Selama Seminggu Menjelajahi Tanimbar
Minggu (20/8), dengan ATR 72 milik salah satu maskapai penerbangan swasta nasional, saya mendarat di Bandar Udara Mathilda Batlayeri. Ada yang pernah dengar nama bandara itu atau tahu letaknya? Ya, Bandara Mathilda Batlayeri berada di Saumlaki, ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Saumlaki terletak di tenggara Pulau Ambon, Maluku, berjarak sekitar 580 kilometer dari Ambon atau setara jarak Jakarta-Solo. Kota itu ada di Pulau Yamdena, sebuah pulau di Kepulauan Tanimbar. Jika Anda menyimak peta bumi, Pulau Yamdena kira-kira berada di tengah-tengah antara Ambon dan Darwin, Australia.
Untuk apa saya ke Saumlaki? Pertama-tama, saya memenuhi undangan Pengurus Besar Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM). Saya diminta berbagi pengalaman kepada kader AMGPM dan sejumlah pendeta di Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Maluku Barat Daya tentang kerja-kerja jurnalistik.
Liputan saya tentang tambang liar dan warga yang terpapar merkuri di Pulau Buru pada 2015 serta pencurian ikan ilegal di Laut Seram pada awal tahun ini menjadi deretan pertimbangan mereka mengundang saya.
Namun, penerbangan itu tidak sepenuhnya mulus. Sejak lepas landas dari Bandar Udara Pattimura, Ambon, beberapa kali pesawat dihadang awan tebal. Keinginan melihat pulau-pulau kecil di tengah Laut Banda pun terhalang. Padahal, dengan ketinggian jelajah hanya 13.000 kaki atau 3.962 meter di atas permukaan laut, jelas jarak yang cukup baik untuk memotret pulau-pulau itu.
Laut Banda
Laut Banda, dengan palung terdalam di Indonesia, yakni hingga kedalaman 7,2 kilometer, sebenarnya selalu memanjakan mata. Kepulauan Banda dengan hasil bumi pala (Myristica fragrans) juga pernah mengubah peradaban dunia dan memancing kolonialisme Barat.
Bahkan, di laut itu ada sebuah pulau, yakni Pulau Run, yang ditukar guling dengan Manhattan, sebuah pulau di Amerika Serikat. Barter kedua pulau itu kini genap berusia 350 tahun. Bulan April 2017 lalu, saya sempat bertandang ke pulau itu.
Di Laut Banda juga terdapat Pulau Serua. Pada 1978, rezim yang berkuasa memerintahkan pengosongan pulau dengan alasan akan terjadi bencana besar. Lebih dari 1.000 warga harus angkat kaki. Sudah 39 tahun berlalu, pulau yang pada zaman Hindia Belanda dikenal sebagai pengekspor belerang itu masih berdiri tegak. Ketika saya singgah di pulau itu pada 2016, terungkap ada investor yang mau membeli pulau itu karena terdapat kandungan uranium.
Awan tebal telah membuyarkan kesempatan untuk mengambil gambar dari udara sehingga sia-sia bagi saya telah memilih tempat duduk di samping jendela. Saat naik pesawat, saya memang selalu memilih duduk dekat jendela agar dapat memotret.
Yang kemudian terjadi justru rasa cemas melihat awan yang masih membungkus pesawat ATR itu. Beberapa kali, pesawat terguncang cukup kuat. ”Mama eee,” ujar seorang gadis manis di belakang saya yang tiba-tiba ketakutan. Pesawat itu kemudian berhasil mendarat meski di tengah cuaca yang buruk.
Saling berbagi
Selama tiga hari, saya berbagi pengalaman liputan dan cara meramu hasil liputan menjadi sebuah artikel. Saya juga meminta para peserta yang umumnya datang dari pulau-pulau terpencil untuk membuat tulisan yang didasari fakta menarik tentang berbagai kejadian di tempat tinggal mereka.
Tanpa diduga, dari aktivitas itu terkuak sejumlah informasi yang bisa saya dalami setelah kegiatan itu selesai. Para peserta diskusi ternyata dengan terbuka memberikan informasi-informasi menarik tentang sejumlah daerah di sudut Maluku.
Para peserta diskusi ternyata dengan terbuka memberikan informasi-informasi menarik tentang sejumlah daerah di sudut Maluku.
Jadi, dengan berbagi ilmu, pengetahuan, dan pengalaman, pada akhirnya saya justru menuai informasi. Kebetulan, kaderisasi Gereja Protestan Maluku termasuk terbaik di kawasan ini. Jaringan mereka juga mengurita hingga pulau-pulau terpencil.
