posko evakuasi. Dimas mengisahkan betapa Basarnas sungguh bekerja bahu membahu dalam mengevakuasi rekan-rekan mereka. “Kata anggota SAR di bawah, tiga jenazah terakhir sudah berhasil dievakuasi. Gila, cepet banget. Padahal, pake penerangan seadanya,” ujar Dimas.
Menurut Wendra, tadinya evakuasi korban akan dilanjutkan di pagi hari. Namun, karena tersedia banyak personel Basarnas dan relawan maka evakuasi langsung dituntaskan. “Mereka juga tidak membuang-buang waktu. Apalagi, yang meninggal dunia adalah rekan mereka,” ujarnya.
Sekitar pukul 02.00 WIB, pihak Kepolisian melalui Kepala Divisi Humas Polda Jawa Tengah Kombes Djarod Padakova memastikan, total jumlah korban kecelakaan sebanyak delapan orang. Seluruh jasad langsung dibawa ambulans ke Rumah Sakit Bhayangkara Semarang.
Dimas kemudian mendapatkan informasi dari Kepala Seksi Operasi Peralatan Komunikasi Basarnas, Agus Tamim, bahwa kotak hitam juga telah ditemukan. Kotak hitam ditemukan tidak jauh dari lokasi puing-puing helikopter. Kotak hitam dibawa turun bersama tiga jasad terakhir.
Solidaritas
Dari kaki gunung, kami menyaksikan detik-detik terakhir proses evakuasi. Proses yang cepat karena melibatkan banyak personel. Tidak hanya ada tim Basarnas dari Semarang tetapi juga dari Jepara, Cilacap, dan Solo. Menurut taksiran saya, hadir ratusan relawan SAR dari berbagai daerah.
Solidaritas jelas menjadi kekuatan nyata mengapa ratusan orang dapat hadir di kaki Bukit Butak pada hari Senin dini hari itu. Kita tahu betapa selama Lebaran, para anggota Basarnas dan relawan SAR tidak dapat beristirahat dengan baik karena harus mengawal arus mudik dan arus balik. Namun, dini hari itu, tanpa mengenal lelah mereka terus melanjutkan proses evakuasi.
Yang ditolong, jelas bukan korban biasa. Kali ini, mereka mengevakuasi rekan-rekan
seperjuangan mereka yang hendak menjalankan misi kemanusiaan. Tidak terlihat ada raut lelah, meski mereka baru saja mendaki bukit dengan tinggi sekitar 7.000 kaki (sekitar 2.100 meter di atas permukaan laut) untuk mengevakuasi korban. Kesedihan jelas terpancar dari wajah mereka.
Setelah evakuasi selesai, Wendra memilih berbaring di salah satu rumah warga di dukuh tetangga. Dia mengaku sengaja tidak pergi terlalu jauh supaya sewaktu-waktu dapat memotret momen terbaik.
Saya dan Dimas kemudian menginap di rumah mertua salah satu teman wartawan asal Semarang di Parakan, Temanggung. Jaraknya, kira-kira 20 kilometer dari Desa Canggal. Senin subuh itu, kami hanya sempat tidur 1-2 jam. Karena tak lama kemudian, matahari telah terbit dan kami harus kembali meliput.
Kami kemudian berbagi tugas. Dimas dan Wendra melanjutkan liputan evakuasi puing helikopter. Sementara itu, saya kembali ke Kawah Sileri, Dieng. Kembali ke titik awal peristiwa, yang menyeret kami semua menginjakkan kaki di dataran tinggi Dieng.
Hari kedua, bahkan hingga hari ketiga, saya liputan dengan baju batik. Bukan untuk gaya-gayaan, tetapi itulah satu-satunya baju ganti yang saya bawa. Baju batik itu pun saya beli sembari meliput di pusat grosir batik Pasar Setono, untuk menarik hati pedagang yang hendak saya wawancarai.
Gerilya di Bukit Butak
Karena harus mendapatkan foto terbaik, Wendra yang kemudian harus bergerilya di Gunung Butak. Reportase tidak mudah karena lokasi kejadian dijaga sangat ketat oleh anggota Basarnas dan kepolisian hingga dua hari kemudian.
Pada hari kedua, Wendra mencoba mendaki dengan berjalan kaki. Dia mencoba menjangkau lokasi puing helikopter yang berjarak empat kilometer dari posko evakuasi. Itu bukan perjalanan mudah karena jarak empat kilometer itu tidak berupa jalan mendatar. Wendra pun mundur setelah diterjang hujan lebat dan dihadang petugas di suatu titik jalan setapak.
Wendra baru dapat mendekati lokasi jatuhnya helikopter Basarnas setelah dipandu oleh warga setempat. Jalur pendakian pun dua kali lebih jauh karena harus memutar dari sisi lereng bukit yang lain. Dia harus jatuh bangun saat melaju menuju tempat kejadian dengan sepeda motor trail.
Untung saja, ada seorang warga setempat yang akhirnya memboncengkan Wendra untuk lebih dekat dengan lokasi jatuhnya pesawat. Warga itu menggunakan sepeda motor yang dimodifikasinya sendiri sehingga dapat menaklukkan medan setempat. Adapun motor trail Wendra, yang lebih punya "tampang" akhirnya digeletakkan.
“Ketika sampai lokasi (jatuhnya pesawat), saya tidak langsung mengeluarkan kamera. Kan ada larangan masuk bagi wartawan,” ujar Wendra. Sambil berdiri tenang untuk mengamati suasana, dia kemudian hanya memotret dengan telepon genggam.
Kemudian, Wendra menjauhi lokasi dan mulai memotret dari balik pepohonan tembakau supaya tidak terlihat. “Setelah memotret, saya ganti memory card-nya. Memory card yang sebelumnya saya sembunyikan. Jadi, bila dihapus ada cadangannya,” ujar Wendra.
Namun, ditambahkan Wendra, ketika turun bukit, dia sempat bertemu dengan Kepala Seksi Operasi Peralatan Komunikasi Basarnas, Agus Tamim. “Saya minta izin soal foto evakuasi,” ujarnya.
Izin didapat setelah Wendra berhasil mendapatkan foto-foto terbaiknya untuk dihadirkan bagi pembaca Harian Kompas.
Dieng, Kawah Sileri, dan Gunung Butak, jelas takkan terlupakan bagi kami. Dieng telah memberikan pengalaman berharga. Kami juga tidak sekedar singgah atau melintas di dataran tinggi Dieng tetapi pernah "melewati malam" di kaki Bukit Butak.