Ketika ”Kompas” Menemani Perjalanan Anak Perbatasan demi Menggapai Mimpi Mereka
Aroma bau tanah usai diguyur hujan tiba-tiba tercium begitu saya membuka pintu penginapan di Entikong, Kalimantan Barat. Kali ini, hujan bukan pertanda baik, terlebih lagi tatkala saya hendak melakukan reportase pendidikan di Dusun Badat Lama dan Badat Baru. Infrastruktur jalan yang tidak terlalu baik dapat diperburuk oleh cuaca yang tidak baik pula.
”Kita berangkat siang saja. Percuma kita pagi-pagi ke sana, toh ujung-ujungnya akan terjebak di jalan dan berhenti menunggu jalanan agak kering. Jadi, lebih baik siang saja,” kata Ignatius (35), warga Entikong, yang menemani Kompas ke Badat Lama dan Badat Baru.
Ketika infrastruktur jalan yang rusak diguyur hujan sehingga tergenang air atau ketika jalan tanah terendam air sehingga menjadi semacam ”pecel”, maka hanya terik matahari yang dapat mengubah kondisinya menjadi lebih baik.
Ketika jalan tanah terendam air sehingga menjadi semacam ”pecel”, maka hanya terik matahari yang dapat mengubah kondisinya menjadi lebih baik.
Akhirnya, pada Senin (14/8) pukul 13.00 WIB, kami mulai melaju menuju Dusun Badat Baru, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Dari Entikong, yang merupakan lokasi Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Indonesia-Malaysia, kami melaju ke arah barat.
Sehari sebelumnya, Kompas menempuh perjalanan dengan sepeda motor dari Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat. Perjalanan sejauh 243,8 kilometer (km) pada Minggu (13/8) itu ditempuh selama empat jam melintasi jalan trans-Kalimantan hingga jalan negara menuju Entikong.
Dengan sengaja, saya melaju dengan sepeda motor karena telah memprediksi perjalanan menggunakan kendaraan roda empat justru kontraproduktif. Di tengah perjalanan menuju Badat Baru, misalnya, saya melihat sebuah mobil bergardan ganda justru terperosok ke kolam lumpur.
Ketika tiba di Entikong pada hari Minggu siang, saya langsung mencari informasi. Menurut warga, sudah ada jalan paralel perbatasan menuju Dusun Badat Lama dan Badat Baru. Sebelum jalan paralel itu dibuka, warga menggunakan perahu motor melintasi sungai menuju dusun itu. Karena harus mengikuti kelak-kelok sungai, perjalanan mesti ditempuh dalam satu hari.
Meski dalam satu kecamatan, dari Entikong, Dusun Badat Baru berjarak 50 kilometer alias setara dengan jarak Jakarta-Bogor. Sepuluh kilometer pertama, kami melintasi jalan beraspal yang diselingi batu kerikil. Kami juga melaju di perbukitan meski masih dapat melaju dengan nyaman dan dapat melihat indahnya pemandangan.
Setelah melaju 10 kilometer, jalan aspal menghilang. Kami mulai melintasi jalan tanah yang masih licin meski sudah mendapatkan panas dari mentari. Akibatnya, sepeda motor kami hanya dapat dipacu dengan kecepatan 20-50 km per jam.
Kami juga mulai disibukkan dengan kondisi jalan rusak. Di beberapa titik jalan, mulai ditemukan kubangan lumpur berkedalaman hingga 50 sentimeter dengan diameter 60-100 sentimeter.
Melintasi sungai
Medan perjalanan yang dilintasi semakin berat terutama saat tiba di Desa Suruh Tembawang. Saat tiba di desa itu, kami harus menyeberangi sungai selebar hingga 5 meter. Sungai itu, kata warga yang kami temui, berkedalaman 30 sentimeter hingga 1 meter.