Beberapa peserta kemudian saya ajak untuk berdiskusi. Beberapa isu yang mereka angkat dan tulis, jujur saja, dapat masuk standar peliputan Kompas. Informasi dalam tulisan mereka juga dapat dijadikan informasi awal liputan.
Menyeberang ke Selaru
Pada Rabu (23/8), saya memutuskan untuk menyeberang ke Selaru, salah satu pulau yang menjadi perbincangan hangat pada 2016. Sekitar 90 mil laut atau 166,68 kilometer dari Selaru, ada kawasan potensi gas bernama Blok Masela. Dua perusahaan sudah melakukan eksplorasi, yakni Inpex Corporation dari Jepang dan Shell dari Belanda.
Dari Saumlaki, saya menggunakan perahu cepat selama satu jam untuk mencapai Selaru. Perahu cepat itu menyeberangi Selat Egron yang dikenal tidak pernah teduh sepanjang tahun. Gelombang paling rendah setinggi satu meter.
Selaru adalah pulau terluar di Indonesia dengan luas sekitar 3.667,86 kilometer persegi. Jaraknya hanya 337 kilometer dengan perbatasan Australia.
Jangan heran jika Jepang dulu menjadikan pulau itu sebagai basis untuk menjegal langkah Australia, seteru Jepang saat Perang Dunia II. Basis militer Jepang didirikan di Desa Lingat, sekitar 30 kilometer arah barat Adaut, ibu kota Kecamatan Selaru. Di Lingat masih ada landasan terbang sepanjang 3,5 kilometer yang artinya nyaris sepanjang landasan Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten.
Namun, kini Selaru diambang konflik lahan akibat aktivitas tambang di Blok Masela. Spekulan tanah pun bergerilya. Tergiur dengan uang, tanah milik bersama pun dijual. Di Desa Adaut, misalnya, saya mendengar ada lahan seluas 45 hektar yang dijual dengan harga Rp 1,3 miliar atau satu meter persegi hanya dihargai sekitar Rp 2.888.
Tanpa konflik sekalipun, saya rasa kemiskinan berpotensi makin meluas karena penduduk tidak lagi punya aset tanah. Di sisi lain, uang tunai Rp 1,3 miliar itu dengan mudah dapat dihamburkan.
Di tengah keprihatinan itu, di tengah-tengah Pulau Selaru, saya bertemu dengan dengan beberapa perempuan guru yang datang ribuan kilometer dari kampung halaman mereka untuk mengabdi demi pendidikan di pulau terluar itu. Mereka berupaya membangkitkan mimpi anak-anak Selaru melalui pendidikan.
Baca artikel lengkap terkait potret pendidikan di Pulau Selaru, Maluku.
Energi ekonomi kreatif juga saya rasakan tumbuh di tujuh desa di Selaru. Nyaris hampir di semua rumah ada alat tenun. Selaru bahkan dikenal sebagai lumbung tenun ikat. Penduduk setempat telah memanggungkan tenun khas Tanimbar yang kini mendunia.
Bahkan, saya mendapat informasi, mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama pernah memakai tenun motif Tanimbar. Tanimbar adalah perairan yang terdiri dari 65 pulau di Maluku Tenggara Barat.
Baca artikel di Harian Kompas tentang tenun Tanimbar
Saya kemudian menuju Eliasa, kawasan paling barat di Pulau Selaru. Jaraknya 61 kilometer dari Pelabuhan Adaut, di kawasan paling timur Selaru, tempat saya berlabuh dari Saumlaki. Karena infrastruktur jalan buruk, waktu tempuhnya hingga lebih dari tiga jam, padahal di Jawa jarak itu dapat ditempuh dalam satu jam.
Di Eliasa, saya berjumpa dengan Frets Salakan, seorang pendeta dengan energi positif. Dia sedang berjuang keras menjauhkan warganya dari pengaruh tengkulak yang telah menggurita, bahkan hingga lintas generasi.
Ia ingin membawa warga Eliasa sebagai penyuplai ikan segar hingga Saumlaki. Frets juga berupaya keras untuk meningkatkan ketahanan ekonomi warga setempat.
Dua hari, empat pulau
Dari Selaru pada Jumat (25/8) pagi menuju Pulau Yamdena, lalu pada siang harinya saya sudah menyeberang menuju Pulau Seira. Jadi, ibaratnya, saya hanya transit di Pulau Yamdena. Pulau Yamdena seolah menjadi hub bagi transportasi laut di kawasan itu.
