Pada Mei 1990, saya mendapat tugasdari Kompas untuk pergike Aceh, memenuhi undangan Mabes Polri terkait Operasi Nila. Waktu itu, Polri gencar menggelar operasi pemberantasan ganja di Aceh Tenggara, Aceh Besar, dan Aceh Timur.
Aceh merupakan daerah pertama di luar Jawa yang saya datangi dalam kaitan tugas jurnalistik ke luar kota. Ini kali kedua saya ditugasi meliput acara di Aceh. Beberapa bulan sebelumnya, awal 1990, saya meliput acara Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Siswono Yudohusodo meresmikan perumahan karyawan PT Pupuk Iskandar Muda di Lhokseumawe.
Meski dinas luar kota ke Aceh hanya beberapa hari, bagi saya tugas ini mengasyikkan. Pagi-pagi sekali, saya ke Bandar Udara Kemayoran. Ada tiga media nasional yang diundang. Dua media lainnya adalah majalah Tempo (Robin) dan majalah Editor (Dadi). Sementara dari Dispen Polri, ada Kapten Anton Tabah.
Berbeda ketika meliput acara Menpera di Aceh sebelumnya, kali ini saya naik pesawat kecil (saya lupa jenis pesawatnya), tetapi pesawat itu hanya bisa mengangkut sekitar 10 penumpang. Terbang dengan pesawat kecil membuat saya deg-degan dan mabuk udara. Beberapa kali pesawat mengalami turbulensi.
Dari Bandara Kemayoran, Jakarta, pesawat Polri itu singgah di Palembang, Sumatera Selatan, untuk mengisi bahan bakar. Setelah itu, pesawat singgah lagi di Pekanbaru, Riau.
Dari Pekanbaru, pesawat polisi ini singgah lagi di Medan, Sumatera Utara. Di Medan, sudah menunggu helikopter polisi, yang kemudian membawa kami berempat ke Aceh.
Heli itu turun di hutan di Tranggon, Aceh Tenggara. Kami bermalam di ladang ganja di kawasan hutan Aceh.
Ladang ganja di dalam hutan di Tranggon itu ditemukan pasukan Gegana Polri yang terlibat dalam Operasi Nila di Aceh. Operasi Nila 1990 ini dipimpin Brigadir Jenderal (Pol) Hadiman, Komandan Satgas Walet.
Deputi Kapolri Bidang Operasi (Deops) Mayor Jenderal (Pol) Muslihat Wiradiputra saat itu sempat meninjau lokasi ladang ganja di Tranggon itu. Ia terbang naik helikopter dan sempat bercakap-cakap dengan perwira Gegana (Pak Muslihat meninggal pada 8 Agustus 1991 atau hampir satu tahun setelah Operasi Nila digelar).
Di dalam hutan itu, kami ditemani Komandan Satuan Gegana Polri Letnan Kolonel (Pol) Ridwan Karim dan Mayor (Pol) Jusuf Manggabarani, serta perwira Polri lainnya, Rajiman Tarigan.
”Kita harus minta izin kepada ’nenek’ dulu kalau mau tidur di sini,” kata Pak Tarigan. Yang dimaksud dengan ”nenek” adalah penunggu hutan. Pak Tarigan, polisi berdarah Batak Karo, menancapkan ”sesuatu benda” di lokasi tempat kami bermalam, mungkin supaya kami aman dari ”gangguan”.
Kami menikmati suasana sepi dan gelap di malam hari di dalam belantara hutan itu. Saya terlelap tidur karena sudah terlalu lelah melakukan perjalanan seharian. Di hutan itu, kami merasa aman ditemani anggota Gegana Polri.
Esok paginya, kami sempat mandi di sungai jernih yang mengalir di tengah hutan. Sungguh mengasyikkan!
Waktu bertemu dengan Ridwan Karim dan Jusuf Manggabarani di hutan Aceh, saya melihat polisi-polisi itu betul-betul pemberani dan tak kenal rasa takut. Dengan seragam Gegana dan senjata Steyr, mereka mengobrak-abrik ladang ganja.
Tim Gegana menemukan ladang ganja setelah melakukan pemantauan dari helikopter. Untuk mengelabui penggarap ladang ganja, heli polisi langsung meninggalkan ladang itu. Dua hari kemudian, tim Gegana menyergap empat tersangka. Satu orang lainnya, yang diduga merupakan gembong, Mat Bedul, asal Desa Terlis, Tranggon, Aceh Tenggara, tewas ditembak.
Komandan Satgas Walet Brigadir Jenderal (Pol) Hadiman memberikan keterangan pers di Lhokseumawe tentang hasil Operasi Nila 1990 yang digelar hampir satu bulan (24 April-16 Mei 1990). Bersama dua wartawan serta perwira Dispen Polri, saya terbang ke Lhokseumawe untuk menghadiri jumpa pers tentang Operasi Nila. Sejumlah wartawan hadir dalam jumpa pers itu. Namun, saya merasa lebih beruntung karena tidak sekadar mendengarkan keterangan pers, tetapi sempat datang ke ladang ganja, bahkan bermalam di hutan. Berita itu dimuat di halaman 1 harian Kompas, Sabtu 19 Mei 1990.
Dari Lhokseumawe, kami terbang naik heli kembali ke Medan. Di Bandara Polonia sudah menunggu pesawat kecil itu lagi. Seperti waktu berangkat, pesawat singgah di Pekanbaru dan Palembang untuk mengisi bahan bakar. Setelah itu, pesawat terbang kembali ke pangkalan Polairud di Bandara Kemayoran, Jakarta.
Pengalaman bermalam di ladang ganja di hutan Aceh pada 1990 bersama Gegana Polri menjadi pengalaman berkesan bagi saya. Maklumlah, tahun itu saya masih menjadi wartawan baru di harian Kompas.
Pengalaman berkesan juga saya dapatkan karena masih sempat merasakan terbang dari dan mendarat di Kemayoran. Tak berapa lama kemudian, Bandara Kemayoran hanya tinggal nama. Bekas kawasan bandara itu berubah menjadi pusat bisnis dan permukiman baru.
Pada 1991, Jusuf Manggabarani menjabat Dansat Gegana Polri menggantikan Ridwan Karim sampai tahun 1995. Ia kembali menjabat Komandan Gegana pada 1997-1998. Terakhir, Jusuf Manggabarani menjabat Wakil Kapolri tahun 2010-2011 dengan pangkat Komisaris Jenderal. Sementara Rajiman Tarigan terakhir menjabat Wakil Kapolda Metro Jaya dengan pangkat Brigadir Jenderal. Ridwan Karim juga terakhir berpangkat Brigadir Jenderal. Ketiganya kini sudah pensiun dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.