Bersua ”Nenek Moni” di Pulau Bunga, Flores
Hari Kamis (3/8) menjelang tengah malam, kami memutuskan bermalam di salah satu penginapan di Moni, sebuah kecamatan di kaki Gunung Kelimutu, Nusa Tenggara Timur. Kami memang singgah di Kelimutu untuk mempersiapkan tulisan demi reportase Jelajah Sepeda Flores 2017.
Menginap di Moni tentu berarti tidak menginap di hotel bintang lima. Penginapan kami di Moni itu hanya berupa bangunan tua. Ketika kami melangkah masuk, kami melihat banyak sudut gelap di dalam penginapan itu.
Namun, kami tidak menghiraukan kondisi itu. Apalagi, hujan deras dan angin dingin yang menerpa di malam itu, membuat kami ingin segera merebahkan diri. Maka, setelah menaruh barang, kami langsung membersihkan diri. Kemudian, dalam waktu singkat, kami naik ke ranjang dan hampir terlelap.
Tiba-tiba, kami mendengar teriakan-teriakan dari pewarta foto Kompas, Agus Susanto, yang sebelumnya sudah jatuh tertidur. Kami coba mengangkat kepala dan memasang telinga, tetapi tidak terdengar teriakan lanjutan. Agus tampaknya tidak terbangun dan melanjutkan tidurnya.
Kami yang terlalu lelah akhirnya memutuskan kembali melanjutkan tidur. Bahkan, kami tertidur pulas hingga keesokan harinya.
Pagi hari, Agus mengisahkan penyebab teriakannya. Ia bermimpi ditangkap nenek berambut panjang yang tidak terlihat wajahnya. Suasana menjadi hening. Seketika, kami memandang ke sekeliling. Benar juga, penginapan ini setelah diamati terlihat sangat tua dan menyeramkan.
”Sebenarnya saya kurang setuju tidur di bangunan tua seperti ini. Biasanya, saya menyarankan penginapan lain. Karena mas-mas memilih ini, saya ikut saja. Sekarang, sudah tahu, kan, alasannya?” ujar Feri, pengemudi kami yang asli dari Maumere, Kabupaten Sikka.
Kenapa hanya Agus yang didatangi dalam mimpi? Kenapa Agus di dalam mimpi itu hendak ditangkap? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat di dalam benak kami. Tetapi, sudahlah, kami memang hanya berencana menginap satu malam di Moni.
Kami harus menginap di Moni karena ingin naik ke puncak Kelimutu pada Jumat (4/8) pagi. Pelancong yang hendak singgah di puncak Kelimutu biasanya memang memilih menginap di Moni karena lokasinya paling dekat dengan puncak Kelimutu.
Sesungguhnya, ada banyak penginapan di sana. Namun, losmen yang tersisa di situs pemesanan kamar hanya penginapan tua yang kami tempati. Karena tidak punya gambaran, kami memilih penginapan itu begitu saja. Kamar di penginapan itu yang akhirnya mewadahi perjumpaan Agus dengan sosok yang kami sepakati untuk disebut ”Nenek Moni”.
Sosok itu kami sepakati untuk disebut ”Nenek Moni”.
Masuk penginapan menjelang tengah malam, kami keluar kamar untuk menuju Kelimutu pada pukul 04.30 Wita. Butuh waktu hampir satu jam berkendara lalu berjalan kaki untuk menuju puncak. Kami menargetkan tiba di puncak Kelimutu sebelum matahari terbit menjelang pukul 06.00.
Kami tiba sesuai jadwal. Namun, sayang sekali, kabut sedang tebal dan langit berawan. Akibatnya, rencana kami untuk merekam proses matahari terbit tidak terwujud sempurna. Matahari malah bersembunyi di balik awan. Kali itu, keberuntungan tidak menyertai kami. Dalam hal fotografi dan videografi, selain hal teknik, di lapangan terkadang dibutuhkan pula nasib baik.
Kerja jurnalistik
Karena koran tetap harus terbit, Agus kemudian menyiapkan foto-foto lain untuk dipakai dalam dalam laporan pembuka Jelajah Sepeda Flores (JSF) 2017 yang diselenggarakan harian Kompas. Jelajah sepeda itu dimulai 12 Agustus 2017. Namun, harian Kompas mengirim kami bertiga ke Flores mulai 1 Agustus 2017.
