”Kompas” Menjajal Terbang Bersama Tim Aerobatik
”Nanti saat terbang bolehkah saya ambil foto pakai ponsel saya?”
”Boleh saja, tetapi hati-hati pegang ponselnya jangan sampai jatuh. Kita tidak mau ponselnya menjatuhi orang di darat, bisa jadi masalah.”
Demikian kutipan percakapan saya dengan Anthony Bezard, pilot yang duduk di kursi belakang pesawat bercat biru itu, sebelum lepas landas dari lapangan terbang Dijon Bourgogne, Dijon, Perancis, Kamis (29/6).
Wajar saja ada kekhawatiran ponsel bisa jatuh karena pesawat bersayap ganda (biplane) itu tidak punya penutup kokpit. Ya, saya dan Bezard waktu itu bersiap terbang dengan pesawat antik Bucker Bu-131 Jungmann buatan Jerman tahun 1935.
Pesawat, yang di beberapa bagian badannya masih terbuat dari kayu dan kanvas, itu adalah pesawat latih dasar yang dulu digunakan oleh para pilot Luftwaffe atau Angkatan Udara Jerman menjelang Perang Dunia II. Karena keandalan dan kegesitannya bermanuver, pesawat mungil (panjang 6,62 meter dan lebar sayap 7,4 meter) ini masih banyak digunakan oleh para pilot aerobatik hingga abad ke-21 ini, termasuk oleh Bezard yang masuk dalam tim aerobatik Breitling Romantic Bucker.
Begitu memasuki ”lubang” kokpit di bagian depan langsung terasa sempitnya ruang kemudi pesawat ini. Di dalam kokpit terlihat set instrumen yang masih sangat sederhana dan juga sistem kontrol yang semuanya masih digerakkan secara mekanis dengan kabel.
Seorang kru darat membantu saya memasang sabuk pengaman yang terikat dengan parasut di bagian sandaran kursi. Jadi, jika ada keadaan darurat saat di udara, kita bisa meloncat dan terjun dengan payung.
Namun, sabuk pengaman pesawat jadul itu masih begitu rumit dengan begitu banyak pengait logam yang harus dipasang. Jangan bayangkan sabuk pengaman yang nyaman dan praktis seperti di pesawat modern. Saya berpikir, kalaupun terjadi apa-apa, bagaimana saya harus melepaskan semua kaitan sabuk pengaman ini sebelum meloncat keluar? Kru tersebut dan instruktur pun tak mengajarkan bagaimana melepas sabuk pengaman dengan cepat saat terjadi keadaan darurat.
Jangan bayangkan sabuk pengaman yang nyaman dan praktis seperti di pesawat modern.
Pada akhirnya, hanya rasa percaya kepada profesionalitas tim aerobatik ini saja yang membuat saya mantap menunggang pesawat ini. Selebihnya adalah murni dorongan adrenalin dan rasa penasaran serta kecintaan saya pada dunia dirgantara dan penerbangan yang membuat saya merasa harus merasakan terbang di pesawat bersejarah ini.
Itulah bagian dari pengalaman mengikuti acara Breitling Corporate Event, sebuah acara rutin yang digelar Breitling, pabrikan arloji premium asal Swiss di kota Dijon, akhir Juni lalu. Kompas diundang oleh Time International, peritel resmi merek Breitling di Indonesia. Pabrikan jam tangan kualitas tinggi itu sudah lama identik dengan dunia penerbangan karena banyak produknya yang dipakai para pilot dan bahkan dipasang sebagai instrumen standar di kokpit pesawat.
Jadi wajar saja jika dalam acara ini Breitling mengajak tamu undangan merasakan langsung gairah dan semangat dunia dirgantara yang selama ini identik dengan produk-produknya. Sedikitnya 13 pesawat berbagai jenis disediakan bagi para tamu untuk dicoba langsung, termasuk satu aksi terjun payung (skydiving) tandem dari ketinggian 4.000 meter.
Ini menjadi pengalaman kedua saya mengikuti acara Breitling. Sebelumnya, tahun 2013, saya mendapat kesempatan sekali seumur hidup untuk ikut dalam penerbangan tim aerobatik Breitling Jet Team (BJT) di atas Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Waktu itu saya naik di kursi belakang pesawat latih tempur bermesin jet, L-39 Albatros buatan Ceko, yang menjadi pesawat standar BJT.
Tanpa kanopi
Kembali ke kokpit Jungmann, begitu acara ikat mengikat sabuk pengaman selesai dan memasang ”helm” kuno terbuat dari kulit, Bezard pun menyalakan mesin. Baling-baling yang terletak tak jauh di depan saya, mungkin hanya terpisah jarak 1 meter lebih sedikit, mulai berputar kencang bersamaan dengan suara yang sangat berisik dan terciumnya bau bensin terbakar. Wajar saja karena mesin Bucker ini masih menggunakan mesin piston.
