Meliput Kemeriahan Tour de France
Ajang balap sepeda jalan raya tahunan terakbar dunia, Tour de France, yang ke-104 baru saja usai digelar pada Juli 2017. Tidak banyak yang berubah dalam penyelenggaraannya kecuali penetapan beberapa rute etape. Kompetisi selama 21 hari, dengan dua hari istirahat di tengah balapan, itu tetap menjadi tontonan yang selalu ditunggu warga Perancis, warga Eropa, dan pencinta sepeda dari sejumlah negara.
Hari-hari ini pula harian Kompas sedang menggelar Jelajah Sepeda Flores (JSF). Walau, tentu saja, JSF merupakan ajang untuk memperkenalkan Tanah Air, bukan ajang adu cepat, tetap saja intinya adalah kegiatan bersepeda.
Beruntung, Kompas pernah mendapat kesempatan untuk meliput langsung perhelatan Tour de France (TdF) pada tahun 2011. Liputan Kompas di TdF Ke-98 bersama tim dari Kementerian Pariwisata itu di tengah ”upaya menaikkan kelas” Tour de Singkarak, yang merupakan tur balap sepeda terbesar Indonesia pada tahun itu.
Tidak semua etape bisa diliput karena rombongan pebalap, tim, dan petugas lomba yang berjumlah tak kurang dari 500 orang itu terus berpindah dari kota satu ke kota lain. Namun, dua etape yang dikunjungi langsung oleh Kompas dapat mewakili gambaran kemeriahan TdF. Kedua tempat itu adalah Grenoble, kota yang menjadi tempat etape ke-20 TdF 2011, dan finis TdF 2011 di Champs Elysees Avenue di Paris.
Grenoble adalah sebuah kota kecil di tenggara Perancis, yang dikelilingi Pegunungan Alpen. Menurut sejarah, desa asal muasal kota Grenobela itu sudah ada sejak tahun 43 sebelum Masehi. Kota ini berada di utara Marseilles, berdekatan dengan Torino, Italia, di sebelah timur, dan Geneva, Swiss, di sebelah utara. Jarak Grenoble dari Paris jika melalui jalan raya sekitar 575 kilometer dengan waktu tempuh 5,5 jam sampai 6,5 jam.
Kompas mempersingkat jarak itu dengan naik kereta api cepat TGV ke Lyon, kemudian disambung kereta biasa. Hanya dalam 2,5 jam, penulis sudah tiba di stasiun kereta api kota Grenoble. Perjalanan yang sangat nyaman meski sering kali kurang enak jika terlalu sering melihat ke luar melalui jendela karena kecepatan kereta TGV yang begitu cepat. Siapa bilang enak melihat pemandangan dari high speed train? Mungkin, justru lebih enak naik kereta sekelas Parahyangan.
Begitu menjejakkan kaki di Grenoble, Kompas langsung melihat kegairahan kota itu menyambut penyelenggaraan etape ke-20 TdF 2011. Di hampir semua jalan kota, terlihat banyak orang bersepeda sambil membawa ransel. Beberapa bahkan menggendong anak yang masih bayi dengan gendongan di belakang tubuhnya sambil bersepeda.
Beberapa rombongan juga terlihat melintas sambil membawa bendera negaranya. Tidak mengherankan, begitu memasuki pusat kota Grenoble, ribuan orang sudah terlihat untuk menyaksikan start para pebalap, kemudian menunggu finis para pebalap.
Balapan kriterium
Pada TdF 2011, Grenoble menjadi arena untuk balapan kriterium, yakni tiap pebalap start satu per satu dengan selisih waktu antar-pebalap sekitar 5 menit. Rute yang dilalui adalah memutari kota dan finis kembali di pusat kota Grenoble. Lokasi start dan finis ibaratnya berada di dua sisi mata uang logam sehingga penonton bisa berpindah antara melihat start pebalap, kemudian bergeser lokasi untuk melihat proses finis.
Lapangan di pusat kota Grenoble sebenarnya tidak sangat luas. Hanya sekitar 200 x 50 meter, dengan lebar jalan beraspal 12 meter sampai 16 meter. Kota-kota di Eropa memang punya karakteristik seperti itu. Populasinya tidak banyak dan pertumbuhan penduduknya jelas tidak pesat.
Namun, lapangan itu sudah sangat cukup untuk dijadikan tempat start sekaligus finis para pebalap, dan menampung puluhan ribu penonton yang datang dari sejumlah tempat di Perancis dan juga negara-negara Eropa lainnya. Kehadiran penonton dari sejumlah negara Eropa itu terlihat dari bendera-bendera negara yang mereka bawa serta bahasa yang mereka gunakan saat berkomunikasi.
Arena balapan dan tempat untuk menonton dibatasi dengan pagar besi yang juga dijadikan sebagai tempat berpromosi oleh beberapa perusahaan. Penonton dapat menyaksikan dengan bebas, terkecuali mereka yang ingin masuk ke tempat menonton khusus alias lokasi untuk VIP dan VVIP.
Untuk masuk kawasan VIP atau VVIP, penonton harus mempunyai tanda pengenal khusus, yang umumnya diberikan panitia kepada para sponsor dan tamu-tamu khusus, atau kepada pihak perusahaan yang secara khusus membelinya untuk diberikan kepada para rekan bisnis. Kompas mendapat tempat di VIP sehingga memperoleh fasilitas tempat duduk, meja, bahkan juga minuman ringan. Adapun tempat menonton gratis untuk publik, ada di seberang kami.