Sebelum jelajah dimulai, kami bertugas mengumpulkan bahan tulisan pariwisata dan potensi alam Flores. Ketika kami melihat pariwisata Flores kurang berkembang, maka kami harus mencari faktor-faktor penyebabnya. Jauh hari sebelumnya, kami telah pula membaca berbagai hal mengenai Flores sehingga tulisan kami sedapat mungkin mendalam.
Kenapa kami harus tiba di Flores jauh sebelum digelarnya JSF 2017? Ya tentu saja, tulisan yang baik hanya dapat dihasilkan dari peliputan yang matang. Tulisan itu takkan baik bila hanya ditulis sehari sebelum diterbitkan.
Kami juga harus langsung mewawancarai narasumber dan melihat sendiri kondisi di lapangan. Liputan seperti JSF 2017 juga merupakan liputan unggulan harian Kompas. Itulah sebabnya mengapa survei atau liputan pendahuluan sangat penting dilakukan. Kami ingin memperlihatkan bahwa kami serius melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Setelah total selama sepekan kami berkeliling Flores dan mewawancarai begitu banyak narasumber, tulisan itu diterbitkan di harian Kompas, antara 11 Agustus dan 18 Agustus 2017. Sebagian laporan lain akan diterbitkan pula secara bertahap. Tidak hanya diterbitkan di harian Kompas, tetapi juga diunggah di www.kompas.id.
Keramahan orang Flores
Ada banyak hal yang kami temui dan pelajari setelah selama sepekan menjelajahi Flores dari Larantuka di timur hingga Labuan Bajo di barat.
Jujur saja, tugas kami lebih mudah karena ternyata orang-orang di Flores sangat ramah. Mereka dengan sigap mempersilakan datang setelah perkenalan singkat lewat telepon.
Bahkan suatu ketika, ada narasumber yang menunggu di persimpangan jalan menuju desa tempat tinggalnya. ”Saya harus jemput agar tidak tersasar,” kata Yohanes L Hayong alias Anis, narasumber soal madu di Flores Timur.
Kami beberapa kali mengontak calon narasumber dahulu sebelum bertemu muka. Ini trik karena tidak mudah menemui mereka ketika sudah beraktivitas pada siang hari karena komunikasi tidak selalu mudah pula di pulau ini. Sinyal terkadang begitu terbatas.
Anis bukan satu-satunya orang ramah di Flores. Di seluruh penjuru Flores, anak kecil hingga orang tua dengan sigap menyapa siapa saja yang ditemui di jalan. Tentu saja disertai senyum yang kadang memperlihatkan gusi merah karena mereka banyak mengunyah sirih.
Anak-anak lebih ramah lagi. Mereka terbiasa menyapa orang, kadang disertai bercakap-cakap selama beberapa waktu.
Setelah bercakap-cakap dengan anak-anak, biasanya beberapa butir permen berpindah dari tangan kami. Mendadak kericuhan biasanya terjadi karena anak-anak itu berebut permen. Namun, mereka selalu berteriak mengucapkan terima kasih karena biasanya kami sudah melaju menjauh.
Sapaan dan ungkapan terima kasih juga kerap terdengar dari perempuan-perempuan di desa yang masih melestarikan tradisi menenun. Setelah berhenti beberapa kali dan menyaksikan proses penenunan, kami menyempatkan diri untuk membeli kain tenun Sikka. Beberapa lembar kain dibeli dekat gereja tua Sikka sedangkan beberapa lembar lainnya dibeli di pasar Maumere.
Wanita Flores secara tradisi memang wajib bisa menenun sebelum menikah. Menenun merupakan lambang kemandirian wanita Flores. Lewat menenun, wanita Flores bisa memastikan ketersediaan pakaian untuk anggota keluarganya. Mereka pun bisa menjual hasil tenun itu untuk menambah penghasilan keluarga.
Selain meliput dan menuliskan reportase, berbelanja adalah upaya kami untuk membangkitkan perekonomian lokal, perekonomian mereka. Tentu saja melalui peliputan, infrastruktur terbangun bahkan pariwisata diharapkan menggeliat. Namun, dengan berbelanja setidaknya di pengujung hari itu, ada satu dapur yang bisa mengebul.
Variasi rute
Hari Jumat (11/8), peserta JSF 2017 berdatangan. Pada malam hari sebelum start dimulai, kami, panitia, dan peserta JSF berkumpul bersama. Dalam pertemuan itu, marshall menegaskan JSF 2017 bukan balapan. Pebalap tidak adu cepat.
Tujuan utama JSF adalah menjelajah Flores dan menikmati keindahan pulau itu sembari mengendarai sepeda.
Kecepatan tentu tetap dibutuhkan karena rute JSF membentang 709 kilometer dan harus tuntas dalam enam hari. Bayangkan, jika tiap pesepeda melaju dengan kecepatan yang jauh berbeda, jelas akan ada persoalan dalam pengamanan, logistik, hingga penginapan.
Yang menarik, rute JSF 2017 sangat bervariasi karena membentang dari tepi laut hingga lereng gunung. Tidak hanya ada jalan datar, tetapi juga tanjakan dan turunan hingga puluhan kilometer.
Tantangan dalam JSF 2017 tidak hanya soal tanjakan yang bervariasi. Perbedaan suhu udara juga cukup besar, 8 derajat hingga 32 derajat celsius. Ketika kami liputan di wilayah Maumere, Kabupaten Sikka dan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, suhu terasa begitu panas. Pesepeda memang terkadang melaju di pesisir pantai Flores.
Namun, ketika kami berada di kawasan Kelimutu, suhu udaranya langsung drop. Di puncak Gunung Kelimutu, suhu turun hingga kurang dari 10 derajat celsius. Padahal, gunung tersebut tidak terlalu tinggi, yakni 1.639 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Persoalannya, citra Flores sebagai tanah yang tandus, gersang, dan panas, sangat mengecoh. Ada wartawan hingga pesepeda yang tidak membawa pakaian yang cukup mumpuni untuk menghalau cuaca dingin dari tanah Flores. Siapa sangka suhu di Flores bisa di bawah 10 derajat celdius?
Berkantor di bak mobil
Saat jelajah sepeda dimulai, harian Kompas menugaskan pewarta foto yang berbeda, yakni Lucky Pransiska. Tentu, bukan karena Agus Susanto terus dihantui oleh ”Nenek Moni”, melainkan karena pengalaman saat meliput harus dirasakan oleh setiap jurnalis di kantor kami! Jangan heran jika kami sering berganti lokasi atau peran.
Selama JSF 2017, kami menaiki kendaraan berbeda. Lucky membonceng sepeda motor, sedangkan kami, para wartawan, duduk di bak belakang mobil-mobil polisi atau mobil logistik yang mengiringi rombongan pesepeda.
Lucky harus naik sepeda motor karena kerap harus mendahului rombongan peserta dan berhenti di tempat-tempat terbaik untuk memotret. Ia harus di titik itu sampai seluruh atau setidaknya sebagian besar peserta lewat. Setelah itu, ia harus kembali mencari lokasi pemotretan dan tentu saja menyalip rombongan peserta. Manuver semacam itu sulit dilakukan jika ia menumpang mobil.
Terlebih lagi, lebar jalan yang digunakan dalam JSF tidak sampai 4 meter. Jika ada dua sepeda melaju sejajar, sudah 1,5 meter badan jalan terpakai.
Kenapa tidak mencari rute jalan yang lebih lebar? Ya, jalan seperti yang tersedia di Flores. Jangan dibandingkan dengan infrastruktur jalan di Pulau Jawa. Pada hari ke-2 JSF 2017 bahkan pesepeda harus dievakuasi di tengah hari lantaran rusaknya jalan yang seharusnya dilewati oleh pesepeda.
Bagaimana dengan kami, wartawan? Nyaris di sepanjang waktu, kami duduk di bak mobil. Pilihan itu diambil karena kami juga harus memotret dan merekam video perjalanan yang hasilnya dapat dinikmati oleh pembaca harian Kompas di platform www.kompas.id.
Tugas tersebut jelas tidak dapat dilakukan dari dalam kabin mobil. Ketika harus memotret misalnya, kaca belakang mobil akan mengaburkan warna asli yang tertangkap oleh mata. Belum lagi karena debu sering kali terlontar dari jalan-jalan yang rusak maka pandangan mata keluar jendela sangat minim.
Duduk di dalam bak belakang mobil mengarungi ratusan kilometer jalan di Flores, yang sebagian di antaranya hanya dilapisi batu seukuran kepala orang dewasa adalah dinamika selama liputan JSF 2017.
Kami pun mempersenjatai diri dengan kacamata, masker, dan topi. Perlengkapan tersebut begitu penting tidak hanya untuk melindungi kami dari terik mentari, tetapi juga debu itu tadi.
Dari bak belakang mobil, yang menjadi ruang kerja kami dalam beberapa hari, kami mengupayakan beberapa hal. Pertama, tentu saja mengumpulkan bahan tulisan dan merekam foto serta video sebanyak-banyaknya. Kedua, dari bak belakang mobil itu, kami mengirim foto, video, dan berita ke kantor.
Proses itu jelas penuh tantangan. Berkali-kali, foto dan video gagal direkam, goyang, atau tidak fokus. Wajar saja karena mobil itu terus berguncang saat melaju di ruas-ruas jalan di Flores. Jalan di pulau itu jelas tidak semulus ruas Tol Trans-Jawa.
Persoalan belum selesai. Pengiriman berkas berita atau foto via jaringan internet berulang kali gagal saat sinyal dari perusahaan telekomunikasi tiba-tiba menghilang. Jika tadinya tertangkap LTE, hanya bergeser lokasi beberapa ratus meter, dapat saja koneksi internet tiba-tiba anjlok menjadi GPRS. Pengiriman berita gagal. Kami pun harus mencari lokasi terbaik lain untuk mengirim berita.
Ketika rute JSF melewati bukit dan gunung, persoalan itu kian nyata. Sinyal telepon memang tidak dapat menembus bukit atau gunung.
Untuk menyiasatinya, kami terkadang sengaja berhenti di lokasi tertentu kala layar ponsel menunjukkan layanan data di HSDPA atau LTE. Karena hanya mengirim video dengan ukuran file dari 10 megabyte, sebenarnya hanya butuh waktu pengiriman kurang dari semenit di jaringan LTE. Namun, persoalannya, jaringan LTE harus dicari dan tidak bisa dibeli tunai!
Namun, persoalannya, jaringan LTE harus dicari dan tidak bisa dibeli tunai!
Kekuatan jaringan telekomunikasi tentu saja domain perusahaan swasta dan tergantung dari permintaan pasar. Namun, persoalan jalan rusak tentu menjadi fokus kami dalam liputan ini.
Bagaimana bangsa ini bisa punya daya saing yang lebih baik dari negara lain jika infrastruktur jalan saja buruk? Bagaimana mungkin ada pembangunan jika mobilitas dari satu daerah ke daerah lain saja sulit?
Para bupati di sejumlah wilayah yang dilintasi oleh JSF 2017 menyatakan, mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap jalan rusak? Mengapa? Karena, jalan itu berstatus jalan provinsi atau jalan negara. Dalam aturan keuangan negara, pemerintah kabupaten dilarang memperbaiki jalan provinsi atau jalan negara.
Di balik jawaban para bupati, kami sebenarnya juga bertanya-tanya apakah memang kabupaten punya anggaran? Terlebih lagi, sudah menjadi rahasia umum kalau APBD biasanya tersedot untuk belanja rutin seperti gaji pegawai negeri sipil.
Meski demikian, jelas tidak hanya jalan rusak yang kami temui selama JSF 2017. Flores tidak hanya soal jalan rusak.
Kami juga melihat dan menulis soal keindahan alam Flores. Soal pantai, kebun kopi, kampung adat, hingga puncak gunung ada di sana.
Belum puas dengan pesona alamnya, mata kita pun dapat dimanjakan dengan kekayaan adat, budaya, dan hasil alam wilayah ini. Kebetulan, Flores terkenal sebagai surganya sejarah. Di sini, segenap adat istiadat dan budaya tua masih terjaga, terutama peninggalan masa megalitikum. Hal ini bisa dilihat jelas di sejumlah perkampungan adat di sana, antara lain Kampung Bena di Ngada, Kampung Todo di Manggarai, dan Kampung Waerebo di Manggarai.
Singkat dan tegas kata, pulau itu memang sangat indah. Tidak salah jika orang Portugis mengganti nama pulau itu dari Nusa Nipa menjadi Pulau Bunga. Dan, dalam bahasa Portugis, padanan kata bunga adalah... Flores!