Untuk menyeberangi sungai itu, warga menggunakan jembatan yang terbuat dari bambu. Namun, sebelum kami melintas, tepat di hari itu, jembatan tersebut roboh. Saat kami tiba, warga sedang bergotong royong menarik kayu dan bambu untuk memperbaiki jembatan.
Kami mengamati perbaikan yang dilakukan warga. Tak lama kemudian, kami memprediksi perbaikannya akan menyita banyak waktu. Kami menduga perbaikan akan selesai pada malam hari atau, jika beruntung, menjelang petang.
Persoalannya, langit semakin mendung. Jika hujan mengguyur jalan tanah yang hendak kami lintasi, perjalanan akan makin sulit, bahkan membahayakan keselamatan kami.
Kami akhirnya memutuskan untuk menyeberangi sungai itu dengan sepeda motor. Tentu saja ada risikonya, tetapi itulah pilihan terbaik.
Dengan cermat dan sedikit spekulasi, kami melintasi sungai itu dengan menyelinap di antara bebatuan kecil dan memilih dasar sungai yang tidak terlalu dalam. Akhirnya, kami lolos tiba hingga seberang sungai. Namun, banyak juga pengendara lain yang mengekor kami akhirnya sepeda motornya mogok di tengah sungai.
Masih 30 kilometer lagi jalan yang harus ditempuh menuju Badat Lama dan Badat Baru. Kami kemudian berpacu dengan mendungnya langit. Kami menargetkan harus tiba di dusun itu sebelum hujan. Dari sekitar 30 kilometer itu, 90 persennya merupakan jalan berlumpur yang diwarnai pula dengan puluhan tanjakan.
Meskipun tidak hujan, lumpur tetap menyulitkan kami. Beberapa kali kami terjebak di lumpur. Selain itu, terdapat sekitar tiga jembatan penyeberangan lagi yang kami lintasi. Jembatan itu hanya terbuat dari bambu tua yang disusun sedemikian rupa menjadi jembatan dengan lebar 1,5 meter.
Di bagian yang akan dilintasi roda sepeda motor, ada tiga bambu yang disusun rapat walau tetap ada lubang di sela-selanya. Sementara itu, di sisi kiri dan kanan bambu utama masing-masing ada tiga bambu yang disusun sebagai tempat pijakan kaki pengendara sepeda motor. Jika salah injak, tentu saja kami beserta sepeda motor kami dapat terjatuh.
Setelah melintasi beberapa jembatan bambu, medan yang dilintasi semakin terjal. Kemiringan tanjakan berkisar 30-45 derajat.
Karena jalan dibangun tanpa drainase, justru ketika hujan akhirnya jalan berubah menjadi sungai. Aliran air pun menggerus badan jalan sehingga di tengah tanjakan malah terdapa banyak alur air. Rusaknya badan jalan tentu menyulitkan kami saat menanjak ataupun melaju melalui turunan.
Suatu kali, saat menuruni sebuah ruas jalan, kubangan lumpur sedalam 30-50 sentimeter sudah menunggu di bawah. Kami kemudian bertemu dengan seorang pengendara sepeda motor yang terjebak di lumpur yang meminta bantuan kami.
Jelas saja kami membantu pengendara sepeda motor itu. Ketika kami membantu orang lain, mungkin saja ada karma baik yang kelak menghampiri. Semoga.
Petang harinya, kami tiba di dusun itu untuk mendengar kisah dari warga setempat bahwa anak-anak dari dusun tetangga (Badat Lama) tiap hari berjalan kaki menyusuri jalan berbukit menuju Dusun Badat Baru sejauh 3 kilometer dengan kecuraman 30-40 derajat.
Dari jalan desa sejauh 3 kilometer itu, 90 persennya berupa tanjakan. Tak jarang, anak-anak itu menangis karena menahan lapar, tergelincir, atau melawan rasa takut.
Tak jarang, anak-anak itu menangis karena menahan lapar, tergelincir, atau melawan rasa takut.