Dari bilik penonton, saya mengamati, para penonton di Grenoble ini pun tidak banyak berbeda dengan di Indonesia. Mereka akan berusaha dengan segala cara untuk dapat melihat para pebalap dengan jelas. Karena itu, ada yang naik ke atap-atap ”kios” para penjual makanan ataupun naik ke tiang lampu lalu lintas.
Petugas keamanan sering kali berusaha memaksa mereka turun karena dianggap membahayakan, tetapi setelah kosong beberapa menit, atap itu pun kembali diduduki sejumlah orang. Wajarlah apabila seorang kawan saya sambil ketawa berkomentar, ”Ternyata, sama aja ya sama di negeri kita.”
Antusiasme penonton di Grenoble pun tidak jauh berbeda dengan penonton di Indonesia. Mereka tanpa diminta langsung memukul-mukul pagar pemisah untuk memberikan semangat kepada para pebalap yang memasuki finis.
Meski tidak terjadi kompetisi antar-pebalap menuju garis finis, karena setiap pebalap dilepas start satu per satu, para penonton TdF tetap antusias menunggu pebalap favoritnya memasuki finis. Dari pukul 10.00 hingga 16.00 waktu setempat, penonton tetap ramai. Mereka setia menunggu sampai semua pebalap menuntaskan lomba.
Kios-kios penjual makanan dan minuman di sekitar pusat kota Grenoble itu agak kewalahan melayani pembeli. TdF sukses membangkitkan perekonomian lokal.
Stadion besar
Suasana lebih ”heboh” terasa saat etape penutup TdF 2011 yang berakhir di jalan raya pusat kota Paris, Champs Elysees. Untuk kepentingan balap sepeda TdF, hari itu jalan protokol Champs Elysees ditutup untuk lalu lintas.
Meski pebalap baru memasuki kota Paris sekitar pukul 10.00, sejak pukul 08.00 ribuan orang sudah berada di belakang pagar pembatas di pinggiran jalan Champs Elysees dan langsung mengklaim tempat mereka untuk menonton.
Tidak berbeda dengan penonton di Indonesia, di Champs Elysees ini pun para penonton tampil dengan berbagai aksi. Ada yang membawa kursi, duduk di lantai trotoar, bahkan ada juga yang tiduran menunggu rombongan pebalap lewat.
Ada yang membawa kursi, duduk di lantai trotoar, bahkan ada juga yang tiduran menunggu rombongan pebalap lewat.
Jalan Champs Elysees dengan panjang sekitar 1.900 meter itu pun dibagi menjadi dua blok besar. Sekitar 1.000 meter pertama dari arah Arc de Triomphe merupakan kawasan untuk penonton umum. Siapa pun dapat menonton dengan gratis di sana.
Adapun 900 meter lainnya merupakan kawasan khusus yang sudah ”dikapling-kapling” menjadi boks-boks penonton VIP. Satu boks VIP dapat menampung 200 sampai 400 orang. Tiap kursi di boks itu dijual!
Kursi-kursi VIP itu, seperti disampaikan pengelola TdF, biasanya langsung dibeli perusahaan-perusahaan untuk menjamu tamu-tamu istimewa mereka. Terkadang, 50 kursi di satu boks sudah dibeli oleh perusahaan A, sisanya dibeli perusahaan B dan C, dan seterusnya.
Sebelum para pebalap memasuki kawasan Champs Elysees, para sponsor TdF pun melintas dengan mobil kampanye produk mereka. Bahkan, ada juga yang menampilkan permainan sebuah kelompok band di atas mobil mereka.
Suasana di jalan protokol kota Paris itu menjadi sangat beraroma pesta. Berbagai atraksi ada di sana, bukan hanya aksi para pebalap sepeda. Gerai-gerai penjualan resmi cendera mata TdF pun ramai dipenuhi pembeli meski harganya tidak murah, berkisar 4 euro hingga di atas 100 euro.
Suasana di jalan protokol kota Paris itu menjadi sangat beraroma pesta.
Namun, tentu saja tontonan utama di sana tentulah saat rombongan pebalap lewat di depan mereka. Tepuk tangan dan sorak-sorai para penonton untuk memberikan dukungan kepada pebalap yang mereka dukung terdengar setiap kali pebalap melewati rute Champs Elysees dengan kecepatan tingggi. Berbagai bendera yang dibawa penonton pun dikibar-kibarkan ketika para pebalap lewat, menambah suasana semakin meriah.
Pada etape penutup TdF itu, delapan kali rombongan para pebalap lewat di depan penonton di Champs Elysees. Suasananya selalu bergemuruh karena para pebalap melakukan aksi adu sprint.
Para pebalap pun mengerti, dengan puluhan ribu penonton yang menyaksikan mereka, menunjukkan aksi dan bergaya di depan penonton menjadi sangat penting agar seorang pebalap mudah dikenal orang.
Selebihnya, tidak terlalu istimewa. Pengumuman para pemenang dan penganugerahan piala kepada para pemenang di podium berlangsung sederhana dan biasa saja. Yang luar biasa hanya latar belakang podium, yakni Arc de Triomphe.
Para penonton pun lebih tertarik kepada para pebalap yang melakukan pendinginan dengan berputar-putar di sepanjang Champs Elysees.
Permintaan tanda tangan atau berfoto bersama terlihat di mana-mana. Hebatnya, para pebalap pun sering kali menerima permintaan tanda tangan atau foto bersama itu. Suasananya benar-benar cair dengan penjagaan keamanan yang tidak sangat mencolok. Tampaknya, itulah kunci mengapa TdF terus bertahan melewati satu abad. Aspek hiburan, atraksi, dan interaksi intim antara pesepeda dan penggemar mereka, semua ada di Tour de France.