Pesawat pun bergerak perlahan-lahan ke landasan pacu. Suara mesin menderam lebih keras saat kami melaju di landasan pacu, dan tiba-tiba, dalam jarak tak lebih dari 100 meter, pesawat sudah mengudara.
Dan dimulailah sensasi naik pesawat tanpa penutup kokpit. Yang pertama-tama jelas tiupan angin yang begitu kencang saat pesawat naik makin tinggi ke udara. Pemandangan kota Dijon yang dikelilingi ladang pertanian berwarna kuning keemasan pun mulai terhampar di bawah.
Dan dimulailah sensasi naik pesawat tanpa penutup kokpit.
Namun, kenikmatan menikmati pemandangan mulai terganggu dengan tiupan angin yang hari itu memang terasa kencang bahkan di darat sekalipun. Bobot pesawat yang ringan (670 kilogram dalam keadaan terisi penuh) membuatnya bisa lepas landas di landasan pendek, tetapi konsekuensinya juga lebih mudah terombang-ambing angin di udara.
Di satu titik, Bezard meminta saya memegang kemudi. Pesawat ini adalah pesawat latih, jadi di kedua kokpitnya tersedia set instrumen dan kontrol pesawat yang kurang lebih sama. Saya pun mulai mencoba menggerakkan tongkat pengendali.
Namun, baru saja tongkat itu disentuh dan sedikit terdorong ke depan, pesawat ringan ini langsung bereaksi menukik ke bawah, menimbulkan gaya G negatif yang membuat seluruh organ di bagian dalam perut seolah terangkat ke atas. Jujur saja, itu mendatangkan sensasi rasa takut bagi orang awam seperti saya!
Saat pesawat melintasi sebuah kastil kuno di tengah kebun anggur, Bezard membawa pesawat berputar di atasnya. Saya pun spontan mengambil ponsel, menyalakan kameranya, dan mengacungkannya ke luar kokpit untuk merekam pemandangan langka itu.
Baru di situ saya sadar kenapa mengeluarkan ponsel di atas sana tidak terlalu dianjurkan. Walau serasa pesawat bergerak lambat di udara, begitu ponsel diacungkan ke luar lubang kokpit, tiupan anginnya begitu keras sehingga saya harus menggenggam ponsel erat-erat jika tak ingin benda itu terlepas dan melayang ke darat beberapa ratus meter di bawah. Terbayang apa yang terjadi jika ada orang di bawah sana yang terkena ponsel jatuh ini.
Era Perang Dunia II
Sekitar 20 menit di udara, pesawat pun mendarat kembali di landasan. Di apron, tampak pesawat kuno lain juga baru saja tiba dari mengudara. Itu adalah pesawat latih North American T-6 Texan, yang merupakan pesawat latih standar para pilot United States Army Air Force (USAAF), cikal bakal AU AS (USAF) pada era Perang Dunia II.
Dari kokpit pesawat itu terlihat turun Irwan Danny Mussry, CEO Time International, yang juga ikut pada acara kali ini. Dia langsung mengacungkan jempol kepada saya sambil mengatakan, ”Kamu harus merasakan naik pesawat ini. Luar biasa,” sambil menunjuk ke arah T-6 bercat biru dan kuning itu.
Tak menunggu lama, saya pun langsung berlari mendekati pesawat yang berada satu generasi lebih modern dibanding Bucker Bu-131 itu. Pesawat ini memancing rasa penasaran karena banyak ditemui di Indonesia. Dulu Angkatan Udara Hindia Belanda (Militaire Luchtvaart) pernah memiliki pesawat yang juga disebut dengan nama AT-16 Harvard, itu. Dan setelah Indonesia merdeka, pesawat-pesawat itu diwariskan ke AURI.
Kini sebagian pesawat itu sudah menjadi hiasan museum perjuangan di Indonesia. Namun, kabarnya ada beberapa unit yang masih disimpan oleh TNI AU dan masih dalam keadaan bisa terbang.
Pesawat ini berukuran lebih besar dan lebih lengkap peralatannya dibandingkan Jungmann. Kokpitnya sudah dilengkapi kanopi kaca yang besar dan berukuran lebih lega. Berada di kokpit pesawat ini langsung terasa lebih nyaman dan aman daripada di Bucker.
”Kaca kokpitnya silakan bisa dibuka atau ditutup saat mengudara. Namun, saat pesawat melakukan manuver ekstrem, tolong ditutup kokpitnya karena itu aturan di sini,” tutur kru darat seusai membantu saya memasang sabuk pengaman dan helm. Berdasarkan pengalaman di Bucker, saya memilih menutup kaca kokpit sejak awal.
Kembali pesawat pun mengudara dari landasan pacu yang pendek. Pesawat berbobot 2,5 ton itu terasa lebih mantap menembus angin di atas Dijon walaupun guncangan-guncangan tetap terasa. Namun, kanopi kokpit yang tertutup memicu rasa aman dan percaya diri yang lebih besar.