Inilah persoalan khas masyarakat di daerah terpencil, termasuk persoalan masyarakat di perbatasan. Sebuah persoalan yang takkan dihadapi oleh masyarakat di perkotaan.
Melintasi bukit
Saya berencana meliput perjalanan anak-anak Badat Lama berangkat dan pulang sekolah pada keesokan harinya, Selasa (15/8). Maka, sore hari itu kami menyurvei medan terlebih dahulu dengan pergi ke Badat Lama menggunakan sepeda motor.
Jalur jalan dari Badat Lama hingga Badat Baru terbuat dari rabat beton atau lantai kerja yang sering disebut lean concrete. Lebarnya sekitar 1 meter sepanjang 3 kilometer.
Meski kami melaju dengan sepeda motor, ternyata tidak mudah juga untuk tetap berada di jalur yang berkelok-kelok dengan tanjakan-turunan berkecuraman 30-40 derajat. Jalan itu juga licin setelah hujan, dengan jurang di kanan-kiri jalan desa berkedalaman 10-15 meter yang setara dengan kedalaman tiga lantai basement.
Dua ratus meter dari batas Dusun Badat Lama, perjalanan kami terhenti. Longsoran tanah menimbun jalan desa sehingga sepeda motor kami tidak dapat melintas.
Awalnya, kami berusaha menerobos lumpur reruntuhan longsor itu, tetapi justru terjebak. Kami akhirnya meninggalkan sepeda motor dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Menjelang petang, kami tiba di Dusun Badat Lama. Kami berbincang dengan kepala dusun dan beberapa warga. Mereka menceritakan mengenai kondisi dusun itu, juga tentang anak-anak dusun yang tiap hari harus menempuh pendidikan di dusun tetangga.
Menurut kepala dusun, anak-anak dusun tiap hari berangkat ke sekolah pukul 06.00 WIB. Saya pun berniat untuk meliputnya. Perjalanan saya kali ini memang untuk meliput perjuangan anak di perbatasan negeri dalam meraih ilmu.
Kami kemudian kembali ke Badat Baru karena akan menginap di dusun itu. Saat pulang dari Badat Lama, hari mulai gelap.
Jalur perjalanan pulang yang didominasi tanjakan tetap sulit dilintasi. Sudah begitu, jalan beton itu terasa licin setelah hujan, padahal ada jurang di kanan kiri jalan. Terpaksa mesin dimatikan, dan kami hanya menuntun sepeda motor demi keselamatan.
Terpaksa mesin dimatikan, dan kami hanya menuntun sepeda motor demi keselamatan.
Keesokan harinya, Selasa sekitar pukul 05.00, kami bergegas menuju Badat Lama untuk menyaksikan anak-anak Badat Lama berangkat sekolah. Namun, kali ini kami berjalan kaki supaya dapat merasakan kesulitan yang dihadapi anak-anak Dusun Badat Lama untuk menempuh pendidikan.
Saat menuju Badat Baru, anak-anak itu diuji oleh tanjakan. Dan, 90 persen dari jarak 3 kilometer antarkedua dusun itu memang tanjakan. Tantangannya tidak hanya tanjakan, tetapi juga jalur beton yang licin. Mereka pun beristirahat beberapa kali di tengah perjalanan, begitu pula dengan kami.
Saat melintasi jalan lumut, mereka memperlambat langkah dan saling berpegangan. Sesekali Nia, anak Dusun Badat Lama, mendongak ke langit memandang mendung yang menggantung. Ia khawatir turun hujan karena perjalanan akan semakin sulit. ”Saya dan teman-teman pernah tergelincir saat hujan,” kata Nia.
Mereka tiba di sekolah pukul 07.10. Total lama perjalanan sekitar 70 menit untuk 3 kilometer. Untung saja, hujan tidak turun sehingga perjalanan mereka terhitung cepat.