Mengapa saya langsung menuju Pulau Seira? Sebab, ketika itu saya tertarik untuk meliput pencurian teripang. Kapal penyeberangan tidak berangkat dari Saumlaki. Maka, dari Saumlaki saya naik sepeda motor sejauh 41 kilometer ke dermaga Desa Marantutul. Dari desa itu, saya menumpang perahu motor berukuran 0,5 gros ton ke Seira.
Baca artikel mendalam Harian Kompas terkait pencurian teripang di Maluku Tenggara Barat.
Kami sempat merasa tidak nyaman dalam penyeberangan menuju Seira. Hal itu dipicu oleh sang motoris yang memakai helm sepeda motor. Kami mau berlayar atau balapan?
Saat ditanya alasannya, pria itu menjawab, helm itu untuk menghalangi uap dan percikan air laut agar tidak mengenai wajahnya. ”Muka saya sudah hitam, jangan sampai tambah hitam lagi,” ujarnya sambil tertawa. Meski demikian, para penumpang tidak ada yang ikut tertawa dan tetap merasa aneh.
Para penumpang tidak ada yang ikut tertawa.
Setelah mengarungi selat itu, satu jam kemudian kami sandar di Seira. Saya langsung mencari Ketua Forum Peduli Masyarakat Lima Seira Pendeta Devi Paulus Lopulalan. Saya ingin mendapatkan informasi terkait jejak pencurian teripang.
Pendeta Paulus sendiri ternyata menemami saya untuk berkeliling ke empat pulau terdekat, yakni Tamdalam Nawa, Wuriaru, Ngolin, dan Tatunarwatu. Pulau Tatunarwatu bahkan disebut oleh warga setempat sebagai Jakarta Dua. Mengapa? Karena di pulau itu ada kumpulan orang-orang yang diduga terlibat banyak masalah, termasuk percurian teripang.
Empat pulau itu kami sambangi dalam waktu dua hari. Perjalanan itu tidak mudah dan sangat berisiko karena harus menghadapi gelombang hingga dua meter di saat kami naik perahu motor berukuran 3 gros ton.
Nyaris hampir setiap detik, perahu kami dihajar gelombang dalam penyeberangan dari Seira menuju Tamdalan Nawa dan dari Wuriaru ke Ngolin.
Karena tidak memungkinkan untuk pulang ke Seira, kami bermalam di Wuriaru, pulau yang jarang mengenal nasi. Kalau ada beras pun, itu hanya beras sumbangan yang tak layak dikonsumsi.
Warga setempat mengatakan sudah tiga tahun tidak mendapat bantuan. Mereka hanya makan ubi, pisang, dan kelapa. Malam itu, kami disuguhi makanan pembuka berupa teh manis, ikan asin, dan enbal, singkong yang dikeringkan.
Pengalaman selama menjelajahi Tanimbar itu kemudian saya tuangkan dalam beberapa tulisan di harian Kompas, seperti pencurian teripang di Seira, pengabdian anak muda di Selaru, dan masalah lahan. Masalah demi masalah telah coba saya angkat dalam bentuk peliputan.
Dibantu warga
Yang menarik, selama penjelajahan di Tanimbar, saya nyaris tidak membayar untuk kebutuhan mobilitas dan akomodasi. Terkadang, saya menumpang perahu pendeta atau naik perahu reguler tanpa harus membayar sewa mahal. Untuk perjalanan di darat, biasanya ada saja orang yang menawarkan diri untuk mengantar tanpa saya harus membayar.
Tidur pun terkadang saya di rumah warga yang dengan senang hati menampung saya. Meski demikian, biasanya, ketika hendak pergi, saya memberikan uang untuk anak-anak mereka.
Apa kuncinya? Niat baik dan tulus dalam meliput. Sejak awal, saya mengatakan dengan jujur kepada warga terkait maksud liputan saya. Saya juga sungguh berniat membantu kehidupan warga setempat dengan pemberitaan saya. Dan, biasanya, mereka menjadi lebih terbuka dan menolong dengan senang hati.
Saya juga sungguh berniat membantu kehidupan warga setempat dengan pemberitaan saya.
Mudah-mudahan tulisan-tulisan yang telah diterbitkan di harian Kompas kelak sungguh dapat mendatangkan solusi bagi warga Tanimbar. Warga Tanimbar, yang hidup di tengah alam yang menawan ini, memang pantas hidup lebih baik. Semoga, masa depan yang cerah menghampiri mereka semua.