Saat pilot mempersilakan saya memegang kendali, saya pun lebih berani. Saat stik kontrol digeser sedikit ke kanan dan ke kiri, kemudi guling pesawat langsung aktif dan pesawat miring ke kanan dan ke kiri.
Saat sudah terbiasa, saya mengontrol kemiringan pesawat sambil pilot membelokkan kemudi di sayap tegak pesawat sehingga pesawat berbelok. Jika ketinggian pesawat berkurang, pilot pun mengingatkan, ”Tarik sedikit stiknya,” sehingga hidung pesawat pun kembali mendongak dan posisi pesawat kembali datar.
Kami pun membentuk lintasan angka 8 di atas sebuah kastil di luar Dijon. Pada saat saya sedang asyik ”mengendalikan” pesawat, tiba-tiba pilot mengacungkan kedua tangannya ke atas sambil bilang, ”Selamat, sekarang kendali pesawat sepenuhnya di tangan Anda!”
Kami pun membentuk lintasan angka 8 di atas sebuah kastil di luar Dijon.
Namun, cuaca sedang tak menentu di sekitar Dijon hari itu. Mendung bisa tiba-tiba datang dan hujan langsung turun. Setelah itu mendadak cerah lagi. Angin pun bertiup kencang sehingga percobaan terbang dengan berbagai jenis pesawat harus diwarnai sedikit rasa pusing dan mual karena guncangan angin dan turbulensi udara yang terus-menerus terjadi.
Bahkan, dalam kesempatan terakhir terbang santai dalam helikopter MD 900 Explorer, tiupan angin dan turbulensi ini lumayan membuat pusing dan mual.
Walau demikian, nilai pengalaman langka ini jauh melebihi rasa pusing dan mual tersebut.
Ada beberapa teman yang bertanya, apa persiapan yang dilakukan sebelum menaiki pesawat-pesawat itu. Sejatinya, dalam dua kali kesempatan mengikuti penerbangan tim aerobatik ini, sama sekali tidak ada persiapan khusus, kecuali mengenakan pakaian khusus terbang dan sekadar briefing pendek untuk menjelaskan bagaimana harus mengantisipasi hal-hal yang bisa terjadi di udara.
Misalnya saat hendak menaiki pesawat T-6, kru darat yang membantu memasang sabuk pengaman mengingatkan saya untuk mengencangkan otot, terutama otot perut, untuk melawan efek G-force saat pesawat melakukan manuver ekstrem. Manuver loop atau terbang ke atas membentuk satu lingkaran penuh, misalnya, bisa memunculkan efek G-force hingga 4G. Artinya, bobot kita akan terasa bertambah empat kali lipat karena efek gerakan dan kecepatan pesawat.
Hal ini yang pernah saya alami saat mengikuti penerbangan BJT di atas Lanud Halim Perdanakusuma pada 2013. Waktu itu, saya mengira hanya akan diajak terbang dalam formasi biasa tanpa melakukan manuver tertentu. Saat tiba-tiba tujuh pesawat itu melakukan loop, pilot hanya mengingatkan untuk mengencangkan otot perut untuk menahan efek G-force.
Ada juga yang bertanya, bagaimana melawan rasa takut saat berada di udara melakukan berbagai manuver itu. Saya jawab, sejujurnya, naik pesawat tempur rasanya lebih aman daripada naik roller coaster di Dunia Fantasi. Salah satunya karena ada mekanisme kursi pelontar yang bisa diaktifkan sewaktu-waktu terjadi situasi darurat di tengah penerbangan.
Naik pesawat tempur rasanya lebih aman daripada naik roller coaster.
Sebelum terbang, kami semua diberi taklimat bagaimana caranya menarik tuas darurat yang terletak di depan kursi jika pilot memerintahkan untuk eject atau meloncat keluar dari pesawat. ”Jangan ragu-ragu, langsung tarik tuas itu, dan dalam waktu dua detik Anda sudah berada di luar pesawat dalam keadaan parasut terbuka,” kata instruktur penerbangan saat itu.
Selebihnya, seperti yang saya ungkapkan tadi, hanya dorongan semangat dan gairah kecintaan akan dunia penerbangan ini yang membuat hati mantap untuk segera lepas landas. Walau pada akhirnya akan muncul sedikit rasa takut, pusing, dan mual, saat sudah mengudara, semua itu wajar. Bagaimanapun, tubuh kita memang tidak dirancang untuk terbang, bukan?
Pengalaman mencumbui dunia dirgantara ini makin lengkap karena dalam perjalanan berangkat dan pulang dari Jakarta, saya juga mendapat kesempatan merasakan dua pesawat penumpang tercanggih saat ini, yakni Boeing 787 Dreamliner dan Airbus A350. Ah, tak sabar untuk mengulang pengalaman ini lagi…!
Hanya dorongan semangat dan gairah kecintaan akan dunia penerbangan ini yang membuat hati mantap untuk segera lepas landas.