Apa solusi bagi anak Dusun Badat Lama? Idealnya, memang membuat SD mini di Badat Lama atau setidaknya membuat sekolah baru yang tidak jauh dari Dusun Badat Lama.
Jika tidak, solusinya dapat dengan memperbaiki infrastruktur jalan antarkedua dusun itu sehingga dapat dilintasi dengan sepeda motor. Meski persoalannya, tidak tiap orangtua punya keleluasaan waktu untuk menjemput anak karena harus bekerja di ladang.
Di Badat Lama sebenarnya ada SD mini meski hanya terdiri dari kelas I dan II. Jika mereka melanjutkan ke kelas III hingga VI, dengan terpaksa mereka harus ke Badat Baru, dusun terdekat.
Menurut Kepala Dusun Badat Lama Agius Asip, perjuangan untuk sekolah pada tahun 1984-1985 jelas lebih berat lagi. Asip kala itu harus sekolah ke Malaysia, melintasi perbatasan, karena belum ada SD di dusun mereka.
Ia menginap di rumah saudaranya di Malaysia karena tidak bisa jika harus pergi pulang berjalan kaki. Namun, ia hanya bisa bertahan dua tahun sekolah di Malaysia.
Mewujudkan mimpi
Melihat sendiri prasarana pendidikan di SD Negeri 14 Badat, ternyata kondisinya serba terbatas. Kelas I, II, dan V dalam satu ruangan. Kelas IV satu ruangan dengan kelas VI. Hanya kelas III yang sendiri dalam satu ruangan. Di sekolah itu hanya ada tiga ruang belajar. Guru dan murid harus berjuang agar tetap fokus saat proses belajar.
Meskipun kondisinya tidak mudah, anak didik di sana tetap berusaha semaksimal mungkin untuk tetap belajar. Nia, salah seorang pelajar, bahkan punya mimpi yang mengharukan. ”Saya ingin menjadi guru supaya kelak bisa mengajar di kampung saya,” ujar Nia, yang selalu menjadi juara I sejak kelas I hingga IV.
Meliana, guru SD Negeri 14 Badat, mengakui, perjuangan muridnya memang tidak ringan. Dari 110 siswa SD itu, 70 persennya bahkan dari Badat Lama yang harus berjalan kaki jauh hingga Badat Baru.
Ketika musim panen tiba, ada murid yang berjalan kaki bahkan langsung kembali ke ladang seusai bersekolah. Selama ini, para murid berjuang keras karena para guru juga menanamkan keyakinan kepada mereka bahwa pendidikan penting untuk mewujudkan mimpi.
Pukul 11.30, kami kembali mengikuti perjalanan anak-anak pulang sekolah. Meskipun cukup melelahkan, perjalanan itu tetap harus diikuti supaya dapat lebih merasakan perjuangan mereka.
Perjalanan itu tetap harus diikuti supaya dapat lebih merasakan perjuangan mereka.
Kami merasakan beratnya tanjakan dan mewaspadai tiap turunan terjal. Kami melihat sendiri tubuh-tubuh yang membungkuk saat menanjak. Kami mengamati kaki-kaki yang berjinjit dan otot-otot kaki mereka yang mungil mengeras. Bahkan, beberapa anak terlihat tidak memakai sepatu saat berjalan.
Di bawah sebuah pohon, Justin (8), siswa kelas III, bersandar melepas lelah sembari melepas baju seragamnya. Teman-temannya menghampiri dan beristirahat bersama.
Sepanjang perjalanan, mereka istirahat beberapa kali di bawah pohon. Bahkan terkadang, ada anak yang terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan karena haus dan lapar sehingga harus dibopong beramai-ramai oleh siswa.
Saya juga kelelahan. Namun, dengan demikian, saya dapat merasakan apa yang mereka juga rasakan. Sebab, saya mengalami sendiri sepenggal kisah perjuangan anak-anak negeri dalam menggapai mimpi dari batas